Mempertanyakan Keberadaan Komdis ISC

Indonesia Soccer Championship (ISC) baru saja mulai bergulir. Baru dua pertandingan yang dimainkan, ada pula yang baru berlaga satu kali, bahkan di ISC B ada grup yang belum bertanding sama sekali lantaran jarak yang berjauhan antartim di grup 8.

Walaupun baru saja mulai, tapi ISC sudah memperoleh serentetan masalah. Yang mana jika tak segera diselesaikan bisa berbahaya bagi kelangsungan kompetisi. Salah satu yang perlu disorot adalah perihal Komisi Disiplin (Komdis).

Berdasarkan rilis yang beredar, Komdis ISC sudah bersidang dan sejauh ini telah ada 11 keputusan. Dalam 11 keputusan itu, Komdis memberikan sanksi berupa denda uang bagi mereka yang dinilai lalai mematuhi peraturan.

Umumnya karena penyalaan flare saat pertandingan berlangsung. Arema, Persela Lamongan, Semen Padang, Persib Bandung, Barito Putera, Bhayangkara Surabaya United, Persis Solo, serta Persipur Purwodadi dikenai denda 10 juta rupiah karena ada flare yang menyala saat pertandingan. Sanksi ini berdasarkan pasal 60 dan 62 Kode Disiplin ISC.

Bali United yang penontonnya melakukan pelemparan botol ke lapangan diberi peringatan keras. Laga FC yang gagal menggelar pertandingan sesuai dengan pasal 60 dan 61 dinyatakan kalah 3-0 dari Persik Kediri dan sanksi denda sebesar 10 juta rupiah.

Hukuman paling besar diterima oleh Nabil Husein Said Amin yang didenda 50 juta rupiah dan larangan mendampingi tim dalam 2 pertandingan. Nabil dinilai melakukan pelanggaran terhadap pasal 47, 48, dan 53 Kode Disiplin ISC tentang menghasut kebencian, provokasi terhadap publik, dan ancaman terhadap perangkat pertandingan.

Saya tak hendak mempertanyakan soal aturan. Mengenai flare misalnya, ketika Joko Driyono masih menjadi Direktur PT Liga dan Roy Suryo menjadi Menpora, flare memang sudah dilarang. Alasan Jokdri, ya karena aturan dari AFC yang diadopsi oleh PSSI dan PT Liga memang menyebutkan flare sebagai salah satu benda yang dilarang.

Tapi, bolehkah jika saya bertanya, siapakah Komdis di sini? Siapa sajakah anggotanya? Apakah mereka berada di bawah PT Gelora Trisula Semesta (PT GTS) selaku operator kompetisi?

Pertanyaan mendasar yang perlu untuk ditanyakan kepada Ratu Tisha dan Joko Driyono selaku dua pimpinan PT GTS. Klub peserta dan publik perlu tahu karena keberadaan Komdis teramat penting.

Dalam kondisi yang ideal, ada dua pihak utama dalam kompetisi sepak bola. Pertama adalah regulator. Mereka ini yang membuat aturan, lalu menunjuk operator untuk memutar kompetisi. Tentunya dengan arahan, misalnya terkait dengan format kompetisi, pembinaan pemain muda, hingga terkait dengan kebutuhan tim nasional. Jika PSSI tak sedang dibekukan, peran regulator ini diemban oleh federasi.

Pihak kedua adalah operator. Sebelum kita mengenal PT GTS atau Mahaka yang menggelar turnamen selama PSSI dibekukan, kita mengenal PT Liga Indonesia. Mereka inilah yang menjalankan roda kompetisi sesuai dengan arahan dari federasi.

Karena berdasar pada arahan dari federasi, maka operator pun perlu mematuhi tata aturan yang telah dibuat dan tidak boleh seenaknya sendiri. Kalau melanggar aturan, misalnya melakukan pembiaran pada klub yang menunggak gaji, maka operator bisa diberi peringatan atau bahkan sanksi.

Begitu pula dengan mereka yang terlibat dalam kompetisi. Mulai dari klub, pemain, hingga panpel pertandingan. Jika melanggar, maka akan ada peringatan atau sanksi.

Idealnya, Komdis ini tidak berada di bawah naungan operator, melainkan di bawah federasi. Komdis ini yang mengawal jalannya kompetisi agar berjalan sesuai aturan yang ditetapkan oleh federasi.

Jika ada yang melakukan pelanggaran atau ada laporan dari match commisioner, Komdis akan bersidang dan menentukan apakah diberi peringatan atau diberi sanksi. Sanksinya bisa macam-macam, mulai denda uang, partai tanpa penonton, laga kandang usiran, dan lain sebagainya. Semua arahan pemberian peringatan dan sanksi ini sudah ada dalam buku regulasi.

Setelah membuat keputusan, entah itu memberi peringatan atau sanksi, Komdis akan membuat laporan ke federasi, berkirim surat ke operator, klub, dan rilis kepada media.

Tapi, keputusan dari Komdis ini tidak mutlak. Mereka bisa saja salah dalam menafsir peraturan. Perlu pula ada kesempatan bagi mereka yang terhukum untuk membela diri. Maka dari itu ada Komdisi Banding (Komding).

Komding akan menerima pembelaan dari yang terhukum untuk kemudian menimbang, apakah yang diputuskan oleh Komdis sudah benar atau belum. Hasilnya bisa tidak menerima banding yang berarti keputusan Komdis harus segera dieksekusi, mengurangi hukuman, atau bahkan membatalkan hukuman yang telah diberikan Komdis.

Di liga top dunia pun skemanya seperti ini. Jamie Vardy boleh mengajukan banding setelah dirinya diberi kartu merah dan juga tambahan larangan bertanding karena mengumpat.

Ini seperti sistem demokrasi pada umumnya. Ada lembaga yang saling mengawasi. Jika tak ada yang mengawasi, suatu lembaga bisa jadi superpower, ujung-ujungnya ada yang merasa menang sendiri dan tentunya ada pihak-pihak yang dikalahkan.

Menjadi rumit di Indonesia kemudian adalah orang yang berada di federasi dan operator adalah orang yang sama. Pada suatu waktu, Joko Driyono bisa menjadi direktur PT Liga Indonesia dan sekretaris jenderal PSSI.

Jika PSSI memberi peringatan, yang tanda tangan adalah Joko Driyono dan surat peringatan itu ditujukan pada Joko Driyono, selaku direktur PT Liga. Apa yang Anda harapkan dalam situasi seperti ini? Jokdri adalah orang yang paham betul sepak bola, tapi bukan berarti dia diserahi semua tugas sepak bola.

Begitu pula jika Komdis berada di bawah operator. Apakah Komdis akan bebas nilai dari kepentingan operator? Lalu, siapakah yang akan mengawasi kinerja operator?

Kalau mau fair, regulator bisa diemban oleh Tim Transisi. Tim bentukan Menpora ini mengambil alih tugas PSSI selama dibekukan, jadi mereka ini bertindak sebagai regulator. Bukankah tanpa restu dari Tim Transisi, ISC juga tak akan bergulir?

Untuk membenahi sepak bola Indonesia, perlu sekali untuk memperhatikan sistem. Sistem yang bagus perlu dibangun. Kalau sistemnya nanti sudah baik dan semuanya berjalan lancar, sedikit demi sedikit sepak bola kita akan membaik yang berujung pada prestasi timnas yang ikut membaik pula.

Jadi, kuncinya ada pada sistem, bukan dengan mendatangkan Jose Mourinho.

NB: Tanggapan dari Viola Kurniawati: Komdis harus yang memiliki latar belakang hukum. Untuk ISC, bukan dari federasi karena event ini bukan dari PSSI. Jadi, siapa saja Komisi Disiplin ISC? Orang-orang yang tak ada di struktur klub dan juga harus ada yang punya basic hukum. Mengapa bukan Tim Transisi? Karena ISC bukan di bawah TT juga. Uang denda masuk ke PT GTS sebagai pengelola.

Komentar

This website uses cookies.