Menanti Adanya Perang Urat Saraf di Piala Jenderal Sudirman

Piala Jenderal Sudirman

“Persib hanya mengumpulkan pemain bintang, Strategi Djajang Nurjaman tidak ada apa-apanya,” ujar Iwan Setiawan, pelatih Pusamania Borneo FC, jelang laga putaran pertama perempat final melawan Persib Bandung.

Ketika mereka akhirnya menang 3-2 di stadion Segiri, Iwan berkomentar yang memerahkan telinga segenap tim Maung Bandung dengan berseloroh “Apa Saya bilang, Persib tidak ada apa-apanya. Terbukti kan Permainannya mudah ditebak.”

Perang urat saraf atau yang populer disebut sebagai psywar menurut William E.Daugherty dan Morris Janowitz dalam bukunya, A Pschological Warface Casebook, dapat didefinisikan sebagai penggunaan secara berencana propaganda dan kegiatan lainnya yang direncanakan untuk memengaruhi pendapat, emosi, sikap, dan perilaku pihak musuh, pihak netral dan pihak kelompok asing yang bersahabat dalam rangka mendukung sasaran dan tujuan nasional.

Ada dua cara umum untuk melakukan perang urat saraf, yakni dengan “upaya meninggi untuk menginjak lawan” atau “merendah untuk meninggi”. Kedua cara itu bertujuan untuk membuat mental lawan jatuh, hingga terbuai (dengan memberi pujian yang bernada hiperbola) atau menonjolkan diri agar menjadi pusat perhatian (biasanya menunjukkan lawan lebih lemah dan dirinya lebih baik ).

Psywar seperti yang dilakukan oleh Iwan Setiawan jarang terjadi di sepak bola Indonesia. Mantan pelatih Persija Jakarta tersebut menyebut apa yang dilakukannya sebagai inovasi bagi sepak bola Indonesia.

Meski demikian, dirinya meminta maaf jika banyak melontarkan komentar bernada negatif usai pertemuan kedua melawan Persib yang berkesudahan 2-1 untuk Mangun Bandung sekaligus memastikan Pesut Etam tersisih.

Apa yang dilontarkan Iwan sebenarnya masih merupakan hal wajar bila membandingkannya dengan psywar yang biasa dilakukan Jose Mourinho dengan komentar bernada sarkastik serta menggunakan analogi terhadap lawan-lawannya sebelum dan sesudah pertandingan. Juga beberapa pelatih top Eropa lainnya.

Berbagai motif bisa saja mendasari mengapa Iwan Setiawan melakukan psywar. Bisa saja hal ini sebagai jurus marketing untuk mengalihkan perhatian orang agar tim yang diasuhnya dapat lebih dikenal publik melalui media yang menyoroti komentarnya. Tentunya juga membuat namanya melambung, bahkan bobotoh menyiapkan lagu khusus untuk menyambut kedatangannya.

Disadari atau tidak, apa yang dilakukan Iwan juga turut memberi dampak pada turnamen Piala Presiden lalu menjadi lebih ramai diperbincangkan setelah sebelumnya cenderung adem ayem.

Sepak bola Indonesia memang butuh inovasi agar tak hanya hal itu-itu saja yang jadi bahan perbincangan. Psywar bisa jadi salah satu yang bisa dilakukan dan itu sah dilakukan dalam lingkup sepak bola. Meski di sisi lain bisa memicu terjadinya konflik.

Dengan terciptanya konflik tersebut, asal dikemas secara menarik bisa menguntungkan dari sisi marketing klub dan turnamen, meningkatkan personal branding subjek yang melontarkan psywar, hingga tujuan utama sebagai kelancaran strategi “menjatuhkan” musuh. Tapi, kalau tak dikelola dengan baik, perang urat saraf bisa jadi bumerang bagi timnya sendiri.

Menarik untuk menanti di Piala Jenderal Sudirman ini apakah akan ada perang urat saraf ala Iwan Setiawan atau dari pelatih lain yang mau ikut berkomentar pedas di media. Karena selain dengan kekuatan fisik dan teknik olah bola, sepak bola juga perkara kekuatan mental, bukan?

 

Komentar

This website uses cookies.