Mengenal The Fear Derby

Lupakan Der Klassiker. Laga yang paling dinanti dan sering disebut sebagai laga terbesar dalam kalender persepakbolaan Jerman ini bahkan tak punya kontestan tetap. Well, mereka punya satu kontestan tetap – FC Bayern, namun siapa yang menjadi lawan Bayern di Der Klassiker selalu menyesuaikan situasi terkini Bundesliga. Pada dekade 1980-an, Der Klassiker digunakan untuk menyebut laga antara FC Bayern dan Borussia Monchengladbach. Sekarang, nama tersebut merupakan sebutan bagi tiap laga antara FC Bayern dan Borussia Dortmund.

Jika ada rivalitas yang begitu mendarah daging dan mampu menyulut emosi sampai ke ubun-ubun, itu adalah The Fear Derby antara St. Pauli dan Hansa Rostock. Entah betul itu nama yang benar untuk laga antara kedua klub tersebut atau bukan – saya menggunakan istilah yang dipakai oleh Tom Clover, yang jelas, pertemuan kedua klub semenjana ini selalu memunculkan ketegangan yang nyaris tak ada duanya.

Akarnya adalah ideologi politik. Jika St. Pauli merupakan klub yang kental dengan ideologi komunis, maka Hansa Rostock adalah klub kesayangan para neo-Nazi dari kota Rostock. Seperti yang terjadi di Italia antara Livorno (sayap kiri) dan Lazio (sayap kanan), ketika dua kutub politik yang berseberangan ini bertemu, hasilnya adalah letupan dahsyat.

Sebagai kota pelabuhan yang berbatasan dengan Laut Baltik, Rostock adalah pusat perdagangan tua yang sudah ramai sejak abad ke-14. Nama klub Hansa Rostock sendiri diambil dari nama pakta perdagangan dan pertahanan yang eksis antara abad 14-17, Hanseatic League. Pakta perdagangan dan pertahanan ini merupakan yang terbesar di Eropa bagian utara pada waktu itu.

Selepas Perang Dunia II, ketika Jerman dibelah dua menjadi Barat dan Timur, Rostock ‘ketiban sial’ dengan menjadi bagian dari Jerman Timur. Akan tetapi, meski harus berada di bawah rezim komunis, Rostock mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah. Kota ini menjadi pelabuhan utama Jerman Timur yang menghubungkan negara tersebut dengan seluruh Eropa. Selain itu, kota yang dialiri Sungai Warnow ini juga menjadi pusat industri negara yang terkenal dengan Stasi-nya tersebut.

Perlakuan istimewa pemerintah Jerman Timur tersebut tak berhenti di situ. Sepak bola juga menjadi salah satu cara pemerintah Jerman Timur memperlakukan kota Rostock dengan spesial. Seperti yang dilakukan kepala Stasi, Erich Mielke terhadap Dynamo Dresden, klub Empor Lauter dari kota Lauter juga dipaksa pindah oleh pemerintah ke Rostock pada musim 1954/55 dan berganti nama menjadi Empor Rostock.

Pada tahun 1965, sebagai bagian dari reorganisasi olahraga Jerman Timur, departemen sepak bola Empor Rostock menjadi departemen mandiri dan bertransformasi menjadi klub sepak bola bernama Hansa Rostock. Klub ini sendiri kemudian menjadi bagian dari sebelas ‘klub fokus’ yang dipersiapkan untuk membentuk tim nasional Jerman Timur. Berada di bawah bayang-bayang klub seperti Dynamo Dresden, Carl-Zeiss Jena, FC Magdeburg, dan (tentunya) Dynamo Berlin, Hansa Rostock baru berhasil menjadi juara di musim terakhir Oberliga, musim 1994/95. Keberhasilan mereka menjadi juara tersebut (dengan Dynamo Dresden sebagai runner-up) membuat mereka (dan Dynamo Dresden) menjadi perwakilan Oberliga di kompetisi Bundesliga pertama pasca peleburan.

Sayangnya, pada masa itu, kota Rostock sudah tak seperti dulu lagi. Runtuhnya Jerman Timur membuat Rostock tak lagi menjadi kota yang spesial. Pekerjaan pun menjadi langka seiring minimnya investasi yang ditanamkan di kota tersebut. Hal ini kemudian ‘diperparah’ dengan masuknya para imigran yang kebanyakan berasal dari Vietnam dan Rumania. Situasi sulit inilah yang kemudian memicu kemunculan para neo-Nazi.

Musim 2008/09, Hansa Rostock untuk pertama kalinya berjumpa dengan St. Pauli. Pada pertemuan tersebut, sepuluh orang harus dilarikan ke rumah sakit usai bentrokan yang tak kunjung berhenti sejak pertama kali fans St. Pauli menginjakkan kaki di Rostock. Laga sendiri dimenangi St. Pauli dengan skor 2-0, dan untuk mengetahui kira-kira seperti apa suasana kota Rostock pada hari itu, simak video di bawah ini:

Tak berlebihan bukan bila dinamai The Fear Derby?

Komentar

This website uses cookies.