Menjadi Guru di Kerasnya Sepakbola Inggris

Barcelona's coach Pep Guardiola (R) welcomes Arsenal's French coach Arsène Wenger (L) before the Champions League round of 16 second leg football match FC Barcelona vs Arsenal CF on March 8, 2011 at Camp Nou stadium in Barcelona. AFP PHOTO / LLUIS GENE (Photo credit should read LLUIS GENE/AFP/Getty Images)

Jika Anda seorang pelatih sepakbola atau ingin menjadi pelatih tim senior, maka salah satu yang perlu dijawab pertama-tama, akan menjadi seorang guru atau manajer kah Anda?

Seorang guru akan sabar melatih muridnya. Dari yang kemampuannya biasa-biasa saja menjadi bagus. Dari yang bagus bisa menjadi world class. Tapi, untuk melakukan itu semua, maka Anda butuh waktu dan ketelatenan yang amat sangat.

Satu lagi yang perlu diingat, bahwa tak semua yang dilakukan akan berhasil. Tak semua potensi murid bisa maksimal dieksplorasi. Ancaman kegagalan begitu besar adanya.

Sementara seorang manajer, dia sadar betul bahwa dia tak punya banyak waktu. Dia meramu apa yang ada. Tidak memaksakan filosofinya. Bersedia beradaptasi dengan keadaan dan memaksimalkan kemampuan pemain yang tersedia.

Sederet pelatih hebat yang kita dengar namanya hari-hari ini bisa jadi adalah representasi seorang guru atau manajer yang baik. Arsene Wenger adalah pelatih dan juga seorang guru. Itu kenapa dia lebih suka membeli pemain muda setengah jadi, lalu mendidiknya dengan penuh kesabaran.

Thierry Henry memang sudah merumput bersama Juventus sebelum ke Highbury. Tapi, semua tahu, puncak kariernya terjadi di Arsenal. Begitu pula dengan Nicolas Anelka yang melejit di suatu musim sebelum dekade 2000an.

Lalu, ada Cesc Fabregas. Pemuda Spanyol yang datang ketika dia belum lulus SMA, menempa dirinya di bawah arahan Wenger hingga sempat jadi salah satu gelandang terbaik dunia.

Tapi, seperti yang kita tahu, tak semua didikan Wenger jadi pemain kelas dunia. Theo Walcott tak pernah dilirik Real Madrid atau Barcelona. Masih juga sulit menemukan konsistensinya meski selalu diberi kesempatan di rumah sendiri.

Alex-Oxlade Chamberlain juga tak jua jadi bintang bagi Arsenal. Kalaupun ada yang meminatinya, ya tak banyak klub besar yang bersedia menebus dengan uang besar.

Ada dua nama lagi yang bisa dijadikan untuk contoh. Louis van Gaal dan Pep Guardiola, guru yang selalu menekankan filosofinya, tanpa terlalu peduli dengan keinginan anak-anaknya. Dua orang keras kepala yang enggan beradaptasi dengan dinamika di tim yang diasuhnya.

Van Gaal menghasilkan 20 gelar sepanjang kariernya sebagai pelatih. Salah satu yang paling fenomenal, dia menghasilkan generasi emas Ajax Amsterdam lebih dari dua dekade silam. Tak ada lagi kejayaan Ajax seperti yang terjadi pada 1995 itu. Tak ada lagi The Big Ear yang singgah ke Amsterdam Arena setelahnya.

Tapi, sikap keras kepalanya membawa Belanda gagal lolos ke Piala Dunia 2002. Dia kesulitan di Barcelona meski telah memboyong banyak pemain Belanda yang dia rasa akan cocok dengan skemanya.

Dia juga menggelontorkan ratusan juta poundsterling dalam dua musimnya di Manchester United. Walaupun berhasil memenangi Piala FA, toh Setan Merah tetap mendepaknya. Gelar juara Piala FA tak sebanding dengan penantian dan pengorbanan manajemen untuk memenuhi segala apa yang dimaui Van Gaal.

Sementara Pep, dia menikmati masa bulan madu di Barcelona. Bermain bersama pemain-pemain yang sejak kecil sudah diajari filosofi yang sama. Lionel Messi, Andres Iniesta, Xavi, Gerard Pique tumbuh besar dengan Juego de Posicion.

Dia memainkan sepakbola seperti yang ditanamkan Johan Cruyff di Barcelona beberapa dekade silam. Dia juga anak didik langsung dari sang maestro sepakbola asal Belanda itu.

Di Bayern Munchen, dia bertemu Thomas Muller yang disebut sebagai salah satu pemain terbaik Jerman sepanjang masa meski tubuhnya tak mencerminkan orang Jerman –kekar—yang sempat membuatnya diolok-olok semasa remaja.

Pep juga didukung manajemen hebat yang bisa mendatangkan siapa saja yang dia mau, termasuk memenuhi permintaan membawa Thiago Alcantara, “The Next Xavi” yang tak pernah benar-benar menapaki apa yang dicapai Xavi. Selain itu, dia juga mendatangkan salah satu gelandang terbaik generasi saat ini, Xabi Alonso.

Pria Catalan ini lalu menerima pinangan Manchester City. Dia tak mengambil jeda satu tahun seperti saat dia mengundurkan diri dari Barcelona.

Pep yakin dia bisa sukses di City. Ada Txiki Beigiristan dan Fernando Feran Soller. Duet direktur olahraga dan bisnis yang dulunya memilih dia dibanding Jose Mourinho untuk melatih Barcelona.

Sayang, semuanya tak semudah yang dibayangkan. Melakoni debut manis, Pep kesulitan meramu City menjadi sekuat Barca atau Bayern. Dia menerima kekalahan terbesarnya sebagai pelatih kala takluk 0-4 dari Everton di Liga Primer Inggris (15/1).

Menjadi guru memang sulit. Pep butuh bersabar untuk mendidik John Stones dan Nicolas Otamendi agar sepandai Gerard Pique dan Carles Puyol.

Dia tak punya pemain sekaliber Sergio Busquets. Dia sudah mengantisipasinya dengan meminta manajemen membeli Ilkay Gundogan. Permintaan dipenuhi, tapi Gundogan lebih sering di meja perawatan dibanding ada di lapangan.

Bagaimanapun, menjadi pelatih bertipe guru tak pernah salah. Jika kita mau jujur, ada hal lain yang dihasilkan oleh van Gaal di Old Trafford. Juga pencapaian sementara Pep di Etihad Stadium yang baru seumur jagung ini.

Keduanya berhasil melejitkan pemain muda. Menyuntikkan kepercayaan diri tinggi. Van Gaal adalah pria yang memberi harapan bagi pendukung Manchester United seluruh dunia ketika dia mengorbitkan Marcus Rashford dan Jesse Lingard, juga pemain muda seperti Timothy Fosu-Mensah dan Cameron Borthwick-Jackson.

Van Gaal pula yang mendatangkan Anthony Martial dan memolesnya menjadi salah satu penyerang sayap yang paling disegani saat ini. Tapi, van Gaal sadar, bahwa apa yang dilakukannya selama dua musim itu adalah untuk penerusnya. Apa yang dia tanam baru akan dipetik hasilnya oleh pelatih baru.

Pep di City pun demikian. Jika anda melihat daftar skuat City, sebagian besar pemain utamanya sudah melewati usia emasnya, David Silva, Yaya Toure, hingga Sergio Aguero.

Oleh karenanya, Pep memulainya dengan mencoba memaksimalkan pemain yang muda usia. Setelah disebut flop, Raheem Sterling bermain gemilang awal musim ini. Juga akan ada kedewasaan dari John Stones.

Lebih dari itu, ini adalah masa Pep untuk belajar memahami sepakbola Inggris. Inggris bukan tempat nyaman baginya, seperti halnya di Barcelona atau Bayern Munchen.

Tapi, Pep tak akan mudah putus asa dan memaksimalkan waktunya selama tiga musim untuk bisa merajai sepakbola Inggris hingga nantinya dia ingin mengubah kultur taktik Britania Raya.



Komentar

This website uses cookies.