Menunggu Keberuntungan (Lagi) di Rajamangala

Indonesia Juara Piala AFF 2016!

Begitu keyakinan jutaan orang setelah wasit meniup peluit panjang pada menit ke 93 di Pakansari hari rabu lalu (14/12). Padahal sebulan lalu, kalau ada orang yang berkeyakinan lantang seperti ini, dia akan berkelahi habis-habisan dengan akal sehatnya sendiri.

Kecuali mereka yang memahami sepenuhnya bahwa tak ada yang pasti dalam setiap 90 menit yang akan dihadapi oleh timnas nanti.

Enam pertandingan yang telah dilalui Indonesia membuktikan mantra ini. Kita mampu mengimbangi Thailand sebelum “stamina habis setelah menit ke 70” kambuh. Filipina yang beberapa tahun terakhir meninggalkan kita berhasil kita tahan.

Singapura yang sedang menurun berhasil kita kalahkan meski timnas bermain jelek sekali. Lalu Vietnam yang punya serangan mengerikan bisa kita langkahi. Bahkan Thailand yang sepertinya mustahil dikalahkan pun ternyata takluk juga.

Tapi harus diakui, sepanjang turnamen, Indonesia memang sedang dinaungi keberuntungan. Keberuntunganlah yang meloloskan kita dari babak grup, lolos dari serangan bertubi-tubi Vietnam di semifinal, lalu mengalahkan Thailand di kandang.

Memang cuma keberuntungan yang bisa mengalahkan skill dan kualitas lawan. Dan itu bukan hal yang aneh dalam sepak bola. Menurut banyak riset, sepak bola adalah olahraga yang hasil akhirnya paling banyak ditentukan oleh faktor keberuntungan.

Dalam sepak bola, gol memang bisa tercipta karena kejaiban sederhana. Pemain bisa mencoba puluhan umpan tapi lebih sering salah sasaran. Keypass paling presisi pun masih bisa dintersep kaki lawan. Juga tendangan yang masih bisa diblok  bek lawan atau ditepis penjaga gawang.

Bahkan saat bisa melewati hadangan itu semua, saat bola tinggal melewati garis gawang, kadang bola masih membentur kaki teman sendiri atau mistar gawang. Perlu satu momen di mana semuanya seirama, menciptakan kondisi yang mengalir sempurna atau nyaris sempurna, baru kemudian gol tercipta.

Coba kita perhatikan beberapa gol menentukan yang dicetak Indonesia sepanjang turnamen ini. Banyak kejadian-kejadian kecil yang memujurkan nasib kita.

Kita mulai dari gol yang meloloskan Indonesia ke semifinal. Gol umpan “asal tidak out” Boaz yang disambar tendangan voli Lilipaly pada pertandingan terakhir grup saat lawan Singapura.

Skor saat itu 1-1. Seri artinya gagal lolos. Tapi 5 menit sebelum pertandingan berakhir, kita punya harapan dan saat Boaz punya kesempatan menendang dari dalam kotak penalti.

Tapi saat tendangan keras itu diblok Madhu Mohana lalu mental di badan Boaz, harapan itu menipis. Apalagi bola mengarah ke samping gawang dan sepertinya akan keluar. Paling cuma tendangan pojok.

Tapi Boaz tak menyerah dan mengejar bola itu. Berhasil! Bola tak jadi out dan menuju depan gawang. Menjadi umpan tarik meski terlihat sekadarnya. Lemah dan mengarah ke 3 bek Singapura yang sepertinya akan mudah menghalaunya.

Yang terjadi selanjutnya adalah keajaiban. Tiga bek tangguh yang sepanjang pertandingan menyulitkan para penyerang kita, tiba-tiba skillnya seperti anak 4 tahun yang bingung dengan bola lambung. Bola melengkung dengan ketinggian dan jalur ajaib.

Terlalu rendah untuk disundul, terlalu tinggi untuk ditendang. Terlalu jauh untuk dikontrol dengan dada atau perut, terlalu dekat untuk disambut ayunan sendi kaki manapun. Bola itu lewat  blank spot dengan mulus. Daniel Bennet, sang bek senior dengan 132 cap itu berhasil dilewati.

Bola lalu menuju arah lari Hariss Harun, bintang masa depan yang berlari ke belakang membantu pertahanan. Tepat di depan Hariss, bola itu memantul. Bola lemah itu menghasilkan pantulan lemah yang ajaib.

Kembali tak tersentuh bagian tubuh Hariss yang manapun. Hariss berusaha menendangnya dengan kaki kiri. Tapi sepakan Hariss hanya mengejar angin. Lengkungan parabola bola, entah kenapa tak mampu dijangkau ayunan parabola kaki Hariss.

Tapi masih ada Shakir Hamzah yang sedari tadi menunggu tepat di tengah gawang. Bersiaga di depan kiper Hasan Sunny. Sayangnya, dia tidak siap menerima keyataan bahwa dua partnernya gagal menghalau bola lemah itu.

Orang yang tidak siap menerima kenyataan memang sering terlambat bereaksi. Begitu pula Shakir yang membiarkan pantulan bola kemudian mengarah ke Lilipaly yang berdiri bebas. Bola lemah yang memantul adalah makanan empuk kaki siapapun, Apalagi untuk seorang pemain yang berpengalaman di liga Belanda.

Dan booooom. Semifinal pertama setelah 6 tahun!

Di semifinal, kerja keras yang membuka pintu keberuntungan, juga dipertontonkan timnas. Terlihat paling kentara di leg kedua saat kita sepanjang pertandingan di bombardir serangan Vietnam.

Pada pertandingan ini rangkaian keberuntungan memang memihak kita. Tandukan mereka membentur tiang gawang dan pantulannya menuju pelukan Meiga. Bola umpan tarik sempurna nyangkut di kaki Le Chong Vinh dan direbut Meiga.

BACA JUGA:  Memuja Greysia/Apriyani, Mencerca Politisi

Kartu merah untuk Nguyen Manh di saat Vietnam sudah melakukan 3 kali pergantian pemain. Malam yang mendebarkan sejak awal itu tiba-tiba menjadi kelegaan ajaib di menit ke 54.

“A Freak Goal!” kata komentator di tv. Tentu saja bukan komentator tv lokal kita yang lebih suka mengutip kutipan Bung Karno saat pemain kita mencetak gol.

Gol memang bisa terjadi karena sebuah kecelakaan. Gol yang menambah beban di kaki-kaki Vietnam, membuat langkah mereka ke final semakin berat. Sebelum gol terjadi mereka hanya perlu 1 gol untuk lolos.

Setelah gol tejadi, mereka butuh 3 gol tambahan! Gol itu mengubah peluang Indonesia dan terjadi melalui cara yang tak kalah ajaib. Lagi-lagi aktor utama gol aneh ini adalah Kaka Boaz.

Berawal dari serangan yang sangat jarang dilakukan, Boaz menguasai bola di sayap kiri Vietnam. Dihadang 2 bek lawan, Boaz kemudian dengan sederhana menendang ke arah gawang. Kita semua tak tahu pasti maksud Boaz.

Kalaupun berusaha mengumpan, tak ada satupun pemain kita di depan gawang yang siap menyambutnya. Kalaupun sebuah tendangan ke gawang. Tendangan itu terlalu lemah dan arahnya menyamping tiang jauh. Kalau sang kiper Nguyen Mahn membiarkan bola itu lewat, pasti cuma akan menghasilkan tendangan gawang.

Tapi Nguyen Mahn memutuskan untuk men-tip bola sederhana itu. Keputusan yang akan disesalinya kemudian. Karena sialnya, bolanya mengarah pada jalur lari Ding Dong. Karena kaget, sapuannya jelek sekali. Bola kemudian membentur tiang gawang dan memantul menyusuri garis gawang.

Sepersekian detik Nguyen Mahn pasti gembira sekali, ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Bola menuju ke arahnya. Dia kemudian melompat, hanya saja jalur bola pantulan itu ternyata persis berada di bawah ketiaknya. Tak mudah ditangkap, terlalu sulit ditepis.

Kalau tidak percaya silakan praktekkan sendiri dengan mengibaskan telapak tangan di bawah ketiak. Tak bertenaga. Begitu juga tepisan Nguyen Mahn. Arah bola tak banyak berubah, malah mengalir pelan menuju Lilipaly.

Umpan tarik Boaz yang tak ideal menciptakan momen sempurna untuk Fano. Lalu booooooom! Tendangan cocor Fano mengulurkan tiket Semifinal untuk Garuda.

Tentang pergerakan Lilipaly sendiri, kita bisa mendebatnya sebagai insting atau keberuntungan. Melihat tayangan ulang gol ini dengan memperhatikan pergerakan Lilipaly, sekali lagi kita melihat sesuatu yang menciptakan momen sempurna.

Pada saat bola diumpan, eh ditendang Kaka Boaz, sebenarnya posisi Lilipaly ada di belakang bek Truong Dihn Luat. Yang mengubah keberuntungan adalah Lilipaly tetap mengejar bola, sementara Dihn Luat memilih untuk tetap di posisinya.

Lilipaly mengejar dan mencocor bola di garis gawang lalu merayakannya. Dhin tertunduk dan membayangkan seandainya saja dia bisa mengurangi sedikit kemalasannya.

Di pertandingan final leg pertama, keberuntungan Indonesia dihadirkan oleh senggolan bokong Tristan Do. Fullback agresif thailand yang bermain sempurna sepanjang turnamen. Pada pertandingan ini juga dia berhasil menutup ruang gerak Rizki Pora. Setidaknya sampai kibasan bokongnya membelokkan arah bola tendangan Rizki Pora.

Sampai menit ke 64 itu Indonesia belum pernah membangun sebuah serangan yang sempurna. Sementara barisan belakang Thailand juga tidak melakukan kesalahan fatal. Semua berubah ketika Theeraton salah mengumpan di sepertiga lapangan sendiri dan bola dikuasai penuh Rizki Pora.

Deflected shot memang bisa menciptakan banyak masalah. Bola yang tidak berbahaya bisa menjadi sangat berbahaya kalau pantulannya menuju gawang atau sebaliknya. Kiper yang sudah merasa tidak mampu menyelamatkan gawangnya, tiba-tiba berhasil menangkap bola karena luncuran bola menjadi pelan akibat deflection.

Atau sebaliknya, kiper yang sudah bersiap-siap melakukan penyelamatan mudah, tiba-tiba harus melihat bola menerjang bagian gawang yang kosong. Persis seperti yang dirasakan  Kawin Thamsatchanan saat mati langkah melhat sepakan Rizki Pora.

Kawin sebenarnya sudah berada pada posisi tepat menyongsong tendangan Rizki Pora. Tendangan Rizki juga sebenarnya tidak terlalu keras. Tapi tendangan itu saat berpadu dengan tunggingan ke kiri Kristan Do menciptakan sebuah jalur laju bola yang sempurna untuk Indonesia. Bola berbelok secukupnya menuju pojok gawang. Tidak berlebihan sehingga menyamping gawang.

Bayangkan kalau Rizki menendangnya lebih keras atau Tristan Do mengubah arah nunggingnya ke kanan. Belum tentu bolanya masuk ke gawang.  Gol karena deflection adalah keberuntungan murni.

Tristan Do dan jutaan bek di dunia ini tidak pernah dilatih untuk menghasilkan deflection yang menjauhi gawang sendiri. Begitu juga para penendang yang tidak pernah menguasai teori tendangan deflection yang membuat mati langkah kiper lawan.

BACA JUGA:  Apa Salah Menghujat dalam Sepak Bola?

Keberuntungan ini membuat Indonesia menyamakan kedudukan dan mengubah jalannya pertandingan. Setelah gol itu para pemain kita lebih percaya diri. Tercatat 4 peluang diciptakan. Salah satunya berubah menjadi sepak pojok yang kemudian ditanduk Hansamu dengan sempurna. Looping header yang tak terjangkau Kawin, dan juga Sarach Yooyen yang berjaga di tiang jauh.

Sekarang kita sedang menunggu Final leg kedua di Rajamanggala. Apa yang bisa kita harapkan dari pertandingan ini? Bolehkan kita mengharapkan kembali keberuntungan?

Berdasarkan beberapa statistik yang berbeda, kita bisa menghela nafas lega.

Professor Martin Lames dari Training Science And Computer Science in Sport di Technical University Munich, bertahun-tahun membangun sebuah sistem komputer yang  memungkinkan para peneliti merekam dan menganalisis apa yang terjadi di lapangan dan apa penyebabnya.

Lames bahkan bisa memanfaatkan teknologi ini untuk memisahkan mana nasib baik dan nasib buruk yang proses sebuah gol.

Sistem ini mampu membedakan mana gol yang direncanakan, seperti hasil dari kerja keras dan latihan, kemampuan jenius pemain berbakat atau mana gol yang tidak direncanakan dan tidak terkontrol.

Gol keberuntungan seperti ini bisa disebabkan deflection yang tidak terantisipasi, umpan yang mental, tackle yang luput, bola yang backspinning dll. Setelah mengamati  2.500 goal, Lames dan timnya menyimpulkan bahwa 44,4% gol memerlukan setidaknya sedikit sentuhan keberuntungan sebelum tercetak.

Ini mendukung hasil riset Eli Ben-Naim, Sydney Redner dan Federico Vazquez, yang menemukan fakta dari 43.000 pertandingan, tim underdog memenangkan 45,8% pertandingan. Mengindikasikan bahwa skill tidak terlalu dominan dalam menentukan kemenangan.

Hasil riset yang lain, hasil dari membaca statistik 8.232 pertandingan di liga utama Eropa dari tahun 2005-2011 menemukan hasil yang mirip.

Chris Anderson, seorang kiper yang kemudian berubah menjadi profesor statistik sepak bola dalam bukunya The Numbers Game: Why Everything You Know About Football is Wrong pernah membuat kesimpulan kira-kira seperti ini: Skill sebuah tim hanya berkontribusi 50% terhadap peluang memenangkan sebuah pertandingan. 50% lainnya ditentukan oleh keberuntungan.

Bagaimana menyimpulkannya untuk final di Rajamangala nanti?

Harus diakui, penampilan Thailand lebih baik daripada tim kita. Sepanjang turnamen ini mereka sudah terbukti lebih kuat, bermain lebih baik, punya kerjasama dan teknik olah bola yang lebih bagus.

Mereka mencetak gol lebih banyak, kebobolan lebih sedikit. Lebih banyak gol mereka yang terciptakan karena pertunjukan kerjasama tim yang solid, juga gol-gol yang terjadi karena skill mereka yang cemerlang.

Pada leg pertama, selama 60 menit mereka mendominasi, memimpin 1 gol, menciptakan lebih banyak peluang, memaksa Indonesia untuk tak leluasa memainkan bola.

Keunggulan kualitas membuat mereka sudah punya peluang 50% untuk memenangkan pertandingan, bahkan mungkin lebih dari itu. Tapi hasilnya sudah kita buktikan bersama-sama.

Seolah membuktikan statistik yang bicara, mereka yang menguasai pertandingan, menciptakan peluang lebih banyak tak lantas otomatis menang. 50% lainnya ditentukan oleh faktor luck.

Sayangnya berbeda dengan skill yang bisa dikontrol, keberuntungan ini tak pasti. Malam ini tak ada yang bisa memastikan bahwa keburuntungan tetap akan memihak kita. Tapi kalau ternyata malam ini dewi fortuna bersekutu dengan Thailand?

Yang bisa dilakukan timnas adalah menipiskan keunggulan kualitas Thailand dengan bermain segigih mungkin. Seperti yang sudah mereka tunjukkan sepanjang turnamen ini.

Memberi mereka perlawanan sehebat-hebatnya akan menurunkan peluang Thailand. Bermain cerdas memaksimalkan kelebihan kita, memanfaatkan kelemahan mereka. Riedl dan anak-anak Garuda sudah tahu ini.

Keberuntungan memang tak bisa didatangkan, tapi bisa diundang. Pintu keberuntungan akan terbuka untuk mereka yang bekerja keras tak kenal menyerah, kata orang bijak.

Persis seperti yang dijabarkan Claudio Ranieri, saat menjelaskan rahasia moncernya penampilan Liecester musim lalu.

“Apa yang kami lakukan seperti membuat pizza. Biar enak, kita harus punya bahan yang pas. Bahan baku pertama adalah semangat tim, Kedua adalah menikmati latihan. Mereka tahu selain harus bekerja keras, mereka  juga harus menikmatinya. Sedikit keberuntungan juga penting. Anda harus bekerja keras, Anda harus bermain dengan benar, tapi juga seperti garam, keberuntungan kecil itu menyempurnakan.”

Timnas ini sudah mempraktekannya sepanjang turnamen. Media-media asing memuji timnas punya “never die attitude”. Underdog yang menolak untuk mati terlalu mudah. Kita harus percaya mereka akan melakukannya lagi di pertandingan terakhir malam ini.

Satu Indonesia percaya. Kita BISA!

Komentar