Dik rebel Isidorus Rio kembali menulis artikel menarik dan bagus yang berjudul Bagimu Sepak Bolamu, Bagiku Sepak Bolaku. Sepertinya ini bukan kali pertama dik Rio mengingatkan para moralis sepak bola untuk menerima kenyataan bahwa sepak bola itu sah-sah saja dimainkan dengan cara apa pun, termasuk dengan mengutamakan pertahanan.
Di tengah kesibukannya menyelesaikan skripsi, dik Rio telah menjadi pembela hak asasi penggemar sepak bola defensif (dan ultra defensif).
Saya sendiri sebagai penikmat sepak bola menyerang paham bahwa adalah hak setiap bangsa tim untuk memilih gaya permainannya masing-masing. Lagipula, ada aksi ada reaksi. Ada yang menyerang, ada yang bertahan. Hukum alam yang tak bisa dielakkan.
Ada tim yang punya materi pemain mumpuni dalam hal mengumpan sehingga nyaman menguasai dan memindahkan bola dari kanan ke kiri, dari belakang ke depan, vice versa. Namun tak sedikit juga tim yang skill pemainnya terbatas atau tidak cukup merata sehingga sulit untuk menyerang dengan berlama-lama menguasai bola.
Bagi tim seperti ini, kalau bisa cukup dengan sekali umpan panjang, pemain depan lari secepat mungkin, tendang ke gawang dan gol! Sebenarnya ada alternatif lain yang perlu dengan optimal dimanfaatkan tim yang skill individu pemainnya tak cukup bagus untuk membangun serangan ala Pep Guardiola yaitu set pieces!
Pada perhelatan Piala Eropa 2016 yang lalu, 33.3% dari total gol yang tercipta dicetak melalui set pieces. Dua gol dimulai dari lemparan ke dalam, 4 merupakan hasil tendangan bebas langsung, 7 gol dari tendangan bebas tak langsung, 15 berawal dari tendangan penjuru dan delapan gol hasil tendangan pinalti.
Sejumlah negara non unggulan tercatat mendapatkan keuntungan melalui optimalisasi set pieces. Swiss, Turki, Irlandia Utara, Hungaria, dan Rusia berhasil memanfaatkan setidaknya 50% dari peluang set pieces (tidak termasuk penalti) yang mereka dapatkan untuk mencetak gol.
Pentingnya memanfaatkan situasi bola mati untuk bisa meraih kemenangan juga terlihat di liga-liga Eropa sepanjang musim 2015/2016. Dari 983 gol yang tercipta di La Liga musim 2015/2016, 25% di antaranya dihasilkan dari set pieces termasuk penalti. Sedangkan di Liga Inggris persentasenya lebih tinggi 1% dibandingkan La Liga.
Pada Liga Inggris, set pieces memberi kontribusi signifikan bagi tim-tim yang pada awal musim tak jadi unggulan. Tottenham Hotspur menjadi tim terbanyak yang mencetak gol dari situasi bola mati dengan catatan 22 gol.
Bahkan sang juara Leicester City ada di urutan kedua dalam urusan menghasilkan gol dari set pieces. Mereka berhasil menyarangkan 21 gol dengan 10 di antaranya berasal dari titik putih!
Sementara itu di La Liga, meskipun akhirnya terdegradasi, Levante menjadi bukti nyata lainnya bagaimana tim-tim yang dianggap lebih lemah bergantung banyak pada tendangan bebas, tendangan penjuru dan lemparan ke dalam.
Sepertiga dari gol-gol mereka pada musim 2015/2016 (11 gol) merupakan buah dari set pieces. Klub-klub lainnya dengan catatan gol minim seperti Malaga dan Real Betis juga sangat mengandalkan set pieces untuk membuat gol. Keduanya menghasilkan 29% dari seluruh gol mereka memanfaatkan situasi bola mati.
Kisah yang kurang lebih serupa juga terjadi di Bundesliga. Sejumlah klub papan tengah dan bawah seperti Hamburger SV, Darmstadt dan Stuttgart memiliki persentase tertinggi dalam hal jumlah gol yang dihasilkan dari set pieces (tidak termasuk penalti) jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan gol yang mereka cetak sepanjang musim 2015/2016.
Memanfaatkan set pieces tentu bukan monopoli tim-tim yang tak terlalu kuat saja. Namun harus diakui dengan keterbatasan penguasaan bola, mengoptimalkan situasi bola mati untuk mencetak gol merupakan hal penting bagi tim-tim papan tengah dan papan bawah.
Para pelatih mungkin akan menambah porsi latihan tendangan bebas daripada berlatih rondo yang menjadi salah satu menu wajib dan utama bagi Pep Guardiola. Atau bisa jadi melatih teknik diving. Dan daripada latihan menembak ke gawang, lebih baik berlatih cara menendang bola ke tangan bek agar bisa mendapatkan hadiah penalti.
Dengan gambaran seperti ini kiranya moralis sepak bola semakin sadar bahwa memang banyak cara meraih kemenangan dalam sepak bola. Sah-sah saja, namanya juga usaha.