Tidak cukup banyak fans Liverpool yang tahu seperti apa kiprah Roberto Firmino saat pertama kali menginjakkan kaki di Stadion Anfield pada tahun 2015 silam. Ia baru saja didatangkan oleh pelatih The Reds kala itu, Brendan Rodgers, dengan banderol 21,3 juta paun dari klub asal Jerman, Hoffenheim.
Sebelum bergabung bersama Hoffenheim pada 2011 lalu, Firmino adalah pemain muda klub asal Brasil, Figueirense. Dirinya sempat dinobatkan sebagai Bundesliga’s Breakthrough Player of the Season tahun 2014 atas gelontoran 16 golnya. Catatan itu merupakan yang keempat terbanyak di Bundesliga musim tersebut.
Firmino sendiri telah merasakan beberapa kali pergantian pelatih selama membela Hoffenheim. Mulai dari Marco Pezzaiuoli sampai Markus Gisdol. Uniknya, semuanya adalah pelatih berkebangsaan Jerman. Kemampuannya beradaptasi dengan kultur Negeri Bavaria bikin Firmino dapat memamerkan apa yang yang menjadi nilai plusnya sebagai pesepakbola profesional.
Sayangnya, Rodgers yang mendatangkan Firmino ke Negeri Tiga Singa justru dipecat manajemen pada Oktober 2015 karena gagal menghadirkan progresi signifikan untuk The Reds. Alhasil, lelaki Irlandia Utara tersebut belum sempat memaksimalkan potensi yang dipunyai Firmino.
Usai kepergian Rodgers, datanglah Jürgen Klopp sebagai pengganti. Sosok yang satu ini memiliki andil atas lesatan Borussia Dortmund dalam rentang 2008-2015. Bagi Firmino sendiri, kehadiran Klopp sebagai juru strategi Liverpool membuatnya bekerja lagi bersama orang Jerman. Seolah-olah dirinya memang berjodoh dengan pelatih dari negara penghasil mobil-mobil mewah semisal Audi, BMW, Mercedes-Benz, dan Volkswagen tersebut.
“Saya sangat bangga menjadi orang Brasil, tetapi saya juga berterima kasih karena memiliki kesempatan untuk bermain di Jerman selama empat setengah tahun. Saya benar-benar mengubah cara saya bermain sepakbola karena Jerman mempunyai permainan sepakbola yang lebih keras, lebih cepat, dan lebih taktis dengan penjagaan yang lebih ketat. Itu adalah pengalaman yang luar biasa. Saya menganggap diri saya setengah Brasil dan setengah Jerman di lapangan,” kata Firmino dalam sebuah wawancara dengan The Guardian.
Pada masa awal penampilannya bersama Liverpool, Firmino belum terlihat spesial. Sampai pada suatu waktu, ia terlibat dalam banyak gol yang sukses diceploskan The Reds. Menariknya, jumlah gol yang ditorehkannya sendiri bukan yang paling banyak.
Ketika Firmino bergabung ke Stadion Anfield, Liverpool sedang mengalami krisis kepercayaan. Dengan skuat tersisa yang ada saat itu, sebetulnya mereka punya kans untuk bersaing di empat besar Liga Primer Inggris. Apes, inkonsistensi yang kerap terlihat jadi momok bagi The Reds.
Dengan komposisi pemain yang ada ketika itu, Firmino harus memperebutkan posisi striker di starting eleven dengan nama-nama seperti Christian Benteke, Danny Ings, Divock Origi dan Daniel Sturridge.
Sejujurnya, bukan hal yang mudah bagi Klopp untuk memoles kembali komposisi permainan Liverpool agar punya karakter. Klopp menjajal berbagai macam formasi sekaligus melakukan bongkar pasang pemain.
Dua musim belakangan, banyak pengamat sepakbola yang memuji penampilan Firmino. Ia senantiasa mempertontonkan hal-hal ajaib yang bikin The Kopites berdecak kagum. Kecerdikan yang ia miliki, dianggap lebih paripurna dibanding rekannya sesama penghuni lini depan, Sadio Mane dan Mohamed Salah. Gegenpressing ala Klopp secara efektif menjadikannya sebagai penyerang tengah yang unik.
Jika seorang penyerang tengah bernomor punggung 9 biasanya identik dengan striker yang tak pernah lelah mencetak gol, hal itu tak muncul dari Firmino. Alih-alih memaksimalkan penggawa berumur 28 tahun itu sebagai juru gedor utama, Klopp justru lebih senang memberdayakan kelebihan lain Firmino.
Dalam sepakbola modern, ada cukup banyak penyerang tengah yang sangat jago dalam urusan mencetak gol seperti Sergio Aguero, Mauro Icardi, Harry Kane, Robert Lewandowski, Luis Suarez sampai Jamie Vardy.
Namun oleh Klopp, Firmino lebih difungsikan sebagai pendukung Mane dan Salah yang kenyataannya memang sangat produktif dalam menjaringkan bola ke gawang lawan.
Mengapa ini bisa terjadi? Jika dilihat sekilas, Firmino bukanlah striker murni karena wilayah operasinya tidak kelewat dekat dengan bek tengah lawan. Ia menjalankan peran sebagai jembatan antara gelandang dan duo Mane-Salah yang beraksi di sisi sayap.
Formasi standar Liverpool untuk melancarkan serangan dari sayap adalah 4-3-3. Kemampuan ciamik Mane dan Salah dalam menusuk lini pertahanan lawan sekaligus mengeksekusi peluang yang sangat apik disadari Klopp sebagai cara ampuh buat mengalahkan lawan. Hal inilah yang mendorong sang pelatih untuk menjadikan Firmino sebagai ‘pelayan’ bagi kedua rekannya tersebut.
Sebagai duo inside forward, Mane dan Salah begitu rajin berlari seraya menciptakan ruang di lini pertahanan lawan. Dengan kecepatan, olah bola yang mumpuni dan kemampuan lepas dari tekanan lawan yang luar biasa, mereka berdua bisa tiba-tiba membawa bola sampai ke depan gawang. Apalagi di belakang keduanya ada tandem fullback agresif yang punya umpan mematikan yaitu Trent-Alexander Arnold dan Andre Robertson.
Saat Firmino turun, Liverpool seolah bermain tanpa striker murni. Banyak yang bilang bahwa ia lebih berperan sebagai false nine. Persis seperti yang dilakukan Dries Mertens di Napoli atau bahkan Lionel Messi (pada beberapa kesempatan) di Barcelona.
Ketika menyerang, ia akan menempatkan diri di antara dua bek lawan, menarik perhatian mereka guna menciptakan ruang untuk rekan setim sekaligus menyodorkan umpan-umpan ciamik saat bola ada di kakinya.
Sementara saat bertahan, ia akan terus mencari dan menekan pemain lawan yang membawa bola sehingga tak dapat melakukan progresi ke depan. Dengan begitu, ketika Firmino sanggup merebut bola, maka ia akan menahannya sembari menunggu pergerakan Mane dan Salah. Jika posisinya lebih menguntungkan, Firmino yang punya finishing cukup apik juga tak segan untuk melesakkan bola langsung ke arah gawang.
Tatkala salah satu fullback mengirimkan umpan ke salah satu penyerang Liverpool, Firmino bisa ikut turut mengelabui bek lawan dengan pergerakannya. Sesekali ia perlu turun sebentar untuk merebut bola atau cukup memancing bek lawan terus menjaganya.
Kecepatan lari Mane dan Salah juga menjadi alasan lain mengapa Firmino tak dipasang sebagai penyerang murni. Layaknya pemain Brasil pada umumnya, skill Firmino juga cukup aduhai. Tak jarang ia memperagakan atraksi yang indah. Saat mengoper, bola yang dilepaskan dari kakinya seolah-olah meluncur dengan perlahan, tetapi seringkali diterima dengan akurat oleh rekan setimnya.
Data statistik jumlah gol dan asis Firmino selama bermain di Liga Primer Inggris sampai awal Desember 2019 sudah menembus 52 gol dan 31 asis. Bukan catatan yang buruk kalau dibandingkan dengan raihan Mane yang berjumlah 75 gol dan 26 asis atau Salah yang sudah mengoleksi 62 gol dan 22 asis.
Wajib diakui bahwa Firmino adalah pemain yang penting dan memiliki atribut khusus. Ia seperti mengisi bagian yang hilang dari Liverpool di masa krisis penyerang kreatif setelah Philippe Coutinho hengkang. Peran Firmino merupakan bagian sebuah sistem yang dibangun Klopp untuk membuat lini depan semakin kuat dengan komposisi pemain yang tidak jauh berbeda dengan musim 2018/2019. Firmino sendiri pernah memberikan testimoni atas kepelatihan Klopp pada tahun 2016.
“Jika kamu bermain dalam situasi dan kondisi yang berbeda, kamu harus menemukan solusi baru untuk masalah tersebut. Itu membuat saya menjadi pemain yang lebih fleksibel, yang dapat menangani berbagai taktik dan posisi.”
Bersama Liverpool, ia telah menekan kontrak hingga tahun 2023 mendatang. The Kopites tentu berharap, ia akan terus dipercaya sang pelatih untuk mengisi lini serang The Reds. Kontribusinya akan selalu dikenang fans Liverpool dengan terus menyanyikan chant khusus untuk Firmino yang berjudul ‘Si Senor’.
Jika Alexander-Arnold dan Robertson makin sering dijadikan acuan sebagai contoh fullback kekinian. Apakah sudah saatnya menjadikan Firmino sebagai role model untuk penyerang modern berkemampuan komplet untuk kesebelasan sepakbola yang ada di dunia saat ini?