Persipura dan Perlawanan

Saya ingat sore pada suatu hari di 1998 itu baru selesai hujan. Dan di lapangan dekat Bandar Udara Frans Kaisepo, Biak Numfor, kami bermain alih-alih bikin pe-er. Anak-anak amber (pendatang) dari Jawa sama
Makassar, lawan anak-anak komin (penduduk asli). Enam orang tiap sisi.

Tentu saja kami dibantai. Pada satu titik dalam pertandingan, ada pace satu ini. Dia dapat bola di dia punya wilayah, langsung menggiring lekas ke depan. Cepat sekali. Di wilayah pertahanan kami, tinggal Pujiyanto. Dia orang terakhir sebelum kiper. Siap hadang itu pace satu orang. Saya tenang karena Puji ini pemain bagus. Tapi kawan Papua satu ini bikin gerakan.

Saat jaraknya tinggal semeter lebih sedikit dari Puji, dalam kecepatan, dia hentikan bola dengan bagian dalam kaki sebelah kanan, mengarahkannya ke dia punya tumit sebelah kiri, dan mencungkil itu
bola sampai melambung lewat belakang badannya, kemudian melewati Puji sekaligus. Dia lari lewat sebelah kanan Puji, mengontrol bola yang mendarat, giring sebentar, gol. Saya tak pernah lupa.

Papua adalah bakat. Tapi apakah itu saja yang bikin Persipura Jayapura kerap bertengger kokoh di puncak klasemen?

Saya ingat tahun 2007 atau 2008 pergi nonton Persipura di Mandala Krida, Yogyakarta. Waktu itu mereka bertanding melawan PSIM Yogyakarta. Saya tak mau duduk di bangku dekat orang-orang Jawa, suku
saya sendiri, sebab sebelumnya pernah hampir kena pukul waktu angkat tangan pas Persipura bikin gol lawan PSS Sleman dalam satu pertandingan tiga tahun sebelumnya.

Mutiara Hitam main gila itu hari. Ian Lois Kabes (yang diteriaki sama mace-mace setiap dia pegang bola) bersama Boaz Solossa bikin kacau pertahanan PSIM. Saya lupa skor pertandingan, yang jelas Persipura
menang.

BACA JUGA:  Sepak Bola, Teknologi Komunikasi, dan Idealitas Sepak Bola

Pendukung PSIM yang tidak terima kalah menjaga pintu keluar tribun suporter Persipura. Jadi kita orang, ratusan pendukung Persipura, terkurung dalam stadion. Dalam suasana itu, pace-mace maju satu-satu kasi macam-macam pidato. Intinya, mereka siap mati itu hari. “Kalo ada darah Papua hari ini, besok Jogja gelap!” saya ingat pace satu ini bicara.

Polisi berhasil meminta suporter PSIM pulang, dan tak ada yang luka. Tapi hari itu saya mengerti, sepak bola bukan barang main-main buat orang Papua. Dia orang siap mati untuk itu barang, dan siap kasi mati
orang juga. Mengapa demikian?

Begini, Soeharto bukan Jenderal Franco. Yang satu mengangankan diri sebagai Raja Jawa, yang lainnya nun di Spanyol. Tapi saya berlintas pikir, bisa jadi keduanya punya peran yang mirip dalam melukis peta
kekuatan-kekuatan sepak bola di negara mereka masing-masing.

Franco lewat fasismenya membentuk mentalitas perlawanan FC Barcelona. Sementara Soeharto lewat sentralisasinya memoles Persipura Jayapura juga menjadi semacam “mes que en club.” Lebih dari sekadar klub sepak bola.

Barcelona berubah jadi jauh lebih menakutkan selepas Franco lepas dari kekuasaan dan tak bisa lagi mengancam-ancam itu klub untuk tak bermain bagus. Soeharto barangkali kurang paham soal sepak bola. Tapi dia tahu soal bagaimana membuat pusat pemerintahan berlimpah kekayaan; bentuknya, pembagian pendapatan daerah yang tak adil.

Saat dia jatuh, dan otonomi digaungkan, daerah dapat jatah lebih banyak, Persipura menyusul jadi raksasa seiring peningkatan pendapatan daerah. Sementara penindasan yang ia lancarkan menahun jadi bahan
bakar untuk kaki-kaki Papua yang luar biasa gesit.

Saya tak paham mengapa pengamat olahraga di Indonesia takut sekali membuat parabel antara Barcelona dan Persipura. Padahal kira-kira demikianlah di lapangan, atau lebih tepatnya di tribun penonton dan
rumah-rumah bertelevisi di Papua.

BACA JUGA:  Emosi dan Drama Sebuah Pertandingan dari Suara John Helm dan Fabio Caressa (Bagian 1)

Baik Cataluna maupun Papua adalah tanah yang tak jenak dengan negara tempat mereka jadi bagian. Paling tidak, penduduk kedua wilayah merasa terasing di antara rekan-rekan senegaranya.

Ada hal selain bakat, kecerdasan, dan kecepatan untuk menentukan hasil akhir pertandingan. Namanya motivasi. Dalam ini, Persipura punya persediaan melimpah.

Apa yang dilakukan Persipura di lapangan bukan hanya bermain. Mereka merawat harkat Tanah Papua. Mudah dimengerti kenapa Tibo (saat masih bermain di Persipura), Manu (red.: Immanuel Wanggai), Ian, Boaz lebih meledak-ledak saat bermain di Indonesia Super League (ISL) daripada saat membela Garuda. Lewat Persipura, orang Papua bisa sejenak merayakan kemerdekaan yang belum kunjung mereka dapati. Seperti orang-orang Catalan di Camp Nou.

Mudah dimengerti kemudian, mengapa ada kemarahan di Papua belakangan menyusul gagalnya pertandingan dengan Pahang FA dan kemudian sanksi FIFA yang bikin Persipura tak bisa lanjut lagi di Piala AFC tahun lalu. Indonesia sekali lagi dianggap mencerabut apa yang dekat sekali dengan hati orang Papua.

Dalam satu dan lain hal, hanya lewat Persipura orang Papua bisa menyalurkan perlawanan secara legal terhadap kekuatan-kekuatan yang sejak lama bikin susah dia orang. Saat orang-orang merasa ditindas dan
macam dianggap bukan orang, sepak bola jadi ajang berharga untuk kasih lihat bahwa di lapangan hijau semua setara. Dan demikianlah mengapa saya jatuh sayang dengan Mutiara Hitam.

 

Komentar
Wartawan dan pendukung Persipura.