Ramang, Macan Bola Indonesia yang Terlupakan

Di tengah berbagai hiruk-pikuk sepak bola Eropa dan vakumnya sepak bola Indonesia, membuat kita lupa tentang legenda sepak bola negeri ini yang telah membawa nama harum bangsa pada masa lalu.

Ya, masa lalu. Sepak bola Indonesia sekarang lebih identik dengan konflik PSSI, mafia, kasus sepak bola gajah, dan banyak hal buruk yang andai ditulis beserta buktinya, mungkin cukup untuk mengalahkan panjang jembatan Suramadu.

Ini jelas bertolak belakang dengan kondisi sepak bola Indonesia pada dekade 1950-1970-an, yang dikenal sarat prestasi dan tentunya membanggakan bagi kita, masyarakat Indonesia sehingga ceritanya kerap diulang hingga kini.

Jauh mundur ke belakang, tepatnya pada tahun 1938, Indonesia (Hindia Belanda, red.) lolos ke Piala Dunia di Prancis dan tercatat sebagai negara Asia pertama yang tampil di kompetisi yang menjadi supremasi tertinggi sepak bola itu. Hindia Belanda diundang untuk mengggantikan posisi Jepang.

Di antara banyak pesepak bola top pada masa itu, Ramang mungkin salah satu yang terbaik. Saya sendiri mengenal sosok ini melalui majalah yang tersimpan di belakang kursi penumpang pesawat saat masih SD dulu. Saat itu terdapat berita peluncuran buku tentang dirinya, Ramang Macan Bola yang ditulis oleh M. Dahlan Abubakar.

FIFA pun mengakui kehebatannya dengan artikel berjudul Indonesian who inspired ’50s meridian yang dimuat di situs resmi mereka, fifa.com. Secara khusus tulisan itu dipersembahkan untuk mengenang Ramang yang sudah 25 tahun menghadap Yang Maha Kuasa.

Sepenggal perjalanan karier Ramang

Andi Ramang yang lebih dikenal sebagai Ramang, mulai memperkuat PSM Makassar pada tahun 1947, yang waktu itu masih bernama Makassar Voetbal Bond (MVB).

Melalui sebuah klub bernama Persis (Persatuan Sepak Bola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi PSM. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0. Sejak itulah ia dilamar bergabung dengan PSM.

Ramang memang sudah mulai menendang-nendang buah jeruk, gulungan kain dan bola anyaman rotan dalam permainan sepak raga sejak berusia 10 tahun.

Pada tahun 1952 ia menggantikan Sunardi, kakak Suardi Arlan, mengikuti latihan di Jakarta. Ini membuatnya menjadi pemain utama PSSI. Didampingi Suardi Arlan di kanan dan Nursalam di kiri, ia bagai kuda kepang di tengah gelanggang.

Permainannya sebagai penyerang tengah sangat mengagumkan. Maka setahun kemudian ia keliling di beberapa negeri asing. Namanya meroket menjadi pemain favorit penonton dan disegani pemain lawan.

Pada lawatannya tahun 1954 ke berbagai negeri Asia, Filipina, Hongkong, Muangthai, dan juga negeri tetangga Malaysia, PSSI (timnas Indonesia, red.) hampir menyapu seluruh pertandingan dengan kemenangan besar. Mencetak 25 gol dan hanya kemasukan 6 gol. Ramang sendiri mencetak 19 gol di antara seluruh gol yang berhasil diciptakan oleh timnya. Dua di antaranya dicetak melalui tendangan salto indah. Dalam lawatan luar negeri itu, Indonesia hanya kalah dari Republik Korea.

Berkat prestasi Ramang dan kawan-kawan, Indonesia masuk dalam hitungan kekuatan sepak bola di Asia. Satu demi satu kesebelasan Eropa mencoba kekuatan PSSI.

BACA JUGA:  Nasib Pedagang Asongan Stadion ketika Tidak Ada Sepak Bola

Mulai dari Yugoslavia yang gawangnya dijaga Beara (salah satu kiper terbaik dunia waktu itu), klub Stade de Reims dengan si kaki emas Raymond Kopa, kesebelasan Rusia dengan kiper top dunia Lev Yashin, klub Locomotive dengan penembak maut Bubukin, sampai Grasshopers dengan Roger Vollentein.

Ramang sendiri memilih merendah dan menegaskan itu tak hanya prestasinya, melainkan kerja sama dengan kawan-kawan satu tim, sembari menyebut nama temannya satu per satu: Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramlan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sian Liong dan Djamiat.

Ramang dikenal sebagai penyerang haus gol. Ramang memiliki tendangan yang akurat. Bisa memaksimalkan peluang sesulit apa pun dan punya lari yang kencang. Satu lagi, dia pandai melakukan tendangan salto. Trik indah yang sulit dilakukan. Keahlian itu tampaknya karunia alam untuk pribadi Ramang sebagai bekas pemain sepak raga yang ulung.

Gol melalui tendangan salto yang indah dan mengejutkan seringkali dipertunjukkan oleh Ramang. Satu di antaranya saat PSSI mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Itu pertandingan menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958.

Pertandingan kedua dilanjutkan di Peking, Indonesia kalah dengan skor 3-4, sedang yang ketiga di Rangoon (juga melawan RRC) yang berakhir imbang 0-0. Sayang sekali lawan selanjutnya ialah Israel (yang tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat.

Karena kehebatan Ramang di lapangan sepak bola, tak heran jika pada tahun 1950-an, banyak bayi lelaki yang lahir kemudian diberi nama Ramang oleh orang tuanya.

Jika Ramang ditanya mengenai pertandingan paling berkesan, di sejumlah media, ia menyebut ketika PSSI menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956. “Ketika itu saya hampir mencetak gol. Tapi kaus saya ditarik dari belakang,” kenang Ramang.

Indonesia melawan Uni Soviet di babak kedua Olimpiade Melbourne 1956. Soviet kala itu diperkuat pemain yang hebat seperti Lev Yashin, Igor Netto, Eduard Streltsov dan Valentin Ivanov. Sebelumnya mereka mengalahkan Jerman Barat, juara bertahan dunia, di babak pertama.

Namun, Uni Soviet cepat diberi tekanan ketika Ramang, pemain berposisi deep-lying forward, melewati hadangan dua dari pemain mereka dan memaksa Yashin melakukan fingertip save untuk mengamankan gawangnya.

Dan meskipun anak asuh Gavril Kachalin menguasai pertandingan setelah itu, mereka frustrasi dengan kegagalan mereka untuk mengalahkan tim yang notabene adalah underdog dan oleh keterampilan Ramang pada serangan balik. Pemain berusia 32 tahun bahkan nyaris mengguncang dunia di menit ke-84, tapi upayanya digagalkan Lev Yashin yang secara luas dianggap sebagai kiper terbesar dalam sejarah sepak bola.

Jika Soviet tidak tahu siapa Ramang sebelum pertandingan itu, mereka pasti membayar perhatian menuju ke laga replay. Sehingga Kachalin memerintahkan Netto, playmaker timnya, agar mengadopsi peran yang lebih defensif untuk meniadakan dampak dari No. 11 Indonesia. Itu bekerja. Uni Soviet menang 4-0.

BACA JUGA:  Serangan Fajar!

Fakta bahwa Uni Soviet melanjutkan kompetisi hingga final dan merebut emas di Melbourne, ditambah legenda bahwa kinerja Indonesia yang epik, tetap menjadi salah satu hasil yang paling menakjubkan dalam sejarah Olimpiade.

Menjadi pelatih hingga menghembuskan nafas terakhirnya

Ramang sempat mencicipi dunia kepelatihan dengan menangani PSM Makassar dan Persipal. Karena prestasinya yang mengesankan kala melatih Persipal, Ramang dihadiahi satu hektare kebun cengkeh oleh warga Donggala, Palu.

Tapi Ia kemudian harus disingkirkan pelan-pelan karena ia tidak memiliki sertifikat kepelatihan. Dalam melatih, Ramang hanya mengajarkan pengalamannya ditambah dengan teori yang pernah ia dapatkan dari mantan pelatih PSSI, Tony Pogacknic, yang ia sangat hormati.

Ramang pernah menyebut bahwa pemain sepak bola sepertinya tidak lebih berharga dari kuda pacuan. “Kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding, menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada panggilan. Sesudah itu tak ada apa-apa lagi,” katanya dengan kecewa.

Namun Ramang sudah berketetapan hati menutup kisah masa lampaunya itu. “Buat apa mengenang masa-masa seperti itu sementara orang lebih menghargai kuda pacuan?” katanya. Kekecewaan itu tampaknya begitu berat merundungnya, hingga ia seringkali sengaja sembunyi hanya untuk mengelak wawancara dengan seorang wartawan.

Enam tahun ia menderita sakit di paru-parunya tanpa bisa berobat ke Rumah sakit karena kekurangan biaya. Pada tanggal 26 September 1987, di usia 63 tahun, itu meninggal dunia di rumahnya yang sangat sederhana yang ia huni bersama anak, menantu dan cucunya yang semuanya berjumlah 19 orang.

Ramang dimakamkan di TPU Panaikang. Untuk mengenang jasanya, sebuah patung di lapangan Karebosi dibuat untuknya. Selain itu hingga sekarang salah satu julukan PSM Makassar adalah Pasukan Ramang.

Tentu sedih rasanya pesepak bola berprestasi seperti Ramang di akhir hidupnya dalam kondisi memprihatinkan. Anologi kuda pacu yang dulu dia sampaikan sebagai kegundahan hatinya benar-benar ia rasakan. Tak hanya dirinya, banyak juga pesepak bola dan atlet olahraga lainnya yang berprestasi untuk negara tapi dilupakan ketika pensiun. Habis manis sepah dibuang.

***

Ini jelas menjadi PR besar pemerintah khususnya Kemenpora untuk belajar menghargai jasa-jasa atlet yang mengharumkan nama Indonesia. Tak hanya memberikan dukungan finansial, tapi juga moral jika atlet mengalami masalah atau sakit keras.

Meski terlihat sepele, sikap empati yang diberikan pemerintah akan sangat berharga bagi atlet yang ditimpa musibah. Apalagi para atlet juga kerap disebut sebagai pahlawan karena “berperang” dengan negara lain di arena olahraga untuk merebut kemenangan bagi Indonesia. Jika demikian, maka kita adalah bangsa yang kecil. Ingatlah ujaran yang dulu didengungkan Bung Karno. ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya!”

Sedangkan kita sebagai masyarakat, tak ada salahnya untuk mengenang pesepak bola yang pernah berjasa bagi negeri kita, siapa saja dia, dan di manapun mereka berada.

And while arguably Indonesia’s greatest-ever footballer passed away, the legend of Ramang will continue to be told.

Komentar
Penulis bernama asli Sayyid Muhammad Haedar Al-Kaff. Menjadi fans manchester city sejak 2010. Nasionalis yang menganggap sepakbola Indonesia sebagai darah dan sepakbola luar negeri sebatas hiburan. Kini menjadi freelance writer yang menulis apa yang harus ditulis. Bisa dihubungi melalui akun twitter @haedaralkaff