Saatnya Aljazair Juara!

Bicara sepak bola Afrika, publik takkan bisa menepikan nama Ghana, Kamerun, Mesir, Nigeria, dan Pantai Gading sebagai negara dengan prestasi paling yahud. Walau belum mampu menjadi jawara, kuintet tersebut cukup konsisten berpartisipasi di ajang sepak bola antarnegara paling megah, Piala Dunia.

Dalam skala regional, yakni Piala Afrika, lima negara di atas juga beroleh setumpuk gelar. Tercatat, mereka punya koleksi total 20 trofi juara dengan rincian tujuh gelar (sekaligus yang terbanyak) bagi Mesir, masing-masing empat titel buat Ghana dan Kamerun, tiga trofi milik Nigeria dan sepasang piala untuk Pantai Gading.

Maka tak perlu heran bila negara-negara tersebut selalu menjadi unggulan dalam setiap perhelatan Piala Afrika. Tak terkecuali yang akan diselenggarakan tahun ini di Gabon. Sayangnya, satu dari kuintet tersebut, Nigeria, dipastikan absen lantaran tidak lolos dari babak kualifikasi.

Lalu, sudah pastikah gelar Piala Afrika 2017 bakal didapat satu dari empat raksasa tersisa itu? Jangan cepat-cepat menganggukkan kepala. Pasalnya, pada pagelaran kali ini, ada satu kontestan lain yang dijagokan oleh banyak pihak bisa menggondol status terbaik di benua hitam. Kesebelasan tersebut adalah Aljazair.

Harus diakui, dalam beberapa tahun terakhir, persepakbolaan di negara yang kaya akan minyak bumi dan gas alam ini ini memang tengah menggeliat. Mustahil juga rasanya bila pecinta sepak bola masa kini tidak mengenal sosok macam Nabil Bentaleb, Sofiane Feghouli, Faouzi Ghoulam, Islam Slimani, Saphir Taider, dan tentu saja sang protagonis utama, Riyad Mahrez.

Nama-nama di atas dan beberapa penggawa lain yang jadi pilar timnas selama tiga tahun terakhir memang kerap disebut-sebut sebagai generasi emas kedua yang pernah dimiliki Si Rubah Gurun, julukan timnas Aljazair.

Hal ini sangat wajar, mengingat rataan usia mereka berada di kisaran 24-26 tahun, usia emas bagi mereka yang berprofesi sebagai pesepakbola.

Lebih jauh, kualitas yang mereka miliki, baik visi bermain, teknik olah bola maupun mental, juga sangat mumpuni. Maka kita pun tak perlu tertegun saat menyaksikan para pemain andalan Si Rubah Gurun jadi sosok penting di klubnya. Sebut saja Mahrez dan Slimani di Leicester City, Ghoulam di Napoli, Feghouli di West Ham, dan Taider di Bologna.

Aksi-aksi ciamik generasi emas kedua milik Aljazair ini muncul pertama kali di ajang Piala Dunia 2014 kemarin. Ketika itu, bersama manajer asal Bosnia-Herzegovina, Vahid Halilhodzic, Si Rubah Gurun sanggup mengeluarkan sisi terbaik yang mereka punyai.

Aljazair berhasil keluar sebagai runner-up Grup H di bawah tim yang juga tengah menikmati kebangkitan sepakbolanya, Belgia. Hasil sekali menang, sekali seri, dan sekali kalah sudah lebih dari cukup bagi Aljazair untuk mendapatkan selembar tiket ke babak 16 besar. Catatan ini sendiri merupakan sebuah rekor bagi Aljazair di sepanjang keikutsertaan mereka di Piala Dunia.

Nahasnya, perjuangan Rais M’Bolhi dkk., juga harus berakhir prematur di babak tersebut setelah tumbang di tangan raksasa Eropa, Jerman, dengan skor tipis 1-2. Gol Andre Schurrle dan Mesut Ozil hanya bisa dibalas oleh Abdelmoumene Djabou.

Tapi publik juga pasti tidak lupa bila kubu Der Panzer harus bersusah payah hingga babak perpanjangan waktu untuk bisa menumbangkan Aljazair.

Penampilan hebat anak asuh Halilhodzic saat itu berhasil meyakinkan banyak pihak jika mereka memiliki masa depan yang cerah. Bayangan tentang kejayaan yang didapat Aljazair dalam rentang 1980-1990 silam bersama generasi emas pertama, kembali muncul di benak setiap orang, khususnya rakyat Aljazair.

Generasi emas pertama yang dikomandoi oleh sosok Rabah Madjer memang sukses mengubah wajah persepakbolaan Aljazair secara menyeluruh. Performa mengejutkan ditorehkan Madjer dkk., untuk kali pertama saat berhasil menumbangkan Jerman Barat yang berstatus sebagai jawara Eropa di laga pembuka grup 2 babak penyisihan grup Piala Dunia 1982.

Jerman Barat sendiri butuh “main mata” dengan sang tetangga, Austria, untuk menghentikan laju apik Aljazair sekaligus menggagalkan upaya Madjer dkk., lolos ke babak berikutnya.

Peristiwa memalukan yang dilakukan Jerman Barat dan Austria itu kemudian populer dengan sebutan Schonde von Gijon atau Disgrace of Gijon lantaran aksi yang ditunjukkan Pierre Littbarski dkk., dan Hans Krankl cs., sangat mencederai sportivitas. Hal ini mirip sekali dengan sepakbola gajah di Indonesia.

Kualitas yang dimiliki generasi emas pertama ini akhirnya menghasilkan sesuatu yang sangat berharga dan prestisius, yakni trofi Piala Afrika 1990. Bertindak sebagai host nation, kala itu Aljazair sanggup menghabisi semua tim yang menghalangi jalan mereka guna menggondol titel juara untuk kali pertama.

Di babak final, gol semata wayang dari Cherif Oudjani sudah cukup untuk bikin Nigeria bertekuk lutut dan mandi air mata.

Sayangnya itu adalah prestasi terbaik yang bisa dipersembahkan generasi emas pertama Aljazair untuk terakhir kalinya. Usia beberapa pilar seperti Madjer, Oudjani, Lakhdar Belloumi, dan Djamel Menad yang semakin menua bikin mereka kesulitan bersaing dengan kekuatan negara-negara lain yang ditopang pemain-pemain muda penuh energi. Tak berselang lama, beberapa nama di atas memutuskan pensiun.

Nasib timnas Aljazair memburuk, selepas gagal menembus Piala Dunia 1990 karena rontok di final round akibat kalah agregat 1-0 dari Mesir, usaha Si Rubah Gurun mempertahankan gelar di Piala Afrika 1992 pun sia-sia. Aljazair harus mengepak koper lebih dulu karena finis di posisi buncit Grup C.

Kejadian lebih tragis terjadi di Piala Afrika 1994, Si Rubah Gurun yang saat itu sudah dipastikan lolos justru didiskualifikasi oleh induk organisasi sepak bola Afrika (CAF) akibat menurunkan pemain yang tidak memenuhi syarat selama babak kualifikasi.

Kegagalan demi kegagalan yang diderita Aljazair saat itu membuat nama besar mereka semakin pudar. Kesebelasan yang pernah menembus babak perempatfinal Olimpiade Moskow 1980 ini pun tak lagi ditakuti lawan-lawannya. Sampai akhirnya secercah cahaya baru dibawa oleh generasi Mahrez dkk., untuk membangkitkan sepak bola Aljazair.

Skuat yang mumpuni dan matang, walau Feghouli tak dimasukkan ke dalam skuat yang bakal bertempur di Piala Afrika 2017 nanti, tergabung di Grup B yang cukup ringan selama babak penyisihan (bersaing dengan Senegal, Tunisia, dan Zimbabwe) dan berada di salah satu era terbaik dalam sejarah persepakbolaannya menjadi modal berharga yang bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh Aljazair.

Kegagalan di Piala Afrika 2015 yang lalu, keok dari Pantai Gading di babak perempatfinal, juga bisa menjadi motivasi tambahan bagi Slimani cs. Terlebih, di tujuh laga resmi terakhir yang dijalani Si Rubah Gurun, mereka berhasil mencatat raihan positif dengan mereguk empat kemenangan, dua kali imbang dan cuma satu kali kalah.

Tentu saja itu hanya hitung-hitungan di atas kertas, apa yang akan dicapai tim yang sekarang ditukangi pelatih gaek asal Belgia, Georges Leekens, ini akan ditentukan selama kurang lebih tiga pekan ke depan. Bila gelar kedua di ajang ini menjadi sasaran utama Mahrez dkk., maka berjuang sampai titik maksimal adalah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Gimana Aljazair, bisa?

Komentar

This website uses cookies.