“Satu hal yang saya tekankan, kami sudah beberapa kali bertemu dan pertandingan kontra Indonesia tidak pernah mudah, tidak hanya sekali kami bermain dan berakhir dengan skor imbang,” ujar Kiatisuk Senamuang di Sentul.
Walaupun menargetkan kemenangan, Thailand mengakui Indonesia sebagai lawan yang tangguh. Sepanjang turnamen ini, hanya Indonesia yang pernah membobol gawang Thailand. Dua gol yang bersarang ke gawang Kawin Thamsatchanan merupakan hasil dari sundulan Boaz Solossa dan Lerby Eliandry.
Meski berangkat ke Filipina dengan keraguan, anak asuh Alfred Riedl perlahan namun pasti menemukan permainan terbaiknya. Boaz dan kawan-kawan selalu mampu mencetak dua gol setiap pertandingan.
Hanya saja lini belakang memang masih memiliki banyak lubang. Tapi, Riedl tahu dia harus melakukan apa. Salah satu yang dilakukannya dengan memainkan Hansamu Yama dan Fachrudin Aryanto di lini belakang dengan Manahati Lestusen sebagai gelandang bertahan.
Namun, sepanjang mengikuti kiprah timnas Indonesia, penulis menemukan bahwa banyak pemain sepak bola Asia Tenggara menaruh kecemasan setiap bersua Indonesia.
Timnas Garuda lima kali ke final Piala AFF. Itu torehan yang tak sembarangan, siapa yang bisa melakukannya selain kita dan Thailand sejauh ini?
Shahril Ishak dan Noh Alamshah, dua legenda hidup sepak bola Singapura pernah mengatakan, Indonesia adalah lawan paling sulit yang pernah mereka hadapi, Indonesia yang bermain buruk di laga sebelumnya bisa tiba-tiba tampil sangat baik, sering memberi kejutan dan itu sangat menyulitkan.
Kejutan terakhir yang diterima Singapura tentu di Stadion Rizal Memorial, Manila. Setelah kita kalah telak 2-4 dari Thailand dan hanya bermain imbang 2-2 melawan Filipina, kita berhasil membalikkan keunggulan menjadi 2-1 atas Singapura setelah tertinggal lebih dulu.
Tahun 2012, kondisi sepak bola dalam negeri amat buruk. Dualisme liga berujung pada konflik antara dua tim nasional. Nil Maizar, pelatih timnas ketika itu hanya membawa pemain dari Liga Primer. Tampil tanpa kekuatan penuh, Indonesia masih bisa menaklukkan Singapura dengan skor tipis 1-0, walau akhirnya timnas tetap tak mampu ke semifinal kala itu.
Dan pengalaman Kiatisuk sendiri berbicara bahwa dia tak mudah menang melawan Indonesia. Selain sudah diperlihatkan di partai perdana Piala AFF 2016, ingatan akan final Piala Tiger (nama Piala AFF ketika itu) 2002 pastinya kembali menyeruak.
Thailand memang berhasil juara dan Kiatisuk sebagai kapten memimpin rekan-rekannya mengangkat trofi. Tapi, itu semua dilaluinya tidak dengan mudah.
Semangat pantang menyerah Indonesia ketika itu berhasil menunda pesta Thailand. Bisa dibilang pula, tahun 2002 itu adalah kesempatan terbaik kita menjadi juara dan ceritanya akan bak dongeng jika bisa jadi kenyataan, jauh lebih baik kesempatannya dibanding tahun 2010 lalu.
Saat itu Indonesia menjadi tuan rumah. Final yang hanya digelar sekali tentu menambah panas atmosfir pertandingan yang digelar di Gelora Bung Karno.
Indonesia yang kala itu diarsiteki Ivan Kolev sedang dalam optimisme tinggi. Inilah timnas terbaik dengan empat penyerangnya, Bambang Pamungkas, Budi Sudarsono, Zainal Arif, dan Gendut Dony sedang dalam performa terbaiknya, salah satunya ditunjukkan dengan mencetak 13 gol ke gawang Filipina di penyisihan grup.
Tapi, final tak pernah mudah. Chukiat Noosalung mencetak gol memanfaatkan tendangan bebas Terdsak Chaiman di menit 26. Pria berambut blonde itu kemudian mencetak golnya sendiri pada menit 38.
Ketinggalan dua gol, Indonesia tak menyerah. Semangat militan yang ditunjukkan Bambang Pamungkas dan kawan-kawan berbuah manis. Yaris Riyadi mencetak gol di menit 48 dan Gendut Dony Christiawan berhasil menyamakan kedudukan menjadi 2-2 pada menit 79.
Cerita bak cinderella itu bahkan hampir jadi kenyataan setelah penendang penalti pertama negeri Gajah Putih yang tak lain tak bukan pemain terbaik mereka, Kiatisuk Senamuang, gagal setelah tembakannya melambung.
Sayang hasil berkata lain, dua penendang kita Sugiantoro dan Firmansyah gagal memanfaatkan tendangan penalti. Tendangan Sugiantoro menepa mistar dan sepakan Firmansyah jauh menyamping.
Laga itu akhirnya ditutup dengan tendangan cungkil Dusit Chalermsan. Gaya menendang yang dikemudian hari saya tahu sebagai gaya penalti ala Panenka.
Kekalahan itu perlu untuk diingat oleh Boaz dan kawan-kawan. Bukan sebagai kekalahan yang menyesakkan tapi sebagai laga yang jangan diakhiri sebelum peluit panjang dibunyikan.
Sebagai laga di mana pasukan Garuda mesti mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyulitkan Thailand, untuk membuat Zico –julukan Kiatisuk— kembali kita buat frustasi, dan tentunya untuk meraih kemenangan.
Berjuanglah Boaz dan kawan-kawan, kalian tak pernah berjuang sendirian, ada jutaan dukungan dan doa dari suporter Indonesia. Ayo kita buat Thailand menangis di Pakansari!