Semenjana dan Bahagia Bersama El Magico

Jonathan Wilson, dalam kolomnya di The Guardian mengatakan bahwa Piala Dunia 1982 adalah panggung di mana kenaifan, alih-alih sepak bola itu sendiri, mati. Pendapat Wilson tersebut, tentu saja ia gunakan untuk menggambarkan kegagalan Brasil.

Kala itu, Brasil yang diperkuat seniman-seniman macam Socrates, Zico, dan Falcao, serta memainkan sepak bola menawan, tunduk di hadapan Italia nan kokoh serta terstruktur.

Wilson benar, dan bagi kebanyakan orang, cerita utama yang muncul dari gelaran ini memang bagaimana Brasil, dengan segala rupa kehebatan teknikal mereka, mengabaikan satu syarat tim juara: struktur.

Mereka tampil seenak jidat dengan pergerakan liar yang sangat-sangat mirip dengan apa yang dilakukan Led Zeppelin di setiap konser.

Namun bicara soal kenaifan, Brasil tak sendiri. Ada El Salvador yang menemani mereka. Cerita mereka memang tak benar-benar serupa karena Brasil adalah Brasil dan El Salvador adalah, yah, El Salvador.

Datang ke Piala Dunia 1982 dengan segenap masalah yang bagai tak kelihatan ujungnya, El Salvador babak belur. Mereka kemasukan 13 gol dari 3 pertandingan dan mengakhiri turnamen sebagai juru kunci grup.

Kekalahan 1-10 dalam laga perdana kontra Hungaria bahkan sampai sekarang masih tercatat sebagai kekalahan dengan skor terbesar dalam sejarah Piala Dunia. Pada laga itu, mereka secara naif tampil terbuka dan akhirnya justru memudahkan Hungaria untuk membabat habis.

Itulah bukti kedua bahwa pada Piala Dunia 1982, kenaifan, alih-alih sepak bola itu sendiri, mati.

El Salvador memang kemudian harus angkat koper lebih cepat, akan tetapi, ada satu dari mereka yang “dipaksa” untuk tinggal di Iberia. Ia adalah Jorge Gonzalez, pemain depan yang menjadi tumpuan serangan La Selecta.

Meski kiprah El Salvador pada Piala Dunia 1982 boleh dibilang sebagai sebuah bencana, tidak demikian dengan penampilan Jorge Gonzalez. Ia adalah permata yang entah bagaimana bisa tercecer di onggokan sampah.

Ia berkilau, tapi tak cukup terang bagi mata yang tak awas. Dan kala itu, hanya ada dua pasang mata yang cukup jeli untuk menangkap kilau sang permata, yakni sepasang milik Atletico de Madrid serta sepasang lagi milik Cadiz.

Atletico de Madrid sebenarnya sudah berada selangkah di depan Cadiz untuk mendapat tanda tangan Gonzalez. Namun, karena suatu hal yang tak pernah terungkap, Gonzalez urung bergabung ke ibu kota. Cadiz pun maju dan menawarinya kontrak.

Tak disangka, Gonzalez mau-mau saja bergabung dengan klub yang saat itu baru saja terdegradasi dari Divisi Primer. Godaan Cadiz, sebuah kota di pesisir Andalusia yang riang tampaknya menjadi pertimbangan utama dirinya untuk bermain di sana.

Bagi Jorge Gonzalez, kebahagiaan memang nomor satu. Tak peduli di mana ia bermain, asal bahagia, itu sudah cukup.

Entah apa yang diimpikan para pendukung Cadiz, yang jelas, kedatangan Gonzalez barangkali merupakan hal terindah yang pernah mereka rasakan. Dalam diri Gonzalez, mereka mendapat sosok pemain yang tak hanya punya kemampuan menakjubkan, mereka juga mendapat sesosok ikon.

Bayangkan Diego Maradona, dengan perawakan yang sedikit berbeda. Gonzalez dan Maradona sama-sama cepat, memiliki kaki-kaki cekatan, tahu bagaimana menghibur publik dengan trik-trik menawan, dan yang paling penting, hidup di dunia mereka sendiri. Bedanya adalah, Gonzalez berperawakan (sedikit lebih) tinggi dan ramping, serta mengandalkan kaki kanannya.

Pada akhirnya memang Gonzalez tidak pernah menjadi sebesar Maradona, walau Maradona sendiri sudah mengakui bahwa penyerang kelahiran 13 Maret 1958 merupakan salah satu pemain terbaik yang pernah ia saksikan.

Sah memang untuk meragukan apa yang dikatakan Maradona mengingat rekam jejaknya yang tak meyakinkan. Akan tetapi, mengingat ketika mereka berdua berkarier di Spanyol, hal-hal buruk yang kemudian menjangkiti El Pibe del Oro belum datang.

Jadi, mungkin apa yang dikatakan Maradona dari era di mana ia masih sadar sepenuhnya cukup bisa dipertanggungjawabkan.

Jorge Gonzalez seketika menjadi kesayangan publik kota Cadiz. Selain karena aksinya di lapangan hijau yang memukau, aktivitas “ekstrakurikuler” Gonzalez juga membuat dirinya semakin dicintai.

Seperti sudah dituliskan sebelumnya, Cadiz adalah kota yang riang, di mana kegembiraan menjadi tujuan nomor satu penduduk kota tersebut. Festival, karnaval, dan tentu saja kehidupan malam, menjadi atraksi utama kota yang konon menjadi inspirasi bagi kota Havana.

Gonzalez terlibat di semua hal itu. Di lapangan hijau, jelas ia merupakan bintang paling terang. Pada musim perdana, ia langsung mampu membawa Cadiz kembali ke Divisi Primer dengan sumbangan 15 gol dari 33 pertandingan.

Kemudian, di luar lapangan, Gonzalez menjelma menjadi selebriti kota yang selalu hadir di mana pun ada keriuhan. Belakangan, ia mengakui bahwa sebagai orang yang tumbuh besar nyaris tanpa hiburan memadai di El Salvador, Spanyol tampak seperti taman bermain yang menyenangkan. Terlebih lagi, ia terdampar di kota seperti Cadiz.

Para pendukung Cadiz pun tak peduli akan sepak terjang bohemian Gonzalez di luar lapangan. Bagi mereka, hanya satu hal yang penting: selama Gonzalez mampu tampil menawan pada akhir pekan, persetan dengan segala kenakalannya.

Penduduk Cadiz memuja Gonzalez dan pada akhirnya, memberi julukan El Magico (Sang Pesulap) kepadanya. Nama Jorge Gonzalez pun berubah menjadi Magico Gonzalez.

Sayang, seperti El Salvador pada Piala Dunia 1982, kiprah Cadiz di Divisi Primer musim 1983/1984 pun setali tiga uang. Pada pengujung musim, mereka kembali harus terdegradasi ke Divisi Dua meski Magico Gonzalez menyumbangkan 15 gol.

Perlu dicatat bahwa catatan 15 gol dari Magico ini hanya terpaut dua gol dari top skorer bersama, Jorge Da Silva (Real Valladolid) dan Juanito (Real Madrid). Satu dari 15 gol tersebut dicetak ke gawang Barcelona-nya Maradona lewat sebuah aksi solo run yang biasanya identik dengan El Diego.

Gol solo run Magico Gonzalez ketika menghadapi Barcelona.

Barcelona pun kemudian kepincut untuk meminang pujaan Cadiz tersebut. Pada tur ke Amerika Serikat jelang musim kompetisi 1984/85, Magico diundang untuk mengikuti tur bersama Blaugrana.

Saat itu, Magico diharapkan bisa menjadi suksesor Diego Maradona yang hijrah ke Napoli setelah berulang kali berselisih dengan para petinggi Barcelona.

Namun kepindahan ke Barcelona urung terlaksana karena sebuah insiden di hotel tempat tim menginap. Pada tengah malam, ketika alarm kebakaran dibunyikan dan semua penghuni hotel turun ke lobi, Magico tetap tinggal di kamar untuk bercinta dengan seorang pelayan hotel.

Ketika ditanya mengapa ia tidak ikut turun, Magico menjawab, “Aku tidak pernah tidak menyelesaikan apa yang kulakukan.” Belajar dari kasus Maradona, manajemen Barcelona memutuskan untuk tidak melanjutkan proses transfer. Mereka tidak mau ada satu pemain lagi yang tidak mau diatur.

Di sinilah karier Magico mulai mengalami penurunan. Meski dipuja seantero kota, manajemen Cadiz sebenarnya sudah jengah dengan ulah bintang mereka. Ia jarang datang latihan tepat waktu dan konon sempat tertidur di pundak seorang pemain lawan saat situasi sepak pojok akibat begadang.

Pada pertengahan musim 1984/85, Cadiz pun melegonya ke klub Divisi Primer, Real Valladolid. Namun di Valladolid yang lebih dingin dan keras, Magico tak berdaya. Hanya tampil 9 kali dan melesakkan 2 gol, Valladolid pun kemudian merasa bahwa perjudian mereka telah gagal. Mereka akhirnya mengembalikan Magico ke “habitatnya”, Cadiz.

Kembalinya Magico ke Cadiz ini sebenarnya bukan keinginan manajemen. Manuel Irigoyen, presiden Cadiz kala itu, sebenarnya sudah bersumpah bahwa ia takkan pernah sudi mengontrak Magico lagi.

Namun, desakan para fans pun membuatnya luluh. Cinta lama Magico dan Cadiz pun bersemi kembali. Meski kali ini, kontrak Magico Gonzalez dibuat sedemikian rupa agar ia lebih jinak.

Era kedua Magico di Cadiz relatif lebih stabil. Perlahan, aktivitas “ekstrakurikulernya” mulai dapat ditekan, meski hal ini kemudian berpengaruh pula pada performanya yang tak seeksplosif sebelumnya.

Walau begitu, selama 5 musim ia membela Cadiz, semuanya dilalui di Divisi Primer. Memang, beberapa kali mereka harus melewati babak play-off untuk bisa bertahan di divisi teratas, namun mereka bisa selalu lolos.

Pada era kedua ini, Magico sebenarnya sempat digoda oleh salah satu klub Serie A, Atalanta. Akan tetapi, Magico adalah Magico. Saking cintanya kepada Cadiz, ia menanyakan terlebih dahulu apakah di Atalanta nanti ia masih bisa menikmati makanan favoritnya, pescaito frito, atau tidak.

Ia sebenarnya sudah tahu bahwa ia takkan bisa menikmati hidangan tersebut di Italia dan untuk mempertegas keengganannya untuk hijrah ke Italia, ia juga dengan sengaja tampil buruk ketika para pemandu bakat Atalanta datang.

Seperti kedatangannya, kepergian Magico dari Cadiz pun terasa magis. Jika pada 1982 ia datang dan disambut dengan meriah, pada 1991, Magico seperti lenyap tanpa jejak.

Kepergian Magico ini memunculkan banyak mitos di kalangan para pendukung Cadiz. Ada yang mengatakan bahwa ia sebenarnya tak pernah meninggalkan kota tersebut dan sering terlihat bermain bola pada malam hari. Ada pula yang mengatakan bahwa ia menghilang begitu saja, seperti layaknya seorang pesulap.

Kenyataannya adalah, Magico pulang ke negara asalnya untuk bermain bagi mantan klubnya, CD FAS. Di klub ini, Magico terus bermain sampai tahun 2000. Setelah itu, Magico mencoba peruntungannya di Amerika Serikat sebagai salah satu staf pelatih Houston Dynamo.

Ketika berada di Houston, Magico menggunakan waktu luangnya untuk menjadi supir taksi mengelilingi kota. Bukan karena butuh uang atau apa, Magico melakukannya semata-mata karena ia ingin jalan-jalan. Di Houston sendiri, ia tidak bertahan lama dan kemudian kembali ke El Salvador.

Pada tahun 2001, Cadiz menyelenggarakan sebuah partai testimonial untuk legenda mereka dan pada laga ini, mitos-mitos mengenai Magico seperti hidup kembali.

Soal gol indah ke gawang Barcelona, soal bagaimana ia tertidur saat pertandingan, dan yang paling fenomenal, tentang bagaimana ia baru datang saat babak kedua laga pramusim kontra Barcelona lalu membantu Cadiz membalikkan keadaan dari 0-3 menjadi 4-3.

Layaknya semua kisah cinta, meski sering menyakitkan, namun kenangan indah tetap jadi yang paling sulit untuk dihapus.

Penghargaan juga datang dari El Salvador. Setelah diberi penghargaan Hijo Meritisimo, stadion nasional El Salvador juga diubah namanya menjadi “Estadio Magico Gonzalez” pada 2003.

Magico sendiri kini sudah nyaris berkepala enam dan mungkin sudah tak seliar dulu. Waktunya kini ia habiskan untuk mengurusi turnamen usia muda yang bertajuk “Magico’s Street Football”.

Dalam karier profesionalnya yang berlangsung selama seperempat abad, tak ada trofi besar yang pernah diraih Magico. Banyak yang mengatakan, seandainya saja ia mau, pasti ia mampu. Namun kenyataannya Magico memang tidak pernah mau, karena baginya sepak bola adalah urusan kebahagiaan.

Sepak bola adalah tempat baginya untuk bersenang-senang, terlebih jika melihat situasi El Salvador yang akrab dengan kekerasan. Bagi Magico, jika ia tidak bahagia, maka ia tidak menjadi dirinya, dan sebagai bagian penting dari hidupnya, sepak bola harus menyenangkan.

Magico memang bukan satu-satunya pesepak bola hebat yang tak pernah menganggap serius olahraga satu ini. Sebelum Magico, dunia sudah mengenal nama Heleno, Garrincha, Len Shackleton, George Best, dan masih banyak lagi.

Akan tetapi, Magico tetap punya tempat tersendiri di antara para begundal tersebut karena ialah satu-satunya pemain Amerika Tengah yang pernah sampai pada titik itu.

BONUS:

Komentar

This website uses cookies.