Sepakbola Juga Milik Perempuan

Malam itu, seorang perempuan bercerita bahwa ia baru saja mengalami hal yang membuatnya kesal. Ia mengungkapkan kekecewaannya panjang lebar akibat ulah beberapa suporter laki-laki di stadion karena melakukan catcalling kepadanya dan beberapa teman perempuannya.

Perempuan ini memang seorang suporter salah satu klub sepakbola di Indonesia yang cukup fanatik. Tentu saja ia sering datang ke stadion demi mendukung tim kesayangannya. Namun, pengalaman kali ini membuatnya sangat marah dan kecewa.

“Bagaimana mungkin suporter klub yang sama justru membuat sesamanya tak nyaman ke stadion?” pikirnya.

Berbulan-bulan kemudian, salah seorang suporter perempuan klub lokal lainnya bercerita tentang hal yang tak jauh berbeda. Fanatisme yang diwujudkan dengan mengikuti klub kesayangannya justru membawanya kepada sebuah tuduhan perselingkuhan dengan salah satu anggota tim.

Ia begitu marah dengan tuduhan yang tak masuk akal itu. Apalagi tuduhan tersebut berasal dari orang yang berada dalam tim kesayangannya itu sendiri. Padahal baginya, mengawal tim kebanggaan adalah kewajiban, baik ketika latihan maupun bertanding, tanpa ada maksud lain.

Hari memang berganti, tetapi cerita tak mengenakkan tentang perempuan dalam lingkup sepakbola nyatanya masih berlanjut. Mereka yang berkarier di sepakbola, mau tak mau harus menerima dengan terpaksa catcalling dari sebagian suporter laki-laki. Meski terkadang merasa tak nyaman, namun bagi mereka seperti tak ada opsi lain selain mengabaikannya dan memilih fokus dengan bola.

Selain kejadian-kejadian di atas, tentu masih banyak hal mengecewakan yang pernah dialami oleh para perempuan pencinta sepakbola. Tak sekali dua kali muncul cerita ketidaknyamanan dari mereka yang sengaja dipepet ketika stadion dalam kondisi riuh.

Pandangan sebelah mata kepada mereka pun dilazimkan, meski perlu dipertanyakan kebenarannya. Anggapan tak paham sepakbola atau hanya mengagumi ketampanan pemain kerap kali diutarakan. Stereotip sebagai perempuan nakal karena kerap mendampingi tim kesayangan hingga larut malam atau bahkan berhari-hari berada di luar kota tak jarang diucapkan pula.

BACA JUGA:  Blunder Liverpool di Tengah Pandemi

Tuduhan mencari eksistensi belaka di tengah gegap gempita permainan si kulit bulat sering sekali terdengar. Dianggap hanya sebagai penghibur dan pemanis dalam acara sepakbola juga merupakan pandangan yang tidak kalah mengecewakan.

Tak hanya ketika berada di lingkungan stadion, di dunia maya pun masih bertebaran kalimat-kalimat yang menganggap bahwa perempuan dalam sepakbola hanyalah objek semata. Kicauan dengan mengomentari fisik, misalnya. Ada pula yang menjadikannya sebagai bahan candaan dengan teman-teman lelakinya.

Mereka terlihat puas dengan bahasan seperti itu, terutama saat melihat perempuan yang digoda hanya merespon dengan diam. Sudah kelewat batas. Namun, betapa mengesalkannya ketika ditegur. Mereka cuma akan meminta maaf dengan santai sembari menuturkan, “Semua itu hanya bercanda.”

Kampanye stadion ramah perempuan dan anak tampaknya juga belum membuahkan hasil. Padahal, itu seharusnya menjadi sinyal yang sangat jelas bahwa sepakbola tak hanya milik kaum laki-laki. Dan stadion sebagai tempat bola itu digulirkan, sewajarnya menjadi tempat yang benar-benar nyaman bagi semua kalangan, termasuk perempuan dan anak-anak.

Tak hanya bagi suporter, kenyamanan juga patut didapatkan oleh manajemen, panitia penyelenggara, atlet, tim medis, maupun perempuan-perempuan di bidang lainnya yang bersinggungan dengan lapangan hijau, termasuk host acara sepakbola.

Seharusnya, ada kesadaran yang tumbuh tentang perempuan. Mereka bukanlah objek yang begitu mudahnya boleh digoda, dijadikan hiburan semata, atau disorot hanya karena parasnya. Hal itu tentu berlaku dalam segala situasi, termasuk dalam lingkup olahraga yang digemari sejuta umat ini.

Kita percaya insiden seperti itu, mungkin, hanya dilakukan oleh sebagian orang. Tak cuma laki-laki, bahkan sesama perempuan. Tidak semua orang mau bertahan dengan tradisi buruk itu karena zaman pun terus berganti. Tentu banyak yang berusaha memperbaiki diri ke arah lebih baik.

BACA JUGA:  Tiga Elemen AS Roma: Loyalitas, Cinta, dan Pengorbanan

Begitu pula soal stadion ramah perempuan dan anak yang seharusnya bukan sekadar mimpi, apalagi sebatas tagline, melainkan target yang harus ditepati. Bagaimanapun, perempuan juga berhak memiliki tempat di kancah sepakbola.

Bahkan, beberapa dari mereka sudah membuktikan prestasinya saat berdampingan dengan si kulit bulat. Kita tentu tak bisa menutup mata bahwa ada Ratu Tisha di jajaran pengurus PSSI yang cukup menginspirasi hingga saat ini.

Ada pula sosok Viola Kurniawati, Widya Syadzwina, Esti Puji Lestari, dan Restu Putri Tanjung yang sempat mengisi posisi manajemen klub. Kemudian di kalangan suporter, pernah ada Herna Pardede.

Indonesia juga punya Zahra Muzdalifah, Safira Ika, atau Sabrina Mutiara dan rekan-rekan pesepakbola putri mereka yang mewakili negara ini di kancah regional hingga internasional.

Nama-nama tersebut mungkin sempat merasakan pahitnya berada di lingkungan sepakbola. Namun, mereka justru menjawabnya dengan hal positif. Mereka adalah bukti yang kembali menguatkan bahwa perempuan juga memliki ruang untuk berkembang dalam olahraga ini.

Saya ingat betul ada seorang pesepakbola perempuan yang pernah mengatakan, “Sepakbola harusnya menyoroti skill, bukan paras atau penampilan fisik”.

Tepat sekali memang. Sudah selayaknya stigma seperti itu terhadap perempuan yang berurusan dengan sepakbola dibersihkan. Semestinya, kita mampu memperlakukan mereka dengan setara, tanpa ada anggapan yang merendahkan.

Baik perempuan maupun laki-laki berhak menggeluti sepakbola, karena pertarungan di lapangan hijau memang tak terbatas untuk golongan tertentu saja. Urusan si kulit bulat adalah milik semua, termasuk perempuan.

Komentar
Penggila sepakbola asal Gresik yang lihai memasak makanan enak. Bisa dihubungi melalui akun Twitter @s11emak.