Sepakbola Kampung yang Dirindukan

Anak kota tak mampu beli sepatu

Anak kota tak punya tanah lapang

Sepakbola menjadi barang yang mahal

Milik mereka yang punya uang saja

Dan sementara kita di sini di jalan ini

Kalimat di atas merupakan penggalan lirik dari lagu kepunyaan Iwan Fals yang berjudul Mereka Ada Di Jalan. Lagu itu sendiri menggambarkan bagaimana manusia memonopoli ruang publik untuk kepentingan dan keuntungan segelintir orang.

Sebagai permainan yang populer dan merakyat, pemandangan anak-anak maupun orang dewasa menggiring, menendang dan mengejar bola bukanlah sesuatu yang asing. Terlebih, masyarakat Indonesia sangat menggilai permainan yang satu ini. Asal ada lahan kosong, entah itu beralas tanah, beton, paving atau aspal, pasti digunakan untuk bermain sepakbola.

Bagi yang berada di desa, menemukan lahan kosong mungkin tidak kelewat sulit. Namun hal berbeda, tentu dirasakan oleh yang tinggal di daerah perkotaan. Jangankan sebuah lapangan sepakbola yang lengkap dengan gawangnya serta dapat digunakan secara gratis, menemukan lahan kosong saja susahnya setengah mati.

Jika berjalan mundur ke masa 10 atau 20 tahun yang lalu. Mudah bagi kita untuk mendengar suara gembira anak-anak maupun para remaja yang tengah bermain sepakbola di sebidang tanah kosong. Hal tersebut bagai sebuah kenikmatan tiada tara. Tak peduli bahwa bola yang digunakan hanya terbuat dari plastik dan gawangnya dibuat dari tumpukan bata atau alas kaki.

Mereka dengan penuh semangat berlarian di tanah yang tidak rata dan berdebu. Dengan bertelanjang kaki, baju yang basah kuyup lantaran keringat plus luka-luka akibat terjatuh atau menginjak batu, pecahan beling sampai paku, mereka memburu kegembiraan dan kenikmatan bermain sepakbola.

Makin seru sekaligus menjengkelkan, kalau pemilik bola bersifat otoriter. Pun begitu dengan mereka yang usianya lebih tua, sering sekali bikin aturan-aturan nyeleneh supaya pemenang dari permainan itu adalah mereka.

Ditambah lagi, kita wajib mempersiapkan telinga sesampainya di rumah karena omelan ayah atau ibu. Entah diakibatkan pulang kelewat larut, baju lusuh dan kotor, badan bau atau hal-hal lainnya. Kapok? Tentu tidak sebab hal serupa akan dilakukan lagi besok.

Belum lagi konflik masa anak-anak jika ternyata lahan ini juga ditemukan oleh kelompok anak-anak kampung lain. Konflik ini biasanya diselesaikan hanya dengan bertanding sepakbola. Hal paling buruk adalah terjadi keributan antara anak-anak. Positifnya, mereka yang berkonflik ini justru bisa menjadi kawan baru. Betapa sepakbola, sesungguhnya, bisa jadi media pemersatu.

Akan tetapi, konflik seperti ini akan lebih rumit jika lahan kosong tersebut sudah dikuasai pemodal, pengembang, organisasi masyarakat  atau apalah itu.  Spanduk atau plang yang bertuliskan larangan bermain sepakbola di lahan tersebut pasti mudah ditemui. Sebuah hal yang melahirkan rasa kesal luar biasa di dada.

Akibatnya, anak-anak tak lagi punya tempat untuk membahagiakan diri mereka yang seringkali tertangkap jenuh dan stres dengan segala macam bidang ilmu yang mesti dipelajari di sekolah. Bila lahan kosong sudah tak bisa lagi dimanfaatkan, permainan virtual jadi tempat melampiaskan semuanya kendati tak senikmat bermain secara langsung dengan banyak kawan.

Bersyukurlah kita yang sempat merasakan momen bermain sepakbola ala kampung. Pasalnya, anak-anak masa kini tak bisa merasakannya. Bukan semata karena lahan yang tidak ada, tapi juga keinginan untuk bermain bersama yang makin menipis. Anak-anak masa kini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain gawai sendirian.

Kalau pun ada yang coba mengikuti jejak kita dahulu, anak-anak masa kini harus mengumpulkan sejumlah uang terlebih dahulu sebab tempat bermain sepakbola atau futsal mewajibkan penggunanya membayar sewa.

Lagu Iwan Fals yang berjudul Mereka Ada Di Jalan bak sebuah ramalan yang saat ini perlahan menjadi kenyataan. Namun sudahlah, biar saja kota-kota yang ada terus berkembang, membangun dan mempercantik diri tanpa melihat kebutuhan lahan terbuka bagi masyarakat yang menghuninya.

Biarkan saja masyarakat semakin tekepung gedung-gedung bertingkat dan lapangan bermain semakin minim jumlahnya. Biarkan saja terkikis sampai pada saatnya hilang. Sebab kita, manusia, akan merasa sesuatu itu berharga jika semuanya telah tiada.

 

Komentar

This website uses cookies.