Baru-baru ini penulis membaca sebuah artikel yang berisi kisah percakapan antara Aun Rahman dari Pandit Football Indonesia dengan Yogi Rahadian, David Maulana, dan Dinan Javier. Percakapan yang terjadi selepas partai “Charity Match” dalam rangka penggalangan dana bagi kesembuhan para pesepak bola Indonesia yang dilanda cedera tersebut bertempat di sebuah warung gudeg.
Baik kang Aun dan ketiga pesepak bola muda kita memesan masing-masing satu porsi nasi gudeg. Di situ kang Aun merasa keheranan, seolah menemukan fakta baru bahwa ternyata para pesepak bola juga makan gudeg.
Kisah lain datang dari pengalaman pribadi editor Fandom Indonesia, Sirajudin Hasbi. Hasbi pernah diajak salah satu pemain tim nasional Indonesia untuk makan tongseng seusai pertandingan.
Ketika ditanya, “gak makan di hotel, mas?”
“Bosen ah, mas” jawab pemain tersebut.
Hmm… bosen?
Para pencinta sepak bola tanah air mungkin bertanya-tanya, “loh kok pesepak bola makannya gudeg sama tongseng ya? Dan kok bisa-bisanya bosen sama makanan yang telah disiapkan oleh tim?”
Sebenarnya menu makanan yang disediakan oleh tim juga merupakan makanan yang tidak asing di lidah atlet Indonesia, kecuali jika mendatangkan pelatih dari luar negeri, sehingga menunya menjadi bervariasi kadang menu masakan Indonesia, kadang menu masakan Barat.
Supriyono, SKM, M.Kes memberikan contoh menu makanan sehari-hari bagi para pesepak bola. Karena dua kisah di atas lebih berfokus pada konsumsi makan pasca-latihan/tanding, maka mari kita bahas contoh menu makanan pasca-latihan. Bapak Supriyono memberikan contoh menu makanan setelah latihan/tanding, sebagai berikut:
½ Jam setelah bertanding diberikan:
- Jus belimbing/buah lain (1 gelas)
- Air putih
1 Jam setelah bertanding diberikan :
- Jus Tomat (1 gelas)
- Snack ringan/ biskuit
- Air putih
2 Jam setelah bertanding diberikan makanan lengkap porsi kecil tapi sering (1/2 porsi):
- Nasi (1 piring sedang)
- Soto ayam (1 mangkok)
- Jus jeruk/ buah lain (1 gelas)
- Air putih
4 Jam setelah bertanding (1 porsi) :
- Nasi (1½ piring sedang)
- Telur asin (1 butir)
- Rawon (1 mangkok)
- Setup wortel & jagung muda (1 mangkok)
- Lalap
- Kerupuk udang (1 potong)
- Air putih
Dari contoh tersebut kita dapat melihat bahwa menu yang diberikan di empat waktu yang berbeda tersebut merupakan menu yang kaya cairan. Soto, rawon, lalap adalah makanan yang banyak mengandung air, belum lagi cairan dari jus buah dan air putih.
Kenapa menu-menu tersebut yang dipilih? Karena kondisi tubuh pasca-pertandingan atau latihan adalah dalam keadaan kekurangan/kehilangan cairan yang cukup banyak akibat aktivitas yang dilakukan, sehingga proses rehidrasi harus segera dilakukan guna mengembalikan cairan tubuh yang hilang guna mencegah atlet mengalami dehidrasi yang parah.
Pemilihan 4 kali waktu makan juga memiliki alasan tersendiri. Hal tersebut dikarenakan jika meninggalkan celah panjang tanpa makan, pemulihan dan penyimpanan kembali glikogen akan lebih lambat (USADA, 2013).
Terlebih lagi pada 4 jam setelah bertanding dikatakan atlet mengonsumsi nasi hingga 1½ piring dan di jam-jam sebelumnya banyak difokuskan pada konsumsi jus buah. Nasi dan jus buah adalah sumber karbohidrat. Salah satu tujuan utama mengonsumsi karbohidrat setelah selesainya olahraga adalah untuk mengisi kembali simpanan glikogen yang terpakai (Irawan, 2007).
Telur asin dan daging dalam rawon dapat menjadi asupan lemak dan protein bagi atlet. Buah dan sayuran juga menjadi sumber vitamin dan mineral, sehingga kecukupan harian mereka terjaga. Pemilihan menu dan penetapan waktu makan ini tentunya dapat memengaruhi kebugaran atlet dan kerentanannya dalam mengalami cedera.
Mari kita bahas mengenai gudeg dan tongseng itu sendiri. Gudeg adalah makanan yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan. Biasanya, gudeg disajikan bersama dengan nasi panas, kuah santan kental (areh), ayam (goreng), telur, dan sambal goreng krecek. Walau terkadang ada yang memesan gudeg hanya dengan salah satu di antara telur atau ayam saja.
Sedangkan tongseng merupakan masakan yang bahan utamanya adalah daging, bisa daging kambing, sapi, atau ayam. Dengan campuran kol plus kuah gulai yang biasanya dimasak menggunakan santan.
Penulis tidak mengatakan bahwa gudeg dan tongseng adalah makanan yang kurang baik, bahkan sebenarnya ini juga menjadi makanan kesukaan penulis. Namun, menurut opini penulis, gudeg bukanlah makanan yang tepat untuk recovery atlet karena gudeg bukan makanan berkuah yang dapat meng-cover kebutuhan cairan atlet pasca-tanding/latihan.
Penulis mengatakan ini karena terkadang tubuh seseorang dapat tetap berada dalam keadaan kekurang cairan, walaupun tidak merasa haus/ingin minum. Terlebih lagi, lauk yang digoreng dan santan (pada gudeg dan tongseng) dikhawatirkan dapat meningkatkan jumlah lemak di tubuh atlet.
Jika memang ternyata menu diet atlet Indonesia tidak jauh beda dengan makanan kita sehari-hari, lalu kenapa mereka masih suka jajan di luar? Ini juga sekaligus menimbulkan pertanyaan lain yang dapat muncul dari kedua cerita di atas, yaitu: “kenapa atlet kita dapat sesantai itu kalau mau makan di luar?”
Rasa penasaran ini membuat penulis akhirnya memutuskan untuk mengajak salah satu Praktisi Kebugaran Indonesia, bapak Mury Kuswari guna berbincang-bincang singkat mengenai situasi dan kondisi penanganan kebutuhan gizi atlet Indonesia. Dari perbincangan penulis dengan beliau, didapatkan beberapa fakta yang cukup menyedihkan berkaitan dengan pengelolaan gizi atlet Indonesia.
Beliau, baru-baru ini, sering satu pesawat dan satu mobil dengan dua orang pesepak bola Indonesia yang kini sudah masuk markas TNI. Fakta mengejutkannya adalah ternyata di tengah kedisiplinan yang ketat di dalam markas TNI, ternyata mereka juga masih suka (dan bisa) “curi-curi” makan.
Dari beliau yang sudah sangat kaya pengalaman ini, penulis juga mendapatkan fakta bahwa memang benar bahwa pemenuhan gizi atlet Indonesia belum lah mendapat pengawasan dan perhatian yang baik (dan serius), baik dari pelatih, maupun pengurus tim. Ini terjadi pada atlet sepak bola dan juga pada sebagian besar atlet cabang olahraga lainnya. Jadi, bukan salah atlet sepenuhnya.
Segala bentuk kurangnya perhatian ini menyebabkan atlet menjadi kurang pengetahuan, kurang kesadaran, dan kurang motivasi untuk menerapkan pola hidup sehat atlet yang seharusnya. Akibatnya, motivasi makan mereka adalah yang penting kenyang.
Ketika mereka capek setelah latihan dan mereka tidak berselera dengan makanan yang disediakan tim, maka mereka tinggal jalan santai saja ke depan training camp cari jajanan. “Iya, kebanyakan atlet Indonesia makannya bebas,” tutur bapak Mury.
Hal lain yang menjadi masalah dalam pemenuhan gizi atlet Indonesia adalah sistem pemorsian. Jika bicara gizi atlet, maka tidak hanya sekadar bicara jenis makanan apa yang dimakan tapi juga “berapa jumlahnya?” (dalam hal ini porsinya).
Bapak Mury Kuswari juga mengatakan bahwa sistem pemorsian dalam keseharian diet atlet Indonesia belum lah ada. Jadi, kalau mereka makan, biasanya makanan disajikan secara prasmanan.
Kurangnya pemberian motivasi dan pengetahuan terhadap gizi atlet, ditambah sistem pemberian makan yang bersifat prasmanan jelas bukanlah kombinasi yang baik, kecuali jika atlet punya kesadaran sendiri. Kalaupun ada pemorsian, itu biasanya katering.
“Oh katering khusus atlet gitu ya?” bukan, tapi katering rumahan biasa (bukan khusus atlet). Rekan-rekan pembaca sekalian pasti tahu kan seperti apa katering rumahan itu? Kadang-kadang menyediakan nasi dengan lauk mie atau bihun (double sumber karbohidrat) atau menyajikan telur dan ayam sekaligus dalam satu porsinya (double sumber protein hewani).
Itu baru permasalahan gizi. Bagaimana dengan kebutuhan istirahat? Bersyukurlah mereka yang telah masuk markas TNI karena adanya aturan jam malam yang harus ditaati demi kebaikan fisik mereka.
Permasalahannya adalah ada pada mereka yang tidak masuk markas. Beberapa di antara atlet-atlet Indonesia tersebut (jelas tidak semua) terkadang menjalankan gaya hidup bebas, terjaga hingga larut malam, bahkan sampai berkunjung ke club. Klub malam? Iya, itu sudah biasa. Ini dapat menyebabkan proses recovery mereka tidak berjalan maksimal, kebugaran mereka dapat menurun.
Dari semua permasalahan yang diutarakan di atas, membuat kita tidak perlu heran lagi kenapa prestasi pesepak bola kita (dan beberapa atlet dari cabang olahraga lain) dapat kalah bersaing di kancah internasional, bahkan dengan saudara kita yang sesama Asia Tenggara.
Sekali lagi, ini bukan sepenuhnya salah atlet-atlet kita, tapi juga seharusnya ada peran yang (sangat) serius dari pengurus tim, pengurus induk olahraga, bahkan negara dalam pemenuhan gizi atlet Indonesia. Pengelolaan gizi yang baik tentunya dapat meningkatkan prestasi atlet, dan kualitas hidup manusia di suatu negara itu sendiri.