Stadion Manahan: Representasi Gunungan dalam Pagelaran Wayang Sepak Bola Indonesia

Dalam sebuah pertunjukan wayang, gunungan digunakan oleh dalang sebagai penanda pertunjukan: sebagai pembuka, penanda peralihan latar, dan penanda penutup cerita. Gunungan ditampilan seperti layaknya tirai yang menutupi panggung kemudian dibuka dan ditancapkan di sisi kanan dan kiri gedebok (batang, red.) pisang, panggung para wayang.

Jika gedebok pisang adalah panggung bagi dalang mendongeng dengan tokoh-tokoh yang diperankan oleh para wayang, maka lapangan rumput adalah panggung bagi pesepak bola untuk berlaga, menempati posisi dan peran tertentu, bergerak dan bekerja sama dalam suatu taktik yang diinstruksikan dalang (pelatih) dari sisi lapangan.

Umat suporter yang hadir menjadi penonton, melingkar melingkupi lapangan hijau di atas tribun stadion yang menanjak layaknya Gunung Merapi-Merbabu (di barat), Lawu (timur), dan Pegunungan Kidul yang melingkari kota kecil Solo, Jawa Tengah.

Bicara wayang tentu arah ingatan kita akan menunjuk pada masyarakat jawa tradisional, di mana pagelaran wayang merupakan ritual yang rutin diselenggarakan pada hari-hari tertentu yang sakral. Adanya pertunjukan wayang di alun-alun atau tanah lapang menjadi kesempatan masyarakat untuk ramai-ramai berkumpul, berinteraksi sosial, kesempatan bagi pedagang menggelar lapak dagangan, dan waktunya pada pemuda melirik gadis-gadis dari kampung sebelah.

Konon kesempatan berkumpulnya semua elemen masyarakat ini dimanfaatkan oleh Sunan Kalijaga berdakwah Agama Islam di tanah Jawa dengan menjadi dalang, memuatkan pesan-pesan keagamaan dalam pertunjukannya.

Pada era digital dan kapitalisme yang semakin meminggirkan seni pertunjukan tradisional, sepak bola yang telah lahir berabad silam seolah menjadi salah satu bentuk hiburan yang tak lekang oleh zaman, bahkan mampu beradaptasi. Stadion menjadi “alun-alun” bagi para pencinta sepak bola untuk menyaksikan wayang-wayang (pemain bola) favoritnya beraksi di akhir pekan. Termasuk di Stadion Manahan yang berada di pusat Kota Solo yang kental dengan budaya Jawa berikut tradisi keratonnya.

Suasana Stadion Manahan, Solo. (dokumentasi Penulis, 2014)
Suasana Stadion Manahan, Solo. (dokumentasi Penulis, 2014)

Sebagai stadion kebanggaan wong Solo, Manahan silih berganti dijadikan panggung bagi kesebelasan lokal seperti Pelita Solo (klub yang berganti-ganti nama, Pelita Bakrie, Pelita Jaya, hingga Pelita Bandung Raya), kesebelasan rantauan dari Jakarta, Persijatim Solo FC (sekarang Sriwijaya FC), Solo FC pada masa dualisme PSSI, dan tentunya klub tradisional Surakarta, Persis Solo, yang menjadi penghuni tetap hingga saat ini.

BACA JUGA:  Mimpi-mimpi yang Terbang Melayang di Stadion Persijam

Sejak diresmikan pada tahun 1998 oleh Presiden Soeharto, stadion berkapasitas 35.000 orang ini telah sering menjadi tempat perhelatan olahraga level nasional dan internasional seperti pembukaan PON Jateng 2009 dan tuan rumah ASEAN Paragames 2011.

Manahan seolah menjadi gunungan yang membuka pagelaran sepak bola nasional, seperti laga pembuka Divisi Utama 2014-2015, pada April 2014. Sebelumnya, kompetisi Indonesia Premier League (IPL) 2011 juga dibuka di stadion yang awalnya disiapkan untuk jadi kandang Arseto Solo ini. Sebuah kompetisi sempalan (atau breakaway league menurut FIFA) yang lahir akibat goro-goro di tubuh PSSI yang berujung mendua, dan sempat rujuk untuk kemudian dibekukan lalu disanksi.

Menariknya, dalam pagelaran wayang ternyata juga ada chapter goro-goro, situasi chaos akibat dari problematika alur cerita yang mencapai klimaksnya. Para wayang berduel, entah adu mulut ataupun adu jotos. Alunan gamelan dan simbal kian gencar bersahut.

Dan gunungan, yang tadinya kalem tertancap di sudut biru dan merah (kiri dan kanan), ikut berguncang, digerakkan ke sana-ke mari oleh dalang, sebagai representasi dari kekacauan yang menjadi.

Suasana riuh Pasoepati di Stadion Manahan mendukung Persis berlaga. (dokumentasi penulis, 2014)
Suasana riuh Pasoepati di Stadion Manahan mendukung Persis berlaga. (dokumentasi penulis, 2014)

 

Ingatan saya kembali ke tahun 2014 ketika isu mafia dan pengaturan skor Divisi Utama semakin menyengat baunya di sekitar stadion jelang laga Persis Solo melawan Pusamania Borneo FC (PBFC). Penulis yang sempat menyaksikan laga penyisihan melawan PPSM Magelang, berkeinginan hadir namun diliputi rasa was-was. Pertandingan itu berlangsung panas dan ada kekisruhan di lapangan lantaran wasit Ahmad Tuharea dinilai kerap merugikan Persis. Laga ini berakhir dengan skor 1-1.

Kabar pengaturan skor terus menggema di mana-mana, pun jelang laga melawan Martapura FC. Pertandingan yang dipimpin oleh Achmad Jafri, asal Makassar, itu dinilai menguntungkan sang tamu. Sejak pertandingan masih berlangsung hingga akhirnya berakhir 1-1 kekacauan terjadi di lapangan dan tribun.

BACA JUGA:  Liga OSIS yang Menjadi Oase bagi Siswa

Dan goro-goro di akhir pertandingan pun terjadi, kerusuhan tak terelakkan. Tak perlu diceritakan karena memang bias untuk diungkap faktanya. Seorang Pasoepati meregang nyawa dengan lubang di dada. Mimpi segenap jamaah Pasoepati yang sejengkal lagi sampai ke derajat Indonesia Super League (ISL), puncak gunung kompetisi sepak bola Indonesia, sirna bersama kisruh yang lagi-lagi tak pernah jauh dari pertunjukan sepak bola kita.

Betapa haus rakyat Solo dengan kejayaan dan prestasi yang dapat mereka banggakan. Bagaimana tidak, selama ini kota lemah lembut ini hanya menjadi penonton di rumah sendiri untuk laga-laga puncak.

Manahan dipaksa menjadi panggung bagi kejayaan Sriwijaya FC melumat Arema di final Piala Indonesia 2010 dan menaklukkan Persisam Samarinda di gelaran puncak Inter Island Cup 2012. Panggung bagi tetangga, Persiba Bantul menundukkan Persiraja Banda Aceh di final Divisi Utama 2010/2011. Sebelumnya, lebih menyakitkan lagi melihat Persibo Bojonegoro berpesta di Stadion Manahan (final Divisi Utama 2009/2010) pada saat Persis Solo harus terbenam di dasar lembah kualifikasi Grup. Miris.

Tapi itulah seni kehidupan, suka maupun duka, sedih dan bahagia, semua terrangkum menjadi sebuah bab cerita yang telah digariskan Tuhan sang Dalang perangkai cerita kehidupan. Gunungan, sebagai simbolisasi pohon kehidupan, menjadi penanda bagi setiap tahap dan warna kehidupan yang kita jalani, agar menjadi pelajaran dan pedoman bagi kita melangkah ke depan.

Ngomong-ngomong soal pagelaran “hiburan sejuta umat” ini, kapan pagelaran sepak bola Indonesia diselenggarakan kembali? Stadion Manahan sudah menunggu untuk kembali mementaskan laga sepak bola.

NB: Suporter yang meninggal itu bernama Joko Riyanto, warga Boyolali. Teriring doa dari pencinta sepak bola Indonesia semoga tenang di sana pak Joko. Semoga tak ada lagi korban meninggal di persepakbolaan kita.

 

Komentar
Menyukai keindahan dalam ketidakteraturan dan kesederhanaan dibalik keruwetan yang (ternyata) berpola. Hidup 'nomaden' di tanah rantau sejak SMP. Kadang kala muncul di mozaique08.blogspot.com atau di @azizrashid_.