Talenta Amerika Latin Tidak Perlu Buru-Buru ke Eropa

Gabriel Barbosa ketika tiba di Milan. Source: inter.it

Mahar sebesar 12 juta poundsterling digelontorkan FC Barcelona kala itu untuk mendaratkan seorang Ronaldo de Lima dari PSV Eindhoven ke Camp Nou. Harga yang pada tahun 1996 merupakan bilangan yang tidak sedikit.

Barcelona rela merogoh kocek dalam-dalam demi mendapatkan jasa pria Brasil ini. Harga yang kemudian dibayar Ronaldo dengan lesakan 47 gol dari 49 penampilannya.

Pria Brasil selanjutnya, juga didaratkan ke Camp Nou, meski tidak pada waktu yang sama. Seorang Ronaldinho, yang sebelumnya bermain untuk Paris Saint-Germain (PSG) pada medio 2001 hingga 2003. Pria Brasil yang kemudian menjelma menjadi pemain top dan berhasil menyabet gelar pemain terbaik dunia 2004 dan 2005.

Lain Ronaldo dan Ronaldinho, lain pula Robinho. Tampil mengesankan bersama Santos, pria Brasil ini membuat Real Madrid kepincut. Hingga kemudian, El Real sepakat meminangnya dari Santos.

Tak hanya itu, Los Galacticos langsung memberinya seragam nomor 10. Hasilnya berbanding seratus delapan puluh derajat. Robinho tampil melempem bersama pasukan Ibu Kota Spanyol ini.

Sama hal dengan sosok Diego Forlan. Pria berkebangsaan Uruguay ini dibeli oleh Manchester United dari Independiente tahun 2001. Selama empat musim berseragam Setan Merah, Forlan sangat sulit mencetak gol. Ia hanya berhasil menyarangkan 17 gol dari 98 penampilan.

Penampilan Forlan justru meningkat manakala dijual ke Villareal. Bersama The Yellow Submarine, Forlan menemukan lagi sentuhan terbaiknya.

Amerika Latin memang bisa dibilang sebagai salah satu pemasok bakat-bakat hebat pesepak bola. Sangat banyak jika disebutkan nama-nama pemain top dari ujung Utara Kolombia hingga selatan Argentina, dari barat Cile sampai timur Brasil.

Mulai dari Alfredo di Stefano yang berjaya bersama Real Madrid pada medio 1950-an hingga Ronaldo de Lima pada tahun 1990-an. Atau Neymar yang sedang bersinar bersama Barcelona saat ini.

Tak semua bakat Amerika Latin cepat bersinar di Eropa

Hidup memang saling mengisi dan menopang. Sama halnya Amerika Latin dengan Eropa. Yang disebut awal merupakan pemasok talenta pesepak bola mumpuni, dan yang selanjutnya adalah destinasi yang menjadi impian setiap lakon di jagad sepak bola.

Bermain di pentas Eropa merupakan mimpi bagi setiap pesepak bola, tidak hanya Amerika Latin, tetapi seluruh dunia. Tim besar Eropa memang menjadikan Amerika Latin sebagai salah satu destinasi pencarian bakat. Tak heran, di usia yang relatif masih muda, tim-tim ini berani mengontrak secara langsung.

Namun, tidak serta-merta talenta muda asal Amerika Latin ini bisa langsung nyetel dengan gaya bermain (dan gaya hidup) di Eropa. Tidak jarang, manakala masih bermain di level klub negaranya, ia bisa tampil begitu memukau. Tapi setelah pindah ke klub besar Eropa, penampilannya menurun drastis.

Dan dari kecenderungan yang terjadi, pemain muda asal Amerika Latin biasanya akan lebih bersinar manakala kepindahannya ke Eropa tidak secara langsung ke tim-tim elit. Melakukan perjalanan ke Eropa bisa didahului dengan bermain bagi tim-tim papan tengah di Eropa.

Menempuh jalan yang lebih panjang

Terdapat beberapa alasan mengapa sebaiknya para talenta muda asal Amerika Latin tidak terburu-buru berkostum tim elit Eropa.

Pertama, kita tidak menampik fakta seperti yang sudah-sudah, banyak yang gagal ketika langsung menuju tim elit. Contoh paling mutakhir adalah sosok Kleberson, Diego Forlan, hingga Robinho.

Kleberson tampil menawan bersama Atletico Paranaense saat usianya masih 20 tahun. Penampilannya juga cemerlang manakala dipanggil Luiz Felipe Scolari guna membela Brasil di ajang Piala Dunia 2002. Kemudian, Sir Alex Ferguson memboyongnya dengan mahar 6,5 juta poundsterling ke Theatre of Dreams.

Namun, mahar yang ditebus oleh Fergie ternyata tidak sesuai harapan. Kleberson hanya bermain 20 kali selama dua musim. Pemain yang berposisi sebagai gelandang tersebut kemudian dijual ke klub asal Turki, Besiktas.

Bermain ke tim-tim papan tengah di liga Eropa terlebih dahulu bisa menjadi ladang untuk beradaptasi dengan kondisi di Eropa. Baik dalam hal pola permainan, maupun gaya hidup.

Kedua, menaikkan nilai transfer. Ketika tim-tim elit mengambil talenta Amerika Latin langsung dari klub asalnya, tentu harga yang ditawarkan relatif kecil. Mengingat, masih dianggap sebagai pemain muda yang minim pengalaman.

Dengan bermain terlebih dulu ke tim-tim papan tengah di Eropa, setidaknya untuk satu-dua musim, nilai transfer akan terdongkrak.

Kita lihat bagaimana klausul Ronaldinho saat masih bermain di Gremio dengan ketika sudah bermain di PSG. Saat itu, ia ditransfer ke PSG dengan nilai 5,1 juta euro. Nilai yang kemudian menjadi enam kali lipat manakala Barcelona harus merogoh kocek kurang lebih 32,5 juta euro untuk mendaratkannya di Catalan.

Salah satu dari 10 pemain termahal di dunia, Luis Suarez juga memulai kariernya di Eropa dengan bergabung bersama Groningen, salah satu tim kecil di Belanda. Satu tahun membela Pasukan Hijau-Putih, pada tahun 2007, pria asal Uruguay ini dibeli oleh Ajax Amsterdam.

Bersama Ajax, ia menjelma menjadi striker yang menakutkan. Tercatat ia pernah menjadi top skor liga dengan lesakan 35 gol dari 33 penampilan.

Tahun 2011, Liverpool mendatangkan Suarez ke Anfield. Bersama The Reds, Suarez tetap garang. Terbukti, ia pernah menjadi pencetak gol dengan hattrick paling sering sepanjang sejarah Liga Primer Inggris. Catatan impresif tersebut ia torehkan pada musim 2013/2014.

Kariernya berlanjut, ketika ditebus Barcelona dengan mahar 75 juta poundsterling. Suarez mencatatkan diri sebagai pemain termahal di bawah Paul Pogba, Gareth Bale, Cristiano Ronaldo, dan Gonzalo Higuain.

Dan bersama Barcelona, Suarez tetap menjadi penyerang yang menakutkan dengan mencatatkan diri sebagai pencetak gol terbanyak Liga Spanyol musim 2015/2016 dengan lesakan 40 gol mengalahkan Cristiano Ronaldo dan kompatriotnya di Barca, Lionel Messi.

Ketiga, soal ekspektasi.

Kita boleh bermimpi setinggi mungkin, selagi masih gratis. Akan tetapi, yang perlu kita sadari soal mimpi-mimpi kita adalah realita yang terjadi. Tidak serta-merta mimpi yang diharapkan akan semudah membalikkan telapak tangan. Ada realitas yang perlu disiapkan baik-baik.

Setiap yang digadang-gadang akan cemerlang, tidak selalu berjalan mulus. Memang, tidak ada jaminan juga dengan sudah mencoba di klub-klub level dua akan memudahkan ketika bermain bagi tim level satu.

Tapi, setidaknya ada persiapan khusus. Adaptasi gaya bermain dan gaya hidup menjadi poin utama, dan dilakukan seimbang. Karena ada yang bisa menyesuaikan gaya bermain tapi gagal menyesuaikan gaya hidup. Selain itu, ekspektasi yang disemat tidak akan begitu berat dibandingkan ketika masih muda langsung dilejitkan.

Maka, keputusan dik Gabriel Barbosa untuk menerima tawaran Om Frank de Boer untuk belajar di Internazionale Milano sudah tepat. Baru nanti kalau sudah makin pinter bisa ikut kelas advance.

Komentar

This website uses cookies.