Ronald Koeman resmi dipecat dari jabatannya sebagai pelatih Barcelona 44 hari setelah ia mengatakan, “berkat saya, klub ini memiliki masa depan“.
Lelaki pirang tersebut mengucapkannya dalam sebuah wawancara yang membahas relasinya dengan Joan Laporta, presiden Barcelona.
Hubungan Koeman dan Laporta pasang surut setelah Blaugrana tampil inkonsisten. Padahal apa yang ia ucapkan seolah menunjukkan kepercayaan diri Koeman sekalipun performa tim asuhannya amburadul.
Memang ia sukses mempersembahkan trofi Copa Del Rey pada musim perdananya sebagai pelatih Barcelona. Namun siapapun tahu bahwa titel Copa Del Rey tak pernah cukup bagi kesebelasan yang saban musim menghendaki trofi La Liga dan Liga Champions.
Jadi, apa “masa depan” yang ia maksud?
Keadaan Barcelona pada awal musim 2021/2022 memang jauh dari kata memuaskan. Mereka terseok-seok di La Liga. Dari 11 pertandingan di mana Koeman masih berstatus pelatih, Barcelona hanya mengemas 16 poin hasil dari 4 kemenangan, 3 kali imbang, dan 3 kekalahan.
Catatn itu bikin Sergio Busquets dan kolega terdampar di peringkat sembilan klasemen sementara alias berada di papan tengah.
Kekalahan 1-0 dari Rayo Vallecano menjadi titik akhir perjalanan Koeman di Stadion Camp Nou sebagai pelatih. Kesabaran manajemen habis dan mereka memutuskan buat mendepaknya.
Sementara di level kontinental, Barcelona yang biasanya digdaya malah menjadi bulan-bulanan di Liga Champions. Bergabung di Grup E bersama Bayern Munchen, Barcelona sesungguhnya diunggulkan ketimbang dua penghuni grup lainnya, Benfica, dan Dynamo Kiev.
Akan tetapi, segala yang terjadi justru menyedihkan bagi Busquets dan kawan-kawan. Mereka menderita dua kekalahan beruntun dengan skor 3-0 dari Bayern Munchen dan Benfica. Kemenangan 1-0 (pada laga pertama) yang mereka raih saat melawan Dynamo Kiev juga tidak istimewa.
Selama 14 bulan menangani Barcelona, catatan Koeman tampak suram. Transfermarkt mencatat, dari 67 pertandingan, ia cuma meraih 40 kemenangan, 11 imbang, dan 16 kekalahan.
Artinya, rataan poin Barcelona di bawah Koeman hanya 1,96 poin per pertandingan. Rapor itu merupakan yang terendah dibanding pelatih-pelatih Barcelona dalam satu dekade terakhir.
Suka atau tidak, hal tersebut tidak cukup untuk menunjukkan bahwa di tangannya, Barcelona sedang menyambut masa depan cemerlang.
Yang Koeman lakukan di Barcelona
Sudah lama sosok kelahiran Zaandam berumur 58 tahun itu memeram mimpi agar suatu saat dipercaya menjadi pelatih Blaugrana. Terlebih, ia sempat mengenyam jabatan asisten pelatih Barcelona pada 1998/1999 pada rezim Louis van Gaal.
Sekira lima tahun sebelum pensiun, ia meraih prestasi paling manis dalam kariernya yakni mengangkat trofi Liga Champions (saat itu masih bernama European Champions Cup). Ia menjadi pahlawan kemenangan Barcelona pada final musim 1991/1992.
Satu-satunya gol pada final yang berlangsung di Stadion Wembley itu lahir dari kaki Koeman. Tendangan bebasnya berhasil mengoyak jala wakil Italia tersebut. Namanya pun harum sebagai bagian dari ‘tim impian’ Barcelona kala diasuh Johan Cruyff.
Figur Cruyff sendiri dipuja bak manusia setengah dewa oleh klub asal Catalan tersebut. Barcelona pada era modern terbentuk lantaran mengimani ajaran-ajaran Cruyff secara serius.
Cruyff memasang fondasi yang kukuh bagi sistem permainan Barcelona di seluruh level. Mulai dari tim utama sampai kategori kelompok umur yang ditempa di akademi La Masia.
Inti ajaran Cruyff, jika kita boleh menyederhanakannya, adalah pemain mesti bergerak untuk menciptakan ruang secara terus-menerus.
Caranya dengan memindahkan bola melalui umpan-umpan terukur yang sanggup membuat lawan kehilangan bentuk bertahan mereka. Celah saat pertahanan lawan kocar-kacir itulah yang kemudian memperbesar peluang terciptanya gol.
Koeman yang ikut menyerap ajaran Cruyff tentu bukan orang baru buat Barcelona. Lagipula, memakai jasa pelatih yang punya hubungan erat dengan klub bukan hal yang asing bagi mereka.
Blaugrana pernah menuai sukses bersama Cruyff, Pep Guardiola maupun Luis Enrique. Mestinya, penunjukan Koeman tidak begitu mengherankan.
Nahasnya di tangan Koeman, orang-orang sulit menemukan Barcelona yang mereka kenal. Tidak ada kreasi umpan-umpan pendek yang ciamik sekaligus mengancam di area pertahanan lawan. Sebaliknya, mereka tampak tidak mengerti tujuan mereka.
Sementara di lini pertahanan, mereka rapuh dan tak memiliki kohesi. Sepanjang musim ini berlangsung saja, Barcelona sudah kebobolan 18 gol dari 14 pertandingan di era Koeman yang telah mereka lakoni.
Musim lalu, borok Barcelona itu masih bisa ditutupi dengan kecemerlangan sosok sang kapten, Lionel Messi. Namun kehilangan megabintang asal Argentina yang selama ini menjadi tumpuan serangan Barcelona membuat borok itu tak bisa ditutup-tutupi.
Dalam beberapa tahun belakangan, Barcelona memang didera sejumlah persoalan. Mulai dari kebijakan transfer yang ngawur hingga pengelolaan klub yang amburadul. Orang-orang percaya, pangkalnya tidak lain dari rezim korup Josep Maria Bartomeu, presiden Barcelona sebelumnya.
Carut-marut pengelolaan klub itu membuat masa depan Barcelona begitu suram. Kepergian Messi hanyalah klimaks dari kisruh internal mereka.
Sederet persoalan di luar lapangan itu kemudian merembet ke performa tim di dalam lapangan. Praktis, Xavi Hernandez yang sah ditunjuk sebagai pengganti Koeman, barangkali perlu fokus terlebih dahulu untuk menjaga moral pemain supaya tidak longsor.
Barulah kemudian membenahinya agar lebih kompetitif. Toh, kedalaman skuad yang mereka memiliki cukup memadai.
Kini, beberapa nama senior seperti Busquets, Gerrard Pique, hingga Sergi Roberto menjadi tumpuan Barcelona musim ini. Mereka mengemban tugas untuk mengawal transisi era baru Barcelona.
Sementara wajah-wajah baru seperti Pedri, Ansu Fati, Ronald Araujo, Eric Garcia hingga Pablo Gavi digadang-gadang akan menjadi tulang punggung Barcelona di masa mendatang.
Jika kita menengok performa pemain-pemain Barcelona di tim nasional mereka masing-masing, tidak butuh waktu lama untuk menyebut bahwa Koeman-lah yang bermasalah.
Beberapa pemain Barcelona menunjukkan kualitas mereka saat bermain untuk negaranya masing-masing. Misalnya saja Memphis Depay dan Frenkie De Jong yang punya kontribusi signifikan untuk Timnas Belanda. Mereka justru bersinar saat membela negaranya ketimbang Barcelona.
Contoh lain, Timnas Spanyol bahkan memercayai Busquets sebagai kapten. Busquets dan Pedri membawa negaranya mencapai semifinal Piala Eropa 2020 dan menjadi runner-up UEFA Nations League. Terbaru, Gavi dan Garcia juga dipercaya bermain dalam final UEFA Nations League.
Saat membela Spanyol yang diasuh Luis Enrique, performa mereka jauh dari kata mengecewakan. Seandainya Spanyol sukses meraih gelar, mereka bakal memperoleh atensi yang pantas.
Sedikit contoh di atas menunjukkan bahwa para pemain Barcelona, baik senior maupun yang muda, punya kualitas mumpuni. Adalah Koeman yang tak sanggup memaksimalkan kapasitas skuat Barcelona.
Langkah sang pelatih untuk memainkan pemain muda tidak keliru. Apalagi Koeman punya rekam jejak gemar memainkan pemain-pemain muda di kesebelasan yang ia tangani sebelumnya.
Jika di era Fati, Pedri, Gavi, dan lainnya Barcelona kembali berjaya, itu adalah berkat mereka. Koeman sesungguhnya tidak memberi mereka kesempatan bermain.
Sebaliknya, para pemain muda Blaugrana bermain karena mereka memang pantas, dan mereka benar-benar membuktikannya.
Sejatinya yang Koeman lakukan adalah upaya menyelamatkan mukanya sendiri. Bahwa ia bisa mengklaim telah meninggalkan warisan berupa wajah-wajah baru yang memanggul nama besar Barcelona pada masa mendatang.