Tragedi Hillsborough

[vc_row][vc_column][thb_gap height=”20″][vc_column_text]

Tragedi Hillsborough

[/vc_column_text][thb_gap height=”40″][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”1/3″][thb_image image=”5724″][thb_gap height=”20″][vc_column_text]Oleh: Arif Utama[/vc_column_text][thb_gap height=”40″][/vc_column][vc_column width=”2/3″][vc_toggle title=”Seputar Tragedi Hillsborough” open=”true” el_id=”1460657069550-093fa850-f595″]Ada 96 Liverpudlian yang meninggal, dan bahkan, dituduh sebagai pembunuh oleh koran The Sun dan ditekan pula oleh pemerintahan Margareth Thatcher kala itu. Hal inilah yang menjadi beban moril yang harus ditanggung Liverpudlian setelah insiden yang terjadi di Hillsborough. Insiden yang seharusnya tak terjadi, andaikata pihak kepolisian mampu menangani hal ini dengan lebih baik.

Tragedi ini terjadi pada 15 April 1989. Saat itu, Kopites, yang lagi cinta-cintanya terhadap Liverpool yang tersohor atas Kenny Dalglish, penerus legacy Bill Shanky, Bob Paisley, dan Joe Fagan, kemudian harus bertemu dengan tim yang sungguh kuat pada masanya: Nottingham Forest.

Ditambah pula Liverpool telah ditunggu oleh Everton di final, membuat para Kopites merasa perlu untuk memberikan dukungan langsung kemana pun mereka berlaga.

Namun, tantangannya begini: Kopites, kala itu, kerapkali datang dan melebihi kapasitas stadion untuk jatah tempat duduk mereka, dan kepolisian di Inggris tahu bahwa akan sangat bahaya andaikata hal ini tak ditangani dengan baik.

Dan Nottingham Forrest, yang kala itu masih jaya-jayanya di bawah asuhan Brian Clough, tentu juga memiliki massa yang tak kalah membuat pusing pihak kepolisian. Maka, pihak kepolisian merasa perlu menunjuk sebuah venue yang netral demi meminimalisir permasalahan, seperti hooliganism yang berujung pada vandalisme, yang akan terjadi pada hari-H.

Maka, dengan pertimbangan itulah, Hillsborough Stadium, markas Sheffield Wenesday, ditunjuk menjadi venue bagi laga semifinal kontra Nottingham Forest.

Pemilihan venue ini sendiri agar keduanya memiliki jarak yang cukup jauh, sehingga kedua penggemar yang datang, dapat diakomodir dengan baik, sehingga pertandingan mampu berjalan dengan baik dan tanpa kendala.

Tak berhenti dalam pemilihan venue, tiket pun dibatasi: Nottingham Forest mendapatkan tiket sekitar 29 ribu, sedangkan Liverpool 24 ribu tiket. Tujuan tiket Liverpool dikurangi, adalah menghitung estimasi penggemar Liverpool yang membludak itu sendiri.

Dan untuk menghindari gesekan antar-suporter, keberangkatan Liverpool menggunakan kereta dibuat agak terlambat.

Sementara bagi Nottingham Forest, mereka mampu berangkat lebih pagi dan lebih nyaman. Namun, ternyata hal ini membawa permasalahan lainnya. Fans baru datang pada pukul 14.30 ke Hillsborough Stadium, dan memenuhi booth tiket di semua sektor stadion.

Situasi makin parah, di Lepping Lane End, salah satu sektor stadion, penuh. Turnstiles, yang seharusnya mempermudah proses pengecekan yang dilakukan di stadion, rupanya membuat mekanisme pengecekan tiket sangat lama.

Fans makin emosi, sementara pihak kepolisian kian kehabisan waktu. Di sektor tersebut, hanya mampu menampung 1.600 tiket (dulunya bisa 2200, namun atas alasan keamanan dikurangi) sementara yang datang lebih dari angka itu. Karena gegabah, kepolisian kemudian membuka sektor C dan membuat stadion membludak.

hills-1
Credit: bbc.co.uk (http://www.bbc.com/news/uk-19545126)

Karena tak mampu lagi menampung membludaknya penonton, mulai terjadi permasalahan bagi fans.

Pada pukul 15.06, saat laga sudah berjalan beberapa menit, fans tampak tumpah ruah ke lapangan. Dan pagar penonton, yang menjadi ciri khas stadion Inggris pada era 1970-an dan 1980-an roboh, dan membuat penonton tumpah ruah ke lapangan dan tak lama setelahnya, korban berjatuhan sehingga pertandingan dihentikan.

Ada 730 penonton yang mengalami luka-luka, dan 96 penggemar Liverpool wafat pada hari itu. Fans yang pulang dengan selamat, membuat trauma yang luar biasa, sebagaimana yang mampu diketahui dari artikel dari The Guardian.

[/vc_toggle][vc_toggle title=”Korban Tragedi” el_id=”1460657398485-968d7733-2105″]

© (http://www.dailymail.co.uk/sport/football/article-3039640/Liverpool-players-joined-celebrities-fans-paying-tribute-Hillsborough-victims-26th-anniversary-disaster.html)
© (http://www.dailymail.co.uk/sport/football/article-3039640/Liverpool-players-joined-celebrities-fans-paying-tribute-Hillsborough-victims-26th-anniversary-disaster.html)

[/vc_toggle][vc_toggle title=”Propaganda The Sun dan Perjuangan Kopites” el_id=”1460657489576-a1e39576-b8ee”]Beberapa hari setelah tragedi, luka para Liverpudlian (ya, liverpudlian, karena di Liverpool, banyak yang satu keluarga namun terdiri dari dua fans: Liverpool dan Everton), kemudian dibuat kian parah.

Adalah pemberitaan The Sun, yang dicurigai kemudian menjadi propaganda kepolisian dan pemerintahan Margareth Thatcher, untuk mencuci tangan dari permasalahan ini.

Ada tiga hal yang tak benar yang kemudian menunjuk Kopites, sebagai tersangka dalam tragedi ini: Kopites mencopet dan memanfaatkan situasi, Kopites mengencingi polisi yang berani, Kopites memukuli polisi yang bertugas.

Tentu saja, hal ini kemudian citra Kopites di Inggris sendiri kian buruk, dan Liverpool yang menjadi tim yang ditakuti di Inggris. Takut, karena fansnya sungguh brutal.

Hal ini sendiri, sebagaimana yang dilansir di The Guardian, sempat di singgung oleh Kenny Dalglish dalam autobiografinya.

McKenzie, editor dari koran The Sun kala itu, enggan mengklarifikasi berita tersebut, sebagaimana yang disarankan oleh Kenny Dalglish. Kenny Dalglish meminta mereka menerbitkan halaman depan surat kabar tersebut dengan judul “We Lied”, namun hal tersebut tak pernah dilakukan oleh The Sun. Yang ada, mereka malah bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

Perjuangan untuk mendapatkan keadilan ini membutuhkan waktu lama. Meski Hillsborough Family Supporters Group sendiri telah sesegera mungkin melakukan proses hukum, namun butuh waktu lama untuk mendapatkan hasil. Pada tahun 1991, pihak kejaksaan kemudian memutuskan bahwa tragedi ini terjadi karena kecelakaan.

Hal ini, bagi Liverpudlian jelas aneh. Mereka merasa ditutup-tutupi oleh pihak kepolisian, saksi yang memilih bungkam, jaksa, dan media yang terus menekan.

Berutung, Anne Williams, penggerak Hillsborough Family Supporters Group, tak pernah kenal lelah. Anne Williams sendiri kehilangan anaknya, Kevin, yang saat itu baru pertama kali menonton Liverpool pada usianya yang ke-15.

Setelah sekian lama berusaha, baru pada tahun 2012, pengadilan kemudian menguak segalanya. Segala fitnah yang berada selama bertahun-tahun tersebut, akhirnya terbukti hanyalah sebuah konspirasi pemerintahan Margareth Thatcher dan pihak kepolisian yang berusaha cuci tangan dari permasalahan ini.

Dan hal ini kemudian memaksa The Sun harus membuat koran dengan tajuk permintaan maaf. Namun, semua sudah terlambat, karena kampanye “Don’t buy The Sun” telah dikampanyekan atas rasa kecewa terhadap The Sun.

hills-3[/vc_toggle][vc_toggle title=”Mengenang Hillsborough” el_id=”1460657635194-1c6946d0-e918″]Meski atas tuduhan yang dilengserkan pemerintahan Thatcher, pula diperkuat oleh pemberitaan dari koran The Sun kala itu, klub tetap berupaya untuk membangun rasa kebersamaan dengan suporter.

Untuk mengenang tragedi ini, klub kemudian membangun sebuah tribut dengan mengubah logo klub. Dua api yang menyala, dan frasa “You’ll Never Walk Alone” adalah upaya bagi klub untuk tetap mengenang penggemar yang tak lupa.

Dua api tersebut dianggap, api semangat dari mereka yang pergi dan takkan padam: ethernal flame. Pula, klub membuat Hillsborough Monumental, yang berisi 96 nama korban dalam tragedi tersebut.

Selain itu pula, klub setiap tahunnya melaksanakan Hillsborough Memorial, yang dilaksanakan pada tanggal 15 April, atas kerja sama dengan Hillsborough Family Supporter Group (HFSG), komunitas keluarga korban dari tragedi Hillsborough.

Dan dengan terkuaknya sejumlah fakta, hari untuk mengenang tragedi Hillsborough akan diakhiri pada tahun 2016 ini, sebagaimana yang dilansir oleh CNNIndonesia.

Selain dari Liverpool sendiri, tentu ada sejumlah kisah unik mengenai solidaritas seputar Hillsborough.

Pada laga AC Milan kontra Real Madrid pada tanggal 19 April 1989, ada sebuah wujud empati dari kedua klub besar ini untuk menghormati tragedi Hillsborough, kendati kedua klub ini tak memiliki hubungan secara langsung dengan Liverpool. Saat pertandingan berlangsung baru tiga menit, pertandingan dihentikan oleh wasit, sementara penggemar menggemakan “You’ll Never Walk Alone” di seantero San Siro.

Selain solidaritas seperti ini, klub lain, semisal Borussia Dortmund, Manchester City, FC Sion, Cardiff City, hingga Olympiakos, pernah membentangkan banner di stadion dengan tulisan “Justice for the 96”, sebuah kampanye khas milik Liverpool selama bertahun-tahun. Bahkan, rival seperti Manchester United pernah memberikan tribut serupa kepada Liverpool.

Begitu pula dengan rival sekota Liverpool, Everton, turut serta dalam kampanye “Justice for the 96”.

Salah satu yang sangat membekas, adalah tribut di Goodison Park, saat Everton bersua Newcastle United pada tahun 2012. Everton kala itu memberikan upacara khusus saat sebelum laga, dengan menampilkan wajah 96 korban, dengan dua orang, anak-anak, yang satu menggunakan kostum Liverpool dan satunya Everton, yang saling bergandengan tangan.

Menunjukkan bahwa seharusnya atas nama kemanusiaan, kita bisa berjalan bersama.

[/vc_toggle][/vc_column][/vc_row]