Tendangan bebas ala Cristiano Ronaldo diluncurkan deras oleh Marcus Rashford ke gawang Chelsea. Edouard Mendy dengan sigap meninju bola dengan kedua tangannya.
Bola muntah melaju liar, sempat memantul ke tanah sebelum diperebutkan oleh Mason Greenwood dan Callum Hudson-Odoi.
Secara tidak sengaja, tangan Hudson-Odoi menyentuh bola dan seketika pertandingan dihentikan. Wasit mengecek Video Assistance Referee (VAR) beberapa saat, lalu mengumumkan bahwa itu bukan penalti.
Laga di Stadion Stamford Bridge berakhir dengan skor kacamata, hasil yang tentunya kurang memuaskan bagi kedua tim yang sama-sama bersaing di empat besar Premier League.
Selepas laga, polemik terkait insiden handball Hudson-Odoi bergulir di mana-mana, utamanya di media sosial.
Fans Manchester United yang katanya seperempat penduduk Bumi ngoceh ke sana kemari. Tentu saja menyalahkan wasit yang memimpin jalannya pertandingan.
Argumen demi argumen dilontarkan dengan berapi-api, seolah mereka lupa kejadian serupa yang terjadi dalam pertemuan sebelumnya.
Sebuah insiden terjadi di dalam kotak penalti. Tendangan bebas yang apik dari Ben Chilwell melambung tepat di tengah pertahanan United. Kapten Chelsea, Cesar Azpilicueta, berupaya menyundul bola.
Namun Harry Maguire yang juga kapten The Red Devils tidak mau kalah begitu saja. Bak pemain gulat profesional, ia melakukan headlock guna menghentikan usaha penggawa The Blues tersebut.
Pertandingan tetap berjalan seolah tidak ada apa-apa. Bahkan wasit yang bertugas kala itu mengabaikan segala protes pemain Chelsea dan tidak mengecek insiden yang terjadi melalui VAR.
Pertemuan pertama yang dihelat di Stadion Old Trafford berakhir dengan skor imbang tanpa gol juga. Apakah ini karma?
Mengesampingkan masalah karma dan semacamnya, hal seperti ini sebenarnya sudah jamak terjadi sejak zaman dahulu.
Tatkala laga sepakbola baru bisa dinikmati via radio hingga kini dapat dinikmati lewat gawai di gengaman serta ditunjang VAR, kontroversi perihal keputusan wasit senantiasa terjadi.
Sepakbola dan kontroversi wasit bak dua sisi koin yang tidak akan bisa dipisahkan. Selalu ada selama sisi seberangnya ada.
Bila dirunut lebih jauh ke belakang, banyak sekali momen-momen kontroversial yang dicatatkan wasit dalam sejarah sepakbola.
Misalnya saja gol tangan Tuhan yang dibuat Diego Maradona, sampai gol Frank Lampard ke gawang Manuel Neuer yang tidak disahkan meski sudah melewati garis gawang.
Meski berstatus alat bantu untuk wasit mengambil keputusan dalam sebuah laga, VAR tak serta-merta mengurangi sisi kontroversi dalam sepakbola. Pada banyak momen, VAR justru ikut berkontribusi memunculkan kontroversi.
Salah satu yang paling kentara terlihat yakni dalam partai Derbi Merseyside antara Everton melawan Liverpool yang berakhir imbang 2-2 (17/10/2020).
Tidak tanggung-tanggung, dua jenis kontroversi yang berbeda terjadi di laga tersebut.
Kontroversi yang pertama tentunya tekel horor dari Jordan Pickford kepada Virgil van Dijk yang membuat sang bek jangkung harus absen lama akibat cedera Anterior Cruciate Ligament (ACL). Kita yang bukan wasit pun pasti bisa menilai bahwa tekel itu layak diganjar kartu merah.
Namun ketika wasit mengecek peristiwa itu melalui VAR, ia justru menganggap van Dijk sudah berada dalam posisi offside dan akhirnya memberi hadiah tendangan bebas kepada Everton.
Kontroversi kedua yang terjadi pada Derbi Merseyside adalah dianulirnya gol penentu kemenangan Liverpool. Semua fans The Reds bersorak ketika Jordan Henderson membobol gawang Pickford.
Sayangnya, kegembiraan itu berlangsung sekejap. Lewat pengecekan VAR, wasit memutuskan bahwa posisi Sadio Mane sudah offside kala mengirim umpan kepada Henderson.
Berdasarkan hasil pengecekan kembali, terlihat bahwa posisi Mane sebenarnya sejajar dengan bek.
Namun wasit menilai bahunya lebih maju ketimbang anggota tubuh penggawa The Toffees. Mungkin, selisihnya cuma sepersekian milimeter.
Kasus hampir mirip juga terjadi saat Leeds United dibantai Crystal Palace (7/11/2020). Gol apik striker The Whites, Patrick Bamford, setelah lolos dari kepungan dua bek The Eagles digagalkan oleh VAR karena hasil pengecekan ulang menyatakan posisinya offside.
Kalian tahu apa penyebabnya? Ya, karena jari. Jari Bamford saat itu memberi kode kepada rekannya untuk mengarahkan bola ke posisi yang ditunjuknya.
VAR memang dibuat untuk membantu kinerja wasit dalam menilai suatu insiden dalam sebuah laga.
Namun perihal keputusan yang diambil, sepenuhnya menjadi tanggung jawab makhluk tak sempurna bernama pengadil lapangan.
Bagaimana VAR itu bekerja juga tergantung pada interpretasi orang-orang yang menggunakannya.
Hanya saja, keinginan untuk membuat VAR bisa secara sempurna membantu wasit, misalnya saja dengan memunculkan garis-garis di layar guna menentukan presisi kejadian, pada akhirnya menimbulkan kontroversi baru.
Garis-garis inilah yang kemudian dijadikan acuan meski di banyak momen, hal tersebut tampak irasional bagi publik. Kasus Bamford merupakan salah satu contohnya.
Bila cara kerjanya selalu demikian, maka di masa yang akan datang, pergerakan anggota tubuh pemain akan mengandung risiko tinggi.
Bisa saja dianggap offside atau malah pelanggaran kendati pergerakannya, ada yang natural atau tidak terkontrol.
Jujur saja, kasus-kasus macam ini akan terus ada di kancah sepakbola. Siapa yang diuntungkan, segalanya perkara waktu. Kecuali wasitnya memang sudah disuap terlebih dahulu.
Tak ada tim yang selalu dirugikan atau diuntungkan. Bedanya, fans akan berteriak kencang andai timnya dirugikan.
Namun akan duduk tenang, terus tertawa, bersikap seolah tak ada apa-apa atau bahkan menantang fans rival supaya protes ke otoritas kompetisi guna mengubah hasil laga.
Arsenal mungkin pengecualian. Entah mengapa, perkara seperti ini acap bikin mereka kelihatan apes. Apesnya pun awet sekali macam mumi Firaun dan kerap dijadikan bahan olok-olok.
Kinerja wasit memang selalu jadi sorotan. Terlebih dengan adanya VAR di masa sekarang. Suatu hal yang akan selalu memunculkan perdebatan tanpa henti.
Pada akhirnya, semua akan kembali kepada publik tentang cara menilai suatu insiden. Dan ya, dengan menepikan faktor-faktor subjektivitasnya dahulu.