Chelsea memulai pertandingan dengan menggunakan formasi dasar, seperti biasanya, yang terdiri dari 4 bek, 2 inisiator serangan (pivot kembar), 3 gelandang serang, dan 1 striker. Ramires yang mengalami cedera saat pemanasan kemudian digantikan oleh Juan Cuadrado. Sebuah pergantian “terpaksa” yang nantinya menjadi salah satu titik lemah Chelsea selama babak pertama berjalan.
Cuadrado merupakan pemain yang memiliki kecepatan, akan tetapi, selama babak pertama, ia tampak sangat kesulitan menyatu ke dalam cara main Chelsea. Entah apa penyebab pastinya, apakah ini murni perkara teknis atau ada faktor non-teknis lain, tak ada yang tahu pasti penyebabnya kecuali beberapa orang di Chelsea dan Cuadrado sendiri. Di babak kedua (akan dibahas di bagian lain tulisan), perubahan yang dilakukan Mourinho membuat Chelsea bermain lebih baik, terutama saat menyerang. Perubahan yang dimaksud salah satunya adalah dengan menarik keluar Cuadrado.
Babak pertama
Sejak kick-off, ada beberapa rencana taktikal yang langsung terlihat penerapannya. Dari Crystal Palace, Winfred Zaha menjadi sumber serangan dan harapan terbesar tim. Selama memungkinkan, bola akan diarahkan ke kiri untuk kemudian diolah oleh Zaha. Selama menyusun serangan, Palace lebih memilih untuk banyak melakukan umpan-umpan terobosan. Kemudian, ketika bola telah mencapai Zaha, ada dua kemungkinan aksi yang terjadi selanjutnya. Pertama, umpan silang ke kotak penalti, atau kemungkinan kedua, membiarkan Zaha melakukan penetrasi langsung ke jantung pertahanan Chelsea. Tapi, dengan dalam dan rapatnya (baik jarak vertikal maupun horizontal) pertahanan Chelsea, tidak banyak ruang didapatkan Palace.
Dalam beberapa kesempatan, Cuadrado juga terlihat kesulitan untuk menghambat pergerakan Zaha. Salah satu momen yang sempat membahayakan pertahanan Chelsea adalah saat Cuadrado melakukan sliding tackle yang gagal, hingga menyebabkan Zaha mampu bergerak lebih jauh ke dalam pertahanan Chelsea.
Chelsea sendiri, ketika giliran membangun serangan tiba, lebih memilih untuk melakukan umpan-umpan pendek dengan jarak antarpemain yang sangat rapat. Umpan-umpan jarak pendek ini dikombinasikan dengan tempo permainan yang lambat. Chelsea tampak memilih berhati-hati di babak pertama.
Kesamaan kedua tim, sejak peluit kick-off dibunyikan sampai petandingan berakhir adalah keduanya memilih untuk bertahan dengan blok permainan yang sangat rendah (low block). Baik Jose Mourinho maupun Alan Pardew memilih bentuk pertahanan rapat, di mana para pemain secepatnya menempati posisi bertahan ketimbang lakukan pressing untuk merebut bola dengan segera.
Chelsea tercatat lebih berbahaya dalam memanfaatkan situasi bola-bola mati daripada Palace. Beberapa peluang The Blues pun tercipta dari situasi bola mati. Namun, secara umum, tidak banyak yang terjadi pada babak pertama.
Satu-satunya gol tercipta dari penalty-rebound oleh Eden Hazard, setelah ia sendiri gagal menceploskan bola dari titik putih. Gol Chelsea tersebut merupakan buah dari cepatnya Hazard memanfaatkan ruang gerak “yang diberikan” padanya. Gol ini tercipta karena terjadi kesalahan minor di pertahanan Palace, dan kesalahan minor inilah yang menyebabkan Hazard bisa merangsek masuk ke kotak penalti, hingga akhirnya Chelsea mendapatkan penalty (lihat diagram di bawah).
Babak kedua
Melihat adanya beberapa kekurangan pada babak pertama, Jose Mourinho pun kemudian membuat beberapa perubahan. Ia memasukan John Obi Mikel dan menarik keluar Cuadrado. Perubahan ini membuat Cesc Fabregas banyak bergerak lebih ke depan dan bertukar dengan dua gelandang serang lainnya, Eden Hazard dan Willian. Dengan ketiga pemain ini, baru terlihat rencana serang Chelsea yang kemungkinan sudah dipersiapkan sejak awal. Kurang nyetelnya Cuadrado membuat rencana serangan ini tidak dapat berjalan dengan baik.
Pada babak kedua, saat bertahan, Chelsea masih tetap bermain dengan blok rendah. Pressing baru dilakukan ketika lawan memasuki area berbahaya dan area sayap. Saat menyerang, bola dimainkan perlahan dari belakang untuk kemudian diarahkan ke lini tengah, di mana Matic dan Fabregas menjadi inisiator utama. Chelsea bermain dengan pivot kembar yang mengemban tugas identik saat tim membangun serangan. Dengan cara ini, Fabregas dam Matic memiliki kebebasan penuh dalam menyusun alur serangan. Bahkan, Matic yang sebenarnya lebih bertipe sebagai gelandang petarung, sering kali melakukan dribel jauh ke depan untuk membantu tim membuka pertahanan Palace. Hal serupa juga dilakukan oleh Fabregas.
Bila ada peluang, Chelsea – dan kebanyakan tim di Eropa, akan coba melakukan penetrasi lewat area tengah, sebagai altrenatif utama. Bila tidak memungkinkan, mereka harus menempuh cara lain, yaitu lewat sayap.
Palace yang bermain sangat rapat di belakang dan menjaga zona tengah dengan rapat, sering kali membuat permainan seperti berada dalam lapangan yang sangat kecil. Mereka bertahan dengan bentuk yang sangat narrow dan berusaha untuk meniadakan ruang gerak bagi pemain Chelsea. Dari keadaan inilah, kombinasi pemain Chelsea di sepertiga area pertahanan Palace memegang peranan penting dalam membuka pertahanan lawan.
Kombinasi tiga gelandang serang ditambah keunggulan fisik Didier Drogba di lini depan banyak menolong Chelsea untuk mampu menjaga penguasaan bola. Drogba sering kali menjadi penahan bola atau papan pantul sebagi bagian dari strategi Mourinho agar para pemain tengahnya mendapatkan ruang gerak ke kotak penalti Palace. Sepanjang pertandingan, Drogba mencatakan 9 kali memenangkan duel udara, melepaskan 24 dari 29 umpan yang terarah ke sepertiga lapangan terakhir, 42 kali menyentuh bola, dan melepaskan 3 tembakan. Perannya sangat besar dalam membantu serangan Chelsea untuk selalu mengalir di final third.
Jalannya pertandingan ini menjadi salah satu cermin bagaimana Chelsea bermain untuk meraih gelar juara. Menghadapi tim yang di atas kertas dan secara teknik inferior terhadap mereka sekali pun, Mourinho masih memilih untuk memainkan sepak bola hati-hati dengan penekanan di soliditas pertahanan dan serangan yang terstruktur.
Saat menerima serangan lawan, Chelsea memainkan blok pertahanan rendah dengan menciptakan dua lapis pertahanan yang jarak vertikalnya sangat terjaga. Dalam fase ini, Nemanja Matic banyak berposisi di depan dua bek tengah, untuk sekaligus membentuk formasi berlian. Bentuk ini membantu Chelsea dalam memaksa lawan untuk bergerak melebar (seperti yang ditunjukan oleh diagram Zaha vs sistem pertahanan Chelsea pada bagian awal tulisan).
Cara bertahan seperti ini sangat cocok dengan Chelsea yang pada dasarnya memiliki kekuatan pada duel udara. Mengapa cocok? Bila anda memaksa lawan bergerak melebar, itu berarti anda sedang menggiring lawan anda menjauh dari zona 5 dan gawang anda. Bila lawan berada di sayap (dan di-press dengan ketat), mereka akan terpaksa lakukan umpan silang.
Dengan pertahanan yang berisikan John Terry, Gary Cahill, Cesar Azpilicueta, Branislav Ivanovic, dan Nemanja Matic, antisipasi bola-bola atas rasanya takkan jadi masalah besar, mengingat keunggulan fisik serta kemampuan duel udara mereka yang mumpuni. Dengan bertahan begitu rapat dan rapi, saat Chelsea berhasil menggagalkan serangan lawan, mereka bisa melakukan serangan balik cepat, karena di depan, mereka memiliki pemain-pemain yang punya kecepatan dan kemampuan untuk itu, yakni Hazard, Ramires, dan Diego Costa.
Kesimpulan
Kemenangan ini memastikan Chelsea meraih gelar juara Liga Primer Inggris musim 2014-2015. Sebuah gelar yang pantas, mengingat Chelsea merupakan salah satu kandidat terkuat sejak awal musim bersama Manchester City. Selain faktor Jose Mourinho, transfer mereka pada musim panas 2014 lalu semuanya tepat sasaran.
Thibaut Curtois tidak dipinjamkan keluar lagi dan menjadi kiper utama tim. Chelsea juga membeli Filipe Luis sebagai pelapis Cesar Azpilicueta. Padahal, Filipe sendiri merupakan salah satu bek kiri terbaik pada musim sebelumnya bersama Atletico de Madrid. Di tengah, mereka mendatangkan Cesc Fabregas, yang terbukti manjur, baik sebagai kreator serangan, false 8, maupun penyedia umpan kunci (key pass) dan asis.
Di depan, kedatangan Diego Costa juga memberi kontribusi yang sangat besar mengingat pada musim sebelumnya, salah satu kelemahan Chelsea adalah lini serang. Masuknya Diego Costa merupakan solusi tepat terhadap permasalahan ini. Ia bukan hanya cepat dan tajam, tapi, kebiasaannya bermain sepak bola pressing nan terstruktur di bawah arahan Diego Simeone memberikan Chelsea dimensi baru dalam cara bertahan mereka.
Selain itu, pemain-pemain lama seperti John Terry serta Eden Hazard juga menunjukkan konsistensi performa yang luar biasa pada musim ini. Dengan perpaduan antara nama-nama lama dan baru, Chelsea pun menjadi klub dengan skuat paling lengkap di Liga Primer Inggris musim ini. Mereka pun menjadi mampu dengan cara main apa pun. Dalam konferensi pers usai laga kontra Palace, Mourinho sudah mewanti-wanti bahwa pada musim depan, Chelsea takkan sedominan musim ini. Patut ditunggu perubahan apa saja yang akan dilakukan Mourinho demi mempersiapkan tim untuk musim depan.