Sepak Bola dan Manajemen

Persepakbolaan Italia pada musim 2014/15 sempat diwarnai oleh sebuah pernyataan kontroversial dari Claudio Lotito yang terekam lewat pembicaraan telepon dengan Pino Iodice, presiden klub Ischia Isolaverde. Dalam percakapan tersebut, ada dua poin kontroversial yang kemudian menimbulkan polemik di kalangan pejabat teras persepakbolaan Italia.

Poin pertama, ia menyebut bahwa presiden Serie A, Maurizio Beretta dan presiden Lega Pro, Mario Acalli, “tak punya kuasa apa-apa”, sementara presiden Serie B, Andrea Abodi, cuma “orang kerdil”. Poin kedua, Lotito menyinggung soal dua tim Serie B, Carpi dan Frosinone, yang ketika itu, bulan Februari 2015, merupakan dua klub dengan prospek promosi ke Serie A paling besar. Menurut Lotito, keberadaan dua klub provinciale itu di Serie A akan membahayakan nilai jual Serie A, khususnya dalam kontrak televisi yang menurut Lotito (lagi), merupakan buah kerja kerasnya.

Maju tiga bulan usai pernyataan tersebut, Carpi dan Frosinone, dua klub kurcaci dari dua kota yang apabila ditotal, penduduknya tak sampai 120 ribu jiwa (sensus 2007) itu, berhasil memastikan diri promosi ke Serie A untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Ketakutan irasional Lotito pun menjadi kenyataan.

Banyak pihak kemudian mengecam Lotito atas pernyataannya ini. Mulai dari Beppe Marotta – CEO Juventus – sampai Maurizio Zamparini – presiden Palermo, mulai dari James Palotta – presiden AS Roma – sampai Andrea Della Valle – pemilik Fiorentina, semua mengecam presiden Lazio tersebut. Bagi mereka, pernyataan Lotito tersebut bodoh dan tak beralasan.

Carpi dan Frosinone, serta Sassuolo dan Hellas Verona, merupakan tim-tim alumni Serie B yang layak dicontoh dalam hal manajemen klub. Carpi, misalnya, dengan anggaran hanya 3 juta euro per musim, nyatanya mampu mengungguli Bologna yang belum lama ini diakuisisi oleh seorang sugar daddy asal Amerika Serikat. Pun demikian halnya dengan Frosinone. Kebijakan transfer yang tepat guna, serta kebijakan untuk mengoptimalkan pemain-pemain muda terbukti berhasil membawa mereka mencatatkan sejarah baru.

Sassuolo pun bisa menjadi contoh lain di mana mereka saat ini, bersama sang juara, Juventus, menjadi dua klub yang memiliki stadion sendiri. Sassuolo memang tidak membangun stadion baru seperti Si Nyonya Tua, namun mereka, dengan perencanaan keuangan serta manajemen yang apik, akhirnya mampu menjadikan Mapei Stadium – Citta del Tricolore milik pribadi mereka. Walau statusnya adalah milik Sassuolo, stadion ini juga digunakan oleh Reggiana, dan (tampaknya) Carpi, pada musim depan. Dua klub tersebut memang merupakan tetangga Sassuolo di region Emilia-Romagna.

BACA JUGA:  Tantangan Media Komunitas Sepak Bola di Indonesia

Jika kita melihat apa yang terjadi dengan duo Milan dan Parma, tentu klub-klub seperti Sassuolo, Hellas Verona, Carpi, dan Frosinone merupakan angin segar tersendiri bagi persepakbolaan Italia. Manajemen yang baik dan pengambilan keputusan yang realistis pada akhirnya akan berujung pada keberhasilan. Hal serupa pun terjadi di Denmark dan Inggris.

Jika di Inggris ada Bournemouth dan Brentford, maka Denmark punya FC Midtjylland yang dijalankan lewat perhitungan sains murni. Nah, Brentford dan FC Midtjylland ini dimiliki oleh satu orang yang sama, yakni Matthew Benham, seorang petaruh profesional. Benham, dalam karier bertaruhnya, tak pernah sama sekali menggunakan feeling untuk menentukan pilihan dalam taruhannya. Ia menggunakan berbagai perhitungan dan statistik untuk menjatuhkan pilihannya. Model itulah yang kemudian ia terapkan di Brentford dan Midtjylland.

Musim ini, Brentford memang akhirnya harus gagal promosi ke Liga Primer Inggris setelah kalah dari Middlesbrough pada babak play-off. Namun, status sebagai tim promosi jelas menunjukkan bahwa prestasi Brentford musim ini terhitung sangat baik. Yang unik adalah, meskipun Brentford berhasil menjadi salah satu kandidat tim promosi, Benham tetap tak puas dengan penampilan timnya. Berdasarkan hitung-hitungannya, Brentford hanya tim terbaik ke-11 di liga dan inilah yang menyebabkan ia memutuskan untuk tak memperpanjang kontrak sang manajer, Mark Warburton.

Di Denmark, prestasi Midtjylland malah lebih ciamik lagi. Saat ini, mereka sedang memimpin sembilan angka di atas sang hegemon liga, FC Kobenhavn. Di kedua klub ini, Benham tak pernah menggunakan tabel klasemen sebagai tolok ukur keberhasilan timnya. Bagi Benham, situasi di tabel liga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor non-teknis, seperti keberuntungan.

Untuk perkara transfer, Benham pun menggunakan metode ala Moneyball. Hal ini terlihat jelas kala ia memutuskan untuk membeli Tim Sparvs, gelandang bertahan asal Finlandia, untuk Midtjylland dari SpVgg Greuter-Fuerth. Lewat metode milik Benham dan dengan bantuan Rasmus Ankersen, chairman Midtjylland, Sparvs dipilih karena ia merupakan penampil terbanyak Greuter-Fuerth pada musim lalu meskipun secara statistik tak menonjol.

BACA JUGA:  Revolusi Mental dan Peluang AC Milan Scudetto ke-20

Lalu, apa yang dilihat Benham dan Ankersen dari sosok Sparvs? Ada dua pertimbangan di sini. Pertama, lewat indeks yang mereka miliki (yang sayangnya belum dan rasanya takkan pernah disebarkan), Greuter-Fuerth ini, meski hanya berlaga di divisi dua liga Jerman, sebenarnya memiliki kualitas yang cukup untuk berlaga di Liga Primer Inggris. Kedua, dengan tak menonjolnya statistik Sparvs namun jumlah penampilan yang banyak tersebut, artinya ada kelebihan tersendiri dari Sparvs yang tak tercatat oleh statistik, dan ternyata, hal tersebut adalah penempatan posisinya. Mirip seperti Sergio Busquets di Barcelona.

Apa yang terjadi di Italia lewat empat klub alumni Serie B, di Inggris lewat Bournemouth dan Brentford, serta di Denmark lewat FC Midtjylland merupakan bukti bahwa manajemen dan pengambilan keputusan yang rasional, meski tak selalu instan, pasti akan membuahkan hasil. Memang cara yang ditempuh semua klub tadi tidaklah sama. Jika empat klub Italia tadi, bersama dengan Bournemouth, menggunakan pendekatan finansial, maka Brentford dan Midtjylland mengandalkan statistik dan sains.

Saat ini, di Football Fandom, kami masih berproses untuk membentuk sistem manajemen yang baik. Kesempurnaan jelas masih jauh, akan tetapi, perjalanan sejauh apapun tentu dimulai dengan satu langkah, bukan? Di sini, kami pun berharap agar klub-klub Indonesia mau berbenah untuk memperbaiki manajemennya agar kasus tak mengenakkan seperti pemberhentian liga – yang merupakan buah dari ketidakberesan – tidak terulang lagi. Cukup sekali saja hal seperti ini terjadi dan kami sangat, sangat berharap agar semua elemen di persepakbolaan Indonesia, entah itu klub, federasi, atau siapapun dan apapun, mau belajar dari sini.

Benvenuto alla Serie A, Carpi e Frosinone!

Komentar
Punya fetish pada gelandang bertahan, penggemar calcio, dan (mencoba untuk jadi) storyteller yang baik. Juga menggemari musik, film, dan makanan enak.