Jangan salah paham ya, judul di atas tidak merepresentasikan kejenuhan saya akan tontonan olahraga terpopuler di kolong langit ini. Pun juga bukan kemalasan karena harus melihat sepak bola (yang menurut saya) semakin ke sini semakin menjadi membosankan.
Saya tidak pernah malas menonton sepak bola. Saya hanya perlahan mulai bosan melihat sepak bola dewasa ini yang dimainkan untuk sebuah hasil, bukan proses. Dimainkan sebagai pemenuhan untuk ego manusia. Tentu saja ini asumsi saya, karena itulah kemudian tulisan ini muncul.
Saya jadi ingat prediksi Eduardo Galeano di buku Soccer in Sun and Shadow yang bilang bahwa pada masa depan nanti, sepak bola tidak lebih sebagai alat untuk memuaskan hasrat manusia yang hanya menuntut kemenangan dan abai terhadap proses yang terjadi, tentunya tanpa melupakan kritikan terhadap sepak bola yang semakin kapitalis.
Proses bisa meliputi apa yang tampak di lapangan, namun kita abaikan, cenderungnya dengan sengaja, karena fokus utama kita menyaksikan sebuah gol. Terlebih saat anda dan saya menyaksikan kesebelasan favorit, tentunya kita menginginkan sebuah gol, agar kesebelasan kita menang.
Jujur saja, sebagai orang awam, apa sudi kita menyaksikan gerak-gerik pemain di lapangan dalam menterjemahkan taktik pelatih? Maka dari itu, saya angkat topi tinggi-tinggi kepada beberapa analis yang mampu konsisten menghasilkan tulisan taktik yang dengan cermat mengupas seluk-beluk sebuah tim dalam memainkan formasi sepak bolanya.
Analisis taktik tidak hanya menjadi pembenaran akan sebuah kemenangan, dengan analisis taktik kita mau tidak mau diajak untuk mewajarkan sepak bola ke titik awalnya sebagai proses. Tidak hanya gol atau skor akhir yang dilihat, tapi kenapa hasil akhir tersebut bisa sedemikian rupa jika dilihat dengan kacamata analisis taktik.
Ketika Friedrich Nietzsche bilang bahwa Tuhan sudah mati bagi manusia modern, saya jadi berpikir dengan imajinasi yang liar, apa jangan-jangan, esensi sepak bola sebagai proses juga sudah mati bagi manusia modern?
Apa Diego Maradona yang di-Tuhan-kan itu sudah tidak relevan lagi karena dunia modern lebih memaklumi Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo sebagai alien? Lebih mulia mana, menjadi manusia yang di-Tuhan-kan atau menjadi manusia yang di-alien-kan?
Sepak bola zaman dulu begitu lekat mencitrakan Pele, Johan Cruyff sampai Maradona sebagai representasi keindahan. Karena memang benar adanya mereka adalah sosok revolusioner yang abadi. Mereka membawa keindahan dalam sepak bola menjadi sebuah euforia yang melebihi sebuah kemenangan.
Cruyff saja selalu bangga dengan total voetball-nya walau tak sekalipun merasakan trofi Piala Dunia. Lalu, apa kita bisa mewajarkan kehebatan, misal, Marcelo Bielsa, yang walaupun jenius namun tidak bergelimang gelar selama berkarir di Eropa?
Ada pergeseran nyata dalam dunia sepak bola modern yang menuntut hasil sebagai sebuah titik tertinggi yang dituju. Tidak salah, karena esensi sepak bola sebagai sebuah permainan memaksanya untuk mengeluarkan pemenang di akhir laga.
Karena juara hanya satu, dan juara dua atau juara tiga cenderung tidak akan diingat oleh zaman. Anda memangnya hafal siapa saja juara ketiga di Piala Dunia tiap edisinya?
Tapi ada baiknya, sebagai seorang suporter, terlebih kita di Indonesia ini yang normalnya adalah suporter layar kaca, tidak lagi menyaksikan sepak bola sebagai pemenuhan hasrat kita untuk kemenangan. Kemenangan bagi suporter layar kaca hanya sebuah alat untuk pemenuhan egoisme kita.
Saya pun tak jarang seperti itu. Ketika kesebelasan favorit saya menang, saya bisa berbangga hati dan merasa pongah. Padahal saya lupa, yang memenangkan pertandingan adalah sebelas pemain di lapangan yang berpeluh keringat selama 90 menit, bahkan lebih.
Saya, dan Anda serta semua orang-orang seperti kita, hanya duduk manis di depan televisi dan menuntut sebuah kemenangan sebagai hal mutlak, namun abai terhadap proses yang terjadi di lapangan. Itu yang membosankan. Makanya, sejak beberapa bulan yang lalu, saya berusaha mewajarkan kalau-kalau di tiap pekannya kesebelasan favorit saya kalah.
Saya anggap itu variasi perihal hubungan asmara saya dengan kesebelasan favorit saya. Padahal, saya ini termasuk beruntung karena menjadi penggemar sebuah klub papan atas Eropa, setidaknya lebih rutin menang daripada kalah, coba bayangkan perasaan suporter klub papan bawah yang rutin kalah semisal Sunderland atau Chelsea, misalnya?
Sepak bola, di asumsi sederhana saya, justru kehilangan sisi menariknya karena cenderung berfokus untuk meraih kemenangan, bukan meraih kesenangan. Kemenangan itu menjadi sebuah tuntutan yang setara dengan para pegawai-pegawai marketing yang tiap harinya penuh target untuk menjual sebuah produk.
Sepak bola menjadi sebuah deadline ketika kemenangan dipandang sebagai sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar, dan yang kalah sejatinya akan selalu pecundang.
Maka dari itu, ketika sosok pragmatis seperti Jose Mourinho yang begitu mendewakan kemenangan dan cenderung bermain pasif atau defensif mengalami fase bobroknya musim ini, saya menjadi yang terdepan dalam menertawakan beliau. Jose Mourinho adalah sosok pemenang yang akhirnya, mau tidak mau, dipaksa menjadi pecundang.
Anda tahu sosok pelatih yang selalu gagal juara Liga selama bertahun-tahun dan kerapkali disebut pecundang namun tak kunjung dipecat? The one and only, Arsene Wenger.
Saya tentu berharap kita bisa bahagia dengan menyaksikan sepak bola, terlepas nantinya kesebelasan favorit kita menang atau kalah. Karena kebahagiaan yang hakiki bagi suporter adalah melihat klubnya bertanding.
Kemenangan harusnya dipandang sebagai bonus, walau rutin kalah juga tidak diharapkan tentunya. Jadi, buat apa sebenarnya Anda menonton sepak bola di tiap pekannya?