Inter Milan: Kaya tapi Miskin

Selain Turin, kota Milan seringkali disebut sebagai salah satu kiblat utama persepakbolaan Italia. Pasalnya, ada dua kesebelasan yang menjadi simbol kejayaan kota mode tersebut yakni AC Milan dan Inter Milan.

Kedua tim mengoleksi cukup banyak trofi, baik di kancah nasional, regional maupun internasional. Nama terakhir bahkan tercatat sebagai peraih Treble Winners pertama dan terakhir (setidaknya hingga saat ini) dari Negeri Spaghetti.

Ironisnya capaian itu sudah berumur satu dekade lalu dan setelahnya, Inter malah jadi pesakitan akibat paceklik gelar. Walau Interisti senantiasa membanggakan apa yang diraih tim favoritnya, tapi mereka pun sadar bahwa prestasi tersebut makin usang dimakan zaman.

Kemerosotan I Nerazzurri dalam rentang satu dasawarsa pamungkas amat dipengaruhi faktor finansial. Neraca keuangan yang selalu merah jadi penyebabnya. Kendati berstatus klub papan atas, laporan keuangan Inter selalu merugi di setiap musim, utamanya saat dipimpin oleh Massimo Moratti.

Seperti yang dilaporkan Swiss Ramble, Moratti meninggalkan utang dalam jumlah masif dan tak kuasa untuk membereskannya. Apalagi semenjak asosiasi sepakbola Eropa (UEFA) memperkenalkan aturan Financial Fair Play (FFP) yang menuntut kemandirian klub.

Masalah itu pula yang akhirnya mendorong sang presiden untuk melepas kepemilikan saham mayoritasnya kepada Erick Thohir pada 2013 silam hingga kini dikuasai oleh konsorsium asal Cina, Suning Group.

Kebiasaan Buruk Moratti

Ibarat kisah cinta, sudah menjadi rahasia umum kalau tata kelola klub-klub Italia cenderung mendahulukan hati ketimbang akal. Para pemilik, termasuk Moratti, rela melakukan apa saja demi ambisi yang ingin diwujudkan, tak terkecuali menghabiskan uang pribadinya buat memutar roda operasional tim.

Tatkala mengakuisisi I Nerazzurri dari tangan Ernesto Pellegrini di tahun 1995 lalu, Moratti punya cita-cita untuk mendatangkan kejayaan bagi Inter seperti yang ayahnya, Angelo Moratti, lakukan medio 1960-an silam. Sayangnya, tindakan sang putra agak sembrono meski didasari cinta yang teramat kuat.

Salah satu cara yang sering ditempuh Moratti agar tim kesayangannya tangguh adalah membeli pesepakbola dengan label bintang. Harga tebusnya pun tak main-main sebab menguras isi rekening sekaligus memecahkan rekor transfer dunia.

Penampilan menawan Ronaldo bersama Barcelona memikat atensi Moratti. Di musim panas 1997, ia rela merogoh kocek sebesar 28 juta Euro guna membawa kartu as tim nasional Brasil tersebut ke kota Milan sembari menorehkan rekor baru di buku transfer pemain. Interisti di penjuru Bumi menyambut kedatangan Ronaldo dengan sangat gembira.

BACA JUGA:  Menghormati Pilihan Mario Mandzukic

Ronaldo / Inter Milan / Indonesian Football Artist - Fandom.id

Di pundak Ronaldo juga bersemayam sejuta harapan, khususnya yang berkaitan dengan raihan trofi. Apalagi Ronaldo sudah membuktikan itu saat berbaju PSV maupun Barcelona. Namun apes, karier Ronaldo bersama Inter justru diganggu cedera lutut yang membuatnya tak dapat tampil maksimal.

Bersamaan dengan Ronaldo, Inter juga membajak Alvaro Recoba dari Nacional. Biaya yang kudu Inter gelontorkan adalah 17 juta Euro. Entah apa yang Moratti lihat dari Recoba, tapi kabarnya figur yang satu ini adalah pemain kesayangan sang presiden. Tak peduli bahwa ia memiliki kecenderungan untuk malas berlatih.

Sikap itu pula yang mendorong sejumlah pelatih Inter tak memanfaatkan kemampuan El Chino, julukan Recoba, bahkan meminjamkannya ke klub lain.

Recoba / Inter Milan / Indonesian Football Artist - Fandom.id

Sebagai tandem sekaligus pengganti Ronaldo yang kerap absen, Moratti kemudian mencomot Christian Vieri dari Lazio di bursa transfer musim panas 1999. Kebetulan, performanya sedang ada di titik puncak sehingga sang patron yakin bahwa Vieri bisa mengangkat grafik I Nerazzurri.

Transfer penyerang tim nasional Italia itu menghabiskan duit sebesar 49 juta Euro, catatan yang juga menjadi rekor transfer dunia pada momen tersebut.

Meski sempat dikritik, khususnya oleh Gereja Vatikan, keputusan Moratti mendatangkan bomber dengan sapaan akrab Bobo itu tidak salah karena pada akhirnya, Vieri bertransformasi jadi ujung tombak andalan para pelatih. Sampai hari ini, Vieri tercatat sebagai penyerang paling tajam kesembilan sepanjang sejarah I Nerazzurri dengan koleksi 123 gol di seluruh ajang.

Vieri / Inter Milan / Indonesian Football Artist - Fandom.id

Apa yang berkelindan di tubuh Inter, membuat banyak pihak menanti-nanti aksi Ronaldo dan Vieri secara bersamaan di atas lapangan hijau. Imajinasi bahwa lini depan Inter amat trengginas dengan kombinasi Ronaldo-Vieri atau kerap disebut Ro-Bo (berasal dari nama dan julukan masing-masing) menyesaki kepala Interisti.

Akan tetapi, harapan tinggal harapan karena itu sulit sekali diwujudkan meski keduanya tergolong penyerang subur. Asal muasalnya jelas yakni Ronaldo dan Vieri adalah pemain yang rentan cedera. Mereka sering mengalami cedera sehingga jarang turun bersama-sama di atas lapangan.

Dua Wajah Inter

Di awal rezim Moratti, Inter bisa dikatakan sebagai klub kaya raya. Tindak-tanduk mereka, khususnya di bursa transfer jadi salah satu bukti riilnya. Cuma dengan menjentikkan jari saja, Moratti bisa merekrut pemain kelas wahid yang ia mau.

Nominal jual beli pemain di era Moratti. Sumber: Swiss Ramble

Sejumlah bintang ternama pun hilir mudik di Appiano Gentile, markas latihan Inter. Mulai dari Recoba, Ronaldo, Vieri, Adriano Leite, Roberto Baggio, Giuseppe Bergomi, Hernan Crespo, Samuel Eto’o, Luis Figo, Zlatan Ibrahimovic, Douglas Maicon, Walter Samuel, Wesley Sneijder, Francesco Toldo, Juan Sebastian Veron, sampai Javier Zanetti.

BACA JUGA:  Rangkuman Serie A 2015/2016 Hingga Libur Musim Dingin

Walau demikian, Inter di era tersebut juga pantas dijuluki sebagai tim miskin, utamanya dalam aspek prestasi. Dalam kurun lima tahun pertama kepemimpinan Moratti, klub yang berdiri tahun 1908 ini hanya mampu menggondol satu gelar juara yaitu Piala UEFA di musim 1997/1998. Trofi kedua rezim Moratti bahkan baru menetas di musim 2004/2005 dalam wujud Piala Italia.

Bila dibandingkan dengan Juventus, Lazio, Milan atau bahkan Parma, pencapaian I Nerazzurri saat itu kalah jauh meski sama-sama ‘tergabung’ dalam Il Sette Magnifico. Salah satu alasan yang acap dilambungkan sebagai biang keladi seretnya prestasi Inter adalah ketidaksabaran Moratti sehingga hobi menggonta-ganti pelatih.

Nama-nama seperti Ottavio Bianchi, Roy Hodgson, Luigi Simoni, Mircea Lucescu, Marcello Lippi, Marco Tardelli, Hector Cuper, hingga Gian Piero Gasperini merupakan arsitek yang jadi korban keegoisan Moratti. Santer pula kabar yang menyebutkan jika Moratti gemar ikut campur urusan teknis. Padahal itu jadi wewenang absolut dari para pelatih.

Akibatnya, Inter tak pernah memiliki fondasi tim dan identitas permainan yang jelas. Moratti hanya menuruti hawa napsunya saja tanpa mau belajar dari para pesaing. Misalnya Juventus yang bertahan lama dengan Lippi, Milan yang melesat di tangan Arrigo Sacchi maupun Fabio Capello, bahkan Parma saat ditangani oleh Alberto Malesani. Jangan pula heran kalau akhirnya banyak pemain bintang yang justru redup saat mengenakan baju biru-hitam.

Ambisi kelewat besar Moratti bikin dirinya enggan menghargai segala proses, termasuk menerima setiap kegagalan yang dirasakan Inter. Membuat kesebelasan yang pernah melakukan tur ke Indonesia pada tahun 2012 ini layaknya sebuah anomali. Kaya sumber daya tapi miskin prestasi. Mujur, nasib lelaki berkacamata tersebut membaik di fase akhir perjalanannya sebagai presiden dan membuat namanya abadi di hati Interisti.

[Best_Wordpress_Gallery id=”27″ gal_title=”Inter Milan Legends”]

NB: Seluruh ilustrasi yang ada di artikel ini dikerjakan oleh para ilustrator yang tergabung dalam Indonesian Football Artist / IFA (idfootballartist). Fandom.id mendapat kesempatan untuk menayangkan karya-karya terbaik IFA. Daftar ilustrator yang terlibat untuk ilustrasi edisi #MengingatSejarah Inter Milan ini: Ronaldo (@Choirulanm1), Recoba (@ehgipari), Vieri (@anasdz1908), Djorkaeff (@29Pumaloco), Zamorano (@tyo_prast91), Zanetti (@Alditoilhm), dan Pagliuca (@iammbom).

Komentar