Jersey Tiruan Milik Leeds United dan Crystal Palace

Bermasalah dengan pembayaran gaji pemainnya di tengah Perang Dunia I, Leeds City bubar. Leeds United yang baru saja berdiri, menggantikan tempat mereka di kompetisi lokal. Hilton Crowther, petinggi Huddersfield Town saat itu, kemudian datang memberi pinjaman uang kepada klub belia itu.

Gelontoran dana sebesar 35 ribu poundsterling dari tim tetangga di Yorkshire itulah yang mendasari warna jersey pertama Leeds. Strip biru-putih itulah yang mereka pakai. Sama persis dengan yang dikenakan oleh Huddersfield.

Konon, Crowther justru ingin menyatukan dua klub tersebut. Mimpinya gagal diwujudkan. Ia justru berakhir di Elland Road sebagai pejabat Leeds setelah melepas posisinya di Huddersfield.

Namun, bukan berarti garis biru-putih itu langgeng bersama Crowther. Strip itu dibuang pada 1934. Warna setengah biru dan setengah kuning keemasan diperkenalkan. Berbagai variasi pola dengan dua warna itu bertahan sampai Real Madrid berjaya di Eropa pada medio 1950-an sampai awal 1960-an.

Di Semenanjung Iberia, performa Ferenc Puskas sedang cantik-cantiknya. Alfredo Di Stefano sedang berapi-api. Bersama mereka, hadir juga Raymond Kopa, Hector Rial, dan Pacho Gento membentuk kuintet mengerikan.

Kala itu, mereka berhasil mempertahankan title juara European Cup ―sekarang Liga Champions― selama lima tahun berturut-turut. Dan prestasi itulah yang membuat iri Donald Revie, yang saat itu menjadi ­player-manager di Leeds.

Lompatan logika dan cocoklogi miliknya membawa sebuah ide gila. Dari mulut Don Revie terlempar gagasan untuk mengganti jersey timnya dengan kostum putih bersih layaknya Madrid. Leeds menjadi Los Blancos 2.0 dengan membawa ambisi meniru langkah sukses raksasa Spanyol itu.

Don Revie sendiri baru saja ditunjuk menjadi manajer baru saat itu, setelah ia gagal bergabung dengan Bournemouth. Tugas awalnya di Elland Road cuma satu: lolos dari degradasi. Dan di pekan terakhir, ia memenangkan laga sehingga Leeds tetap bertahan di Divisi Dua.

BACA JUGA:  Mau Bermain Sepakbola yang Bagaimana, Luis Milla?

Kaos putih tiruan itu terus menunjukkan magisnya. Pada akhir musim 1973/1974, mereka promosi ke Divisi Satu dengan status juara kasta kedua. Lima tahun setelahnya, Don Revie membawa The Whites menjadi jawara di Inggris.

Memang belum sehebat Madrid. Namun, setidaknya mereka juga pernah merasakan gelar di kancah Eropa dengan dua kali memenangi Fairs Cup. Meskipun, kompetisi tersebut, kala itu, masih sebatas percobaan yang nantinya diganti oleh Piala UEFA ―kini Liga Eropa.

Bergeser ke bagian selatan Ibukota Inggris, sebuah klub baru saja didirikan di atas bekas tim amatir dengan nama yang sama, Crystal Palace.

Pengelola klub yang bermarkas di Selhurst Park itu kemudian menemui Edmund Goodman. Ia merupakan asisten sekretaris Aston Villa, tim kala itu sudah moncer di tanah Inggris. Dirinya pula yang membantu Palace untuk mendaftar Liga Inggris.

Tak hanya itu, Villa benar-benar mengasuh klub kemarin sore tersebut. Mereka menyumbangkan jersenya kepada Palace. Begitulah adanya. Kostum mereka sama persis saat itu. Didominasi warna claret dengan lengan biru muda.

Kombinasi kedua warna itu bertahan cukup lama dengan kombinasi pola yang berbeda-beda. Palace beberapa kali memasukkan pernah pula measukkan warna putih. Bahkan, pada 1963 mereka mencoba jersey putih bersih dengan alasan yang sama dengan Leeds: meniru Real Madrid.

Sampai pada akhirnya, Malcolm Allison untuk pertama kalinya memasuki kantornya di Selhurst Park. Ia mengganti banyak hal di sana. Termasuk julukan yang diubahnya menjadi The Eagles merujuk pada klub besar Portugal, Benfica.

Ia juga membuang sejarah di jersey Palace. Warna warisan Villa ditanggalkan. Kemudian, mempresentasikan gagasan untuk menduplikasi kostum raksasa sepakbola dari Catalonia, Barcelona. Alasannya tentu sama saja. Ingin membawa ruh kegemilangan Blaugrana ke London Selatan.

BACA JUGA:  Samurai-Samurai Jepang di Benua Biru

Keputusan yang tak terlalu ambisius sebenarnya, mengingat Barca saat itu juga tak bagus-bagus amat. Memang, sudah ditasbihkan sebagai klub besar, tetapi kala itu mereka sedang kalah moncer dari tim ibukota.

Situasi Selhurst Park tak kalah menyedihkan. Stadion tersebut lebih akrab dengan kekalahan daripada dengan Dewi Fortuna. Palace baru saja terdegradasi dari kasta teratas. Pekerjaan Allison sederhana saja sebenarnya, yakni membawa timnya kembali promosi.

Pada saat bersamaan dengan musim perdananya di Palace, Barca memang berhasil juara Liga Spanyol. Namun, apadaya. Tak ada yang magis dengan strip merah-biru itu. The Eagles malah terjerembab. Sekali lagi mereka degradasi.

Dengan berat, mereka memulai musim 1974/1975 dari divisi ketiga. Dan sampai akhir pengabdiannya di Selhurst Park, Allison tetap tak mampu menaikkan Palace barang satu kasta. Satu-satunya yang membekas hanya sukses menembus semifinal Piala FA. Lalu, dihajar Southampton.

Komentar
Pendukung Persiba Bantul dengan akun twitter @AndhikaGila_ng