Seiring dengan berakhirnya Piala Menpora 2021 yang dijuarai Persija, publik sepakbola kini menunggu berputarnya kompetisi Liga 1, Liga 2, dan Liga 3 yang lebih bergengsi.
Menurut berita yang sudah beredar, federasi sepakbola Indonesia (PSSI) dan PT. Liga Indonesia Baru (LIB) berencana memulai Liga 1 pada 3 Juli 2021 mendatang dan disusul Liga 2 tepat dua pekan berikutnya.
Eits, jangan buru-buru antusias dengan hal tersebut. Perlu diingat bahwa rencana yang berakhir sebagai wacana adalah hal yang sangat lumrah terjadi dalam tata kelola sepakbola nasional oleh PSSI dan PT. LIB.
Masih belum pastinya gelaran liga di tanah air juga memunculkan berbagai reaksi dari banyak kesebelasan nasional.
Tim-tim papan atas Liga 1 seperti Bali United, Persib, dan Persija, terus bergerak guna memperkuat armada tempurnya. Namun klub-klub papan bawah semisal Persela tampak anteng-anteng saja.
Setali tiga uang, klub-klub Liga 2 juga terlihat ada di fase yang sama. Persis, PSIM, dan RANS Cilegon begitu serius mempersiapkan diri.
Sedangkan tim-tim layaknya Persekat dan PSKC malah belum terlihat melakukan persiapan jelang musim baru.
Ironisnya, di tengah berbagai hal yang tengah berkelindan di kancah sepakbola Indonesia, muncul sebuah isu yang menyebut bahwa Liga 1 musim 2021 nanti akan dihelat tanpa adanya degradasi.
Sontak, publik pun mengernyitkan dahi dan melancarkan protes kepada PSSI, PT. LIB maupun kontestan Liga 1.
Buat apa mereka beraksi di ajang liga kalau pada akhirnya tak ada degradasi? Mengapa tak membuat turnamen demi turnamen saja bila yang diinginkan hanyalah materi yang berguna untuk memutar roda operasional?
Media sosial Twitter dipenuhi tanda pagar #TolakKompetisiTanpaDegradasi sebagai bentuk penolakan publik terhadap wacana tak adanya degradasi pada Liga 1 musim 2021.
Konsep adanya kompetisi tanpa degradasi diperkuat oleh pernyataan PSSI yang mengatakan bahwa ada 13 klub Liga 1 yang telah mengajukan format tersebut.
Praktis, baru empat kesebelasan yang dengan lantang menyuarakan ketidaksetujuannya. Mereka adalah Bhayangkara Solo FC, Borneo FC, Persib, dan Persikabo.
Selain berdalih atas nama usulan mayoritas klub, PSSI juga menyebut bahwa format tanpa degradasi di liga merujuk pada federasi lain yang melakukan reduksi peserta di kompetisinya seperti J.League 1 pada musim 2020 kemarin.
Nahasnya, dalih PSSI sekali lagi irasional dan bisa ditentang. J.League 1 tidak menerapkan degradasi pada kompetisi 2020 karena di momen tersebut, mereka melanjutkan kompetisi yang terhenti akibat pandemi meski sudah separuh jalan berlangsung.
Hal ini tentu berbeda jauh dengan Liga 1 2021 yang merupakan musim baru sehingga esensi dari ketiadaan degradasi menjadi tak valid.
Memang beberapa liga di luar negeri pernah mengadakan hal serupa, tetapi tujuannya adalah untuk memberi kesempatan kepada tim-tim di kasta kedua mampu mencapai standar tertentu untuk dicap sebagai klub profesional.
Kalau memang tim-tim Liga 1 takut kehilangan pemasukan karena terdegradasi dari kasta teratas, seharusnya mereka pun mengerti bagaimana cara mengeruk pundi-pundi dari branding maupun marketing. Toh, mereka adalah sebuah entitas profesional.
Menariknya ada promosi dan degradasi adalah seperti ini. Bayangkan kalo klub promosi dirayakan dengan keliling kota dengan kereta kuda, kereta mini, dan sepeda ontel. https://t.co/sTseZPwoSD
— Fajar Junaedi (@fajarjun) May 7, 2021
Ketiadaan degradasi justru makin membuka borok tentang jebloknya tata kelola sepakbola nasional. Baik dari federasi sendiri maupun klub-klub yang ada.
Sebetulnya, kompetisi tanpa degradasi yang sedang digaungkan memang tidak melanggar statuta PSSI. Namun hal itu justru berpotensi merepotkan PSSI sendiri di masa depan.
Penambahan jumlah peserta liga tanpa visi yang jelas akan menambah beban pekerjaan. Misalnya saja, mengatur jadwal kompetisi yang lebih padat.
Padahal, selama ini jadwal kompetisi di Indonesia seringkali menemui berbagai masalah.
Belum lagi munculnya asumsi-asumsi buruk dari khalayak terkait pertandingan. Sebuah klub yang superior bisa saja disebut ‘membeli’ lawannya guna memantapkan langkah menuju gelar juara.
Praktik pengaturan skor merajalela karena tak adanya ketakutan turun kasta.
Alhasil, bukannya melahirkan kompetisi yang sehat, PSSI dan PT. LIB justru menyuburkan dugaan bahwa sepakbola Indonesia bisa diatur sedemikian rupa tergantung pesanan.
Apalagi sejumlah pengurus PSSI juga memegang jabatan di klub tanah air.
Ketidakpercayaan klub pada penyelenggara juga terus menebal. Padahal, keadaan tersebut harus lenyap dari persepakbolaan nasional.
Kalau sudah begini, apa sebetulnya visi dan misi PSSI dalam memajukan sepakbola Indonesia?
Seperti yang saya tanyakan di bagian awal artikel, jika PSSI dan PT. LIB bersikukuh mengadakan Liga 1 tanpa degradasi, ada baiknya rencana itu diubah dengan cara menggelar turnamen secara kontinyu.
Entah dengan label Piala Presiden, Piala Gubernur, Piala Walikota, Piala Lurah atau Piala RT.
Sebab yang terpenting adalah perputaran uang sehingga klub-klub peserta dapat memenuhi kewajibannya kepada pemain, pelatih dan ofisial.
Ada satu momen kunci yang patut diperhatikan penggemar sepakbola Indonesia yakni Rapat Umum Pemegang Saham PT. LIB.
Saham operator kompetisi ini dipegang oleh banyak klub tanah air. Kepastian ada atau tidaknya degradasi dapat dibahas di situ.
Andai di kemudian hari Liga 1 memang diselenggarakan tanpa degradasi dengan alasan apapun, berarti hal itu memang dikehendaki para kontestan. Jika tetap ada degradasi, maka itu memang keinginan para peserta.
Semoga saja kekuatan warganet dan suporter yang protes secara langsung sanggup menggoyahkan hasrat pelaksana kompetisi dan para klub sendiri agar kompetisi tetap menyediakan slot degradasi bagi para penghuni papan bawah.
Bagaimanapun juga, esensi dari sebuah kompetisi adalah persaingan sehat guna memperebutkan kesuksesan dan pihak yang gagal, kudu menerima nasib dengan dihukum turun kasta.