Era akhir 2000-an maupun sepanjang 2010-an merupakan periode yang sangat gemilang untuk persepakbolaan Spanyol. Bagaimana tidak, ada begitu banyak prestasi yang sukses didapat Negeri Matador dalam kurun waktu tersebut.
Di level tim nasional, Spanyol menjadi kampiun Piala Eropa 2008 dan 2012 serta Piala Dunia 2010. Sementara di level klub, beberapa wakil dari Spanyol sukses menggenggam trofi Liga Champions maupun Liga Europa.
Wajar bila kemudian persepakbolaan Negeri Matador dianggap sebagai yang paling kompetitif saat itu. Tak peduli bahwa kompetisi di Inggris dilabeli sebagai yang paling bonafide. Wakil Inggris, tetap saja bertekuk lutut di hadapan klub-klub seperti Barcelona, Real Madrid, dan Sevilla.
Penurunan signifikan timnas Spanyol nyatanya tak berdampak bagi klub-klub asal Semenanjung Iberia tersebut. Dominasi mereka masih terlihat di level antarklub.
Buktinya tersaji dengan presensi konstan pada laga-laga puncak Liga Champions maupun Liga Europa. Untuk ajang pertama, memang ada sedikit pergeseran kekuatan karena sejak 2018, tak ada lagi wakil Negeri Matador yang tampil.
Akan tetapi, kesebelasan asal Spanyol masih rajin beraksi di partai penentuan kompetisi kelas dua. Sevilla bahkan menjadi kampiun untuk keenam kalinya pada 2020 kemarin. Sementara di 2021 kali ini, ada Villarreal yang menjejak final dan akan bertarung melawan Manchester United (27/5).
Salah satu pembeda mengapa timnas Spanyol terpuruk dan klub-klub dari Negeri Matador tetap kompetitif adalah regenerasi. Di level klub, proses yang satu ini bisa berjalan lebih cepat. Pasalnya, pemain yang ada di skuad tim-tim Spanyol berasal dari banyak negara dengan usia yang beragam pula. Ada kebebasan yang dimiliki mereka.
Sementara di level timnas, prosesnya tergolong lebih lambat karena sumber daya yang dapat dimaksimalkan begitu terbatas yakni para pemain asli Spanyol saja.
Sialnya lagi, tidak banyak penggawa junior yang kualitasnya setara dengan para bintang semisal Iker Casillas, Andres Iniesta, sampai Xavi Hernandez. Bahkan untuk mencari penerus Gerard Pique atau Sergio Ramos, mereka masih kepayahan.
Harapan baru La Furia Roja untuk tampil lebih apik sempat muncul pada 2018 silam. Kebetulan, saat itu asosiasi sepakbola Spanyol (RFEF) menunjuk Julen Lopetegui sebagai pelatih baru menggantikan Vicente Del Bosque.
Di tangan Lopetegui, timnas dengan kostum kebesaran berwarna merah itu mencatatkan rekor tak terkalahkan dalam 20 pertandingan pertamanya. Torehan itu cuma kalah dari era kepelatihan mendiang Luis Aragones yang tak tersentuh kekalahan dalam 25 laga perdananya.
Sayang seribu sayang, ada konflik internal yang terjadi dan justru merusak harapan tersebut. Hal ini diawali dengan proses pengumuman Lopetegui sebagai pelatih anyar Real Madrid selepas Piala Dunia 2018 di Rusia.
Pihak RFEF menuding Lopetegui tidak profesional karena memberitahukan kesepakatan tersebut hanya beberapa menit sebelum pengumuman resmi dari Los Merengues. Tanpa ragu, RFEF lantas memecatnya hanya H-2 dari laga pembuka timnas Spanyol di Piala Dunia 2018.
“Kami senang dengan kinerja Lopetegui selama ini. Namun kami tidak bisa menerima tindakannya perihal kasus (kesepakatan dengan Real Madrid) ini”, terang Luis Rubiales, Presiden RFEF, seperti dikutip dari Bolasport.
Kondisi tersebut pada akhirnya berimbas pada kiprah Spanyol selama di Negeri Beruang Merah. Alih-alih melaju sampai fase akhir, langkah mereka yang saat itu ditukangi Fernando Hierro disetop tim tuan rumah via adu penalti pada 16 besar.
Buat mengembalikan nama besarnya sebagai raksasa sepakbola Eropa, timnas Spanyol butuh waktu yang cukup panjang. Khususnya buat melahirkan generasi pemenang seperti era akhir 2000-an dan awal 2010-an.
Apakah Ansu Fati, Mikel Oyarzabal, Riqui Puig, dan Unai Simon bisa mengikuti jejak para pendahulunya? Tentu waktu yang akan menjawab semuanya. Namun paling tidak, ada nama-nama muda yang kelak bisa dijadikan tulang punggung La Furia Roja.
Apalagi sosok Luis Enrique sebagai pelatih dinilai kapabel untuk membangkitkan lagi timnas Spanyol di kejuaraan sepakbola antarnegara.
Lebih jauh, klub-klub Negeri Matador yang jadi kekuatan utama di kancah Eropa juga mesti bercermin. Walau mereka masih cukup konsisten menembus fase puncak kejuaraan antarklub Eropa, tetapi armada mereka butuh perbaikan dan pembaharuan.
Barcelona tak mungkin mengandalkan Jordi Alba (kini 32 tahun), Sergio Busquets (32), Lionel Messi (33), dan Pique (34) terus-menerus. Pun dengan Real Madrid yang harus segera menemukan suksesor dari Karim Benzema (33), Luka Modric (35), dan Ramos (34). Terakhir, Sevilla juga mesti mencari pengganti Jesus Navas (35) serta Franco Vazquez (32).
Jika timnas Spanyol yang laju regenerasinya cenderung lambat saja ingin segera membenahi kekurangan mereka, klub-klub Negeri Matador yang punya pergerakan lebih luwes kudu melakukan pembenahan secepat mungkin guna memperbaiki kekurangan.
Sebab dengan begitu, potensi untuk melihat kedigdayaan Spanyol, baik di level timnas maupun klub seperti sedekade lalu, akan terlihat lagi.