Tampil mengesankan sejak awal musim, performa AC Milan justru menukik mulai pertengahan musim.
Alih-alih bersaing memperebutkan Scudetto seperti yang mulanya terlihat, mereka bahkan terancam gagal lolos ke Liga Champions.
Pasalnya, Il Diavolo Rosso sempat terlempar dari empat besar klasemen yang berarti tiket ke Liga Champions lepas dari genggaman.
Walau punya tujuh trofi Liga Champions, absensi selama tujuh musim dari kompetisi antarklub Eropa nomor wahid itu adalah aib tersendiri.
Tak heran bila akhir-akhir ini semakin banyak pihak yang mempertanyakan kehebatan Il Diavolo Rosso.
Milanisti boleh saja meradang jika klubnya dipandang remeh. Namun realitnya, AC Milan memang sedang berada pada fase terberat sepanjang sejarah klub.
Kondisi finansial sempat amburadul serta kualitas skuad yang jauh dari kata mumpuni membuat tim ini kepayahan untuk bersaing.
Saya masih ingat ketika pendukung fanatik AC Milan yang menguji Curva Sud Stadion San Siro membentangkan spanduk raksasa bertuliskan kalimat, “Game Over, Insert Coin and Save AC Milan”.
Hal itu menjadi gambaran nyata betapa jengahnya Milanisti dengan performa klub kesayangan mereka.
Mujur, peruntungan mereka mulai berubah beberapa tahun terakhir, khususnya setelah Elliott Management jadi pemegang saham mayoritas tim.
Langkah-langkah pembenahan dan penguatan dilakukan demi mengatrol Il Diavolo Rosso ke tempat yang semestinya.
Kegagalan bermain secara rutin di Liga Champions memang mengganggu kas keuangan tim. Situasi itulah yang bikin mereka kesulitan melakukan investasi, khususnya di sektor pemain dan pelatih.
Lewat cara-cara yang rasional dan cerdas, Elliott mulai membenahi segala problem yang mendera.
Misalnya saja merekrut pemain muda berkualitas dengan harga murah atau melalui metode peminjaman.
AC Milan juga lebih berhati-hati dalam menunjuk pelatih agar mereka tak selalu mengulang periode yang sama yakni membangun skuad.
Elliott sendiri belajar banyak dari kebijakan Silvio Berlusconi maupun Yonghong Li saat memegang klub.
Tak ada aksi jor-joran dan transfer asal-asalan. Semua dilakukan demi menjaga kas tim.
Pantas bila megabintang yang sanggup didatangkan Il Diavolo Rosso cuma Zlatan Ibrahimovic. Selebihnya, skuad AC Milan dihuni pemain kelas menengah maupun muda dan potensial.
Di sisi manajerial, ada figur-figur yang ditendang oleh Elliott. Misalnya saja Marco Fassone dan Massimiliano Mirabelli. Mereka lantas mendapuk Paolo Scaroni, Zvonimir Boban, dan Paolo Maldini sebagai orang-orang di balik layar.
Elliott boleh saja terlihat lebih pelit dibanding Berlusconi dan Li, tetapi hal itu diperlukan untuk melihat seberapa jauh tim ini dapat melewati berbagai masalah yang mendera. Toh, masih banyak Milanisti berpikiran sehat yang mengerti dengan kondisi tim.
Sepanjang musim 2020/2021, performa yang disuguhkan anak asuh Stefano Pioli membesarkan asa di dada Milanisti.
Saking bagusnya, sampai-sampai memunculkan ketakaburan dari sebagian suporter klub berbaju hitam-merah ini. Ada banyak komentar mereka yang terlalu meninggikan tim kesayangannya saat ada di puncak klasemen.
Ada yang menyebut jalur di puncak mereka tutup, ada yang mengatakan DNA Eropa tim kesayangannya sudah kembali dan masih banyak ujaran lainnya.
Walau demikian, sikap seperti itu barangkali cukup wajar mengingat baru kali ini Il Diavolo Rosso kembali bersaing di papan atas Serie A.
Berbekal skuad dengan rataan usia 22,8 tahun, ll Diavolo Rosso besutan Pioli terlihat menjanjikan. Namun sayangnya, kerikil-kerikil tajam berhasil menjatuhkan mereka.
Selepas merengkuh status Campione d’Inverno, grafik mereka perlahan-lahan menurun. Kekalahan jadi sesuatu yang sering ditemui ketimbang sebelumnya. Bahkan ketika berjumpa tim-tim lemah semisal Spezia.
Hal itu bikin AC Milan mulai ditertawakan. Milanisti yang awalnya sempat menyebut Scudetto, akhirnya berfokus pada posisi empat besar Serie A demi tiket Liga Champions.
Taktik Pioli mulai terbaca lawan, pemain-pemain andalan didera cedera sedangkan para pemain baru tak kunjung menghadirkan dampak yang dibutuhkan. Di luar itu, masih banyak lagi ujian di tubuh tim.
Inkonsistensi penampilan mereka pun disinyalir bisa menjadi penghalang ambisi untuk berlaga di taman bermain impian klub-klub Eropa tersebut.
Jika dahulu asyik bermain di puncak, Milanisti akhirnya mencicipi lagi rasanya masuk goa. Mereka bersembunyi dari perasaan malu. Perasaan bahwa AC Milan cuma menghadirkan harapan palsu pun menyeruak.
Beruntung, segala kekalutan itu terbayar lunas di empat partai pamungkas Serie A. Juventus, Torino, dan Atalanta sukses digebuk. Praktis, cuma hasil imbang lawan Cagliari saja yang sempat bikin Milanisti kembali deg-degan.
Il Diavolo Rosso akhirnya finis di peringkat dua klasemen akhir dan lolos ke Liga Champions musim depan. Bahagia? Tentu saja.
Namun itu bukan akhir segalanya. Ada banyak pekerjaan yang mesti dibereskan klub guna membangun skuad yang pilih tanding. Performa elok di awal musim ini harus diulangi pada musim depan dan mesti dipertahankan sampai akhir. Cerita kehabisan bensin di tengah musim kudu dihindari.
Setidaknya, kini AC Milan bisa bernapas lega. Mereka kembali ke salah satu arena yang bikin nama mereka menjulang di seluruh dunia. Milanisti pun lebih yakin jika klub kesayangan mereka bukanlah pemberi harapan palsu seperti dahulu.
Semoga saja, perjalanan musim ini dapat dijadikan pelajaran berharga sehingga musim depan Il Diavolo Rosso turun bertanding dengan kekuatan lebih di semua aspek.