Perhelatan final Liga Champions musim 2020/2021 mempertemukan dua wakil Inggris, Manchester City dan Chelsea.
BagiThe Citizens, ini adalah final perdana mereka. Sementara untuk The Blues, ini adalah momen ketiga mereka menembus partai puncak.
Melihat tren terkini, City asuhan Pep Guardiola jadi pihak yang lebih diunggulkan. Penampilan Phil Foden dan kawan-kawan memang trengginas selama beberapa bulan terakhir.
Tak heran kalau mereka pun sukses mengunci titel Liga Primer Inggris dan Piala Liga.
Harapan merengkuh trofi Si Kuping Besar untuk pertama kalinya dipertebal dengan ambisi mencatatkan Treble Winners kedua sepanjang sejarah klub.
Bedanya, status Treble Winners perdana yang didapat City berasal dari ajang domestik saja.
Sementara Chelsea justru memperlihatkan aksi yang kurang menggembirakan jelang final Liga Champions.
Mereka kudu bersusah payah sampai pekan pamungkas Liga Primer Inggris untuk memastikan keikutsertaan di Liga Champions musim depan serta keok dari Leicester City pada final Piala FA.
Menyongsong laga final, misi The Blues hanya satu yakni menjaga nama besar sekaligus menyelamatkan wajah mereka yang babak belur.
Bersamaan dengan final yang segera dilaksanakan, berbondong-bondong muncul teori-teori cocoklogi di media sosial yang menyebut bahwa anak asuh Thomas Tuchel akan menjadi kampiun Liga Champions musim ini.
Kebetulan, pada musim ini muncul sejumlah momen yang persis dengan perjalanan Chelsea saat menjuarai Liga Champions musim 2011/2012 silam.
Cocoklogi Chelsea Juara
Pertama, kalau Barcelona jadi kampiun Copa del Rey dengan menekuk Athletic Bilbao, maka klub asal London Barat ini akan jadi pemenang Liga Champions. Musim 2011/2012 dan 2020/2021, Barcelona menekuk Bilbao di final.
Kedua, saat ada dua pemain asal Inggris di skuad yang mencetak gol secara bersamaan dalam sebuah laga Liga Champions dan pelatih yang menangani Chelsea berhasil memenangkan tiga laga pertamanya pada fase gugur, maka gelar Si Kuping Besar akan didapat The Blues.
Ketiga, pergantian pelatih di tengah musim bikin mereka jadi kampiun Liga Champions.
Pada 2011/2012 lalu, Andre Villas-Boas didepak dan disubstitusi oleh Roberto Di Matteo. Sementara pada musim 2020/2021, giliran Frank Lampard yang dipecat dan digantikan Tuchel.
Keempat, saat Antonio Conte memenangkan gelar Scudetto perdana bersama klub anyarnya maka Chelsea juara Liga Champions.
Musim 2011/2012, Conte meraih Scudetto. bareng Juventus sedangkan di musim 2020/2021, ia memenanginya bersama Inter Milan.
Kelima, manakala Manchester City jadi kampiun Liga Primer Inggris dengan Manchester United muncul sebagai runner up lalu Chelsea menembus final Liga Champions, trofi pasti jadi milik The Blues.
Pada musim 2011/2012 dan 2020/2021, City jadi raja di Inggris dan United menatap nanar dari peringkat kedua.
Keenam, saat bertemu tim Portugal di perempatfinal dan Chelsea menang lalu mereka lolos ke final, maka gelar pasti jatuh ke tangan klub milik Roman Abramovich tersebut.
Pada musim 2011/2012 silam, Benfica yang ditaklukkan. Musim 2020/2021 giliran Porto yang ditumpas.
Ketujuh, keberhasilan menumpas jagoan Spanyol di semifinal jadi pertanda keberhasilan The Blues ke laga puncak dan menjuarai kompetisi.
Barcelona dihempaskan pada musim 2011/2012 sementara Real Madrid dapat giliran di musim 2020/2021.
Apakah segala cocoklogi itu menjadi faktor utama Chelsea menjadi juara?
TENTU SAJA TIDAK!
Performa Mengesankan The Blues di Laga Final
Semenjak wasit Mateu Lahoz meniup peluit tanda dimulainya laga final, The Blues memamerkan aksi yang lebih impresif ketimbang The Citizens.
Bola boleh saja dikuasai Foden dan kawan-kawan, tetapi tak ada ruang yang tersedia bagi mereka karena pemain Chelsea begitu andal dalam menutup semua celah di lini pertahanan.
Cesar Azpilicueta, Antonio Rudiger, dan Thiago Silva menjadi benteng yang sangat kokoh menghalau serangan City, baik lewat bola-bola daerah maupun bola udara. Terlebih, penampilan Edouard Mendy di bawah mistar juga begitu tenang.
Kesulitan City dalam membongkar pertahanan Chelsea bahkan sudah terlihat sejak area tengah.
Ben Chilwell, Reece James, Jorginho, dan N’Golo Kante berhasil mengebiri akses umpan City karena mampu menutup ruang.
Alhasil, aliran umpan The Citizens cenderung berputar di area sendiri. Anak asuh Guardiola juga terlihat banyak melepas umpan panjang dan umpan silang yang langsung dijatuhkan ke sepertiga akhir dibanding melalui area tengah.
Ketika Silva ditarik keluar akibat cedera, Andres Christensen sebagai pengganti juga tampil kokoh. Ia sulit dilewati via gocekan. Sulit pula ditaklukkan lewat duel udara.
Kante dan kawan-kawan terlihat piawai memanfaatkan momen penguasaan bola serta memaksimalkan ruang yang ada untuk mengalirkan bola ke depan.
Hal ini bisa kita sama-sama lihat dari sejumlah peluang bersih yang sukses dibuat The Blues.
Gol yang dibuat Chelsea menjadi gambaran sempurna dari hal di atas. Awalnya, anak asuh Tuchel coba mengalirkan bola melalui sektor kanan.
Keadaan ini memancing penggawa The Citizens untuk memenuhi area kiri demi menutup ruang.
Akan tetapi, hanya dalam tempo sepersekian detik, aliran bola dipindah Chelsea melalui Mendy ke kiri. Umpan sang kiper diterima Chilwell yang kemudian mengirimkannya kepada Mason Mount.
Melihat ruang yang begitu luas di lini belakang City, Mount kemudian mengirim umpan terobosan kepada Kai Havertz yang bergerak lebih cepat dibanding Oleksandr Zinchenko.
Havertz pun tinggal berhadapan satu lawan satu dengan Ederson yang keluar dari sarangnya dan dengan mudahnya melewati sang kiper untuk mencetak gol.
Chelsea’s beautiful first goal in the #UCLFinal, scored by Havertz and assisted by Mount. Shout out to Werner’s great movement to open space for Havertz and Chillwell’s great touch to Mount.
-Powered by @MetricaSports ATD pic.twitter.com/scZfv2uQVv— Last Row (@lastrowview) May 29, 2021
Kredit juga patut diberikan kepada Timo Werner sebelum terjadinya gol tersebut karena pergerakannya sukses memancing Ruben Dias untuk terus mengawalnya dan meninggalkan ruang begitu luas untuk dimanfaatkan Havertz.
Efektivitas serangan Chelsea memang tidak mengagumkan, tetapi mereka jauh lebih klinis dibanding City.
Total tembakan maupun tembakan yang tepat sasaran milik The Blues sepanjang laga lebih banyak daripada The Citizens.
Bahkan, satu-satunya tembakan tepat sasaran Foden dan kawan-kawan itu lahir pada babak pertama. Di babak kedua, Mendy tak pernah dibuat berkeringat.
Performa yang disugukan anak asuh Tuchel betul-betul membuat tim besutan Guardiola frustrasi.
Hal tersebut begitu jelas tergambar dari mimik muka para pemain City di menit-menit akhir pertandingan.
Satu yang jelas, Chelsea mengangkat trofi Si Kuping Besar keduanya sepanjang sejarah dengan cara yang elegan.
Mereka unggul dari City lewat sebuah permainan yang penuh determinasi dan kontrol, baik saat menyerang, lebih-lebih lagi ketika bertahan.
Segala cocoklogi yang disebutkan serta menghiasi media sosial tak ubahnya omong kosong dan hiburan receh belaka. The Blues merajai Eropa dengan cara sangat berkelas.