Pengalaman Mengikuti Kursus Pelatih Sepakbola

Sebuah kiriman berupa flyer masuk ke grup WhatsApp. Tulisan besar “Filosofi Sepakbola Indonesia (Filanesia)”, “D-License PSSI” serta foto Iwan Setiawan tampak di sana. Saya menggeser flyer, tampak logo PSSI dengan tulisan kursus pelatih di bawahnya.

“Menarik,” gumam saya dalam hati.

Di bawahnya lagi berisi informasi waktu pelaksanaan kursus diapit tulisan Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Aceh dan logo Patriot FC.

Saya memperhatikan item persyaratan pendaftaran. Ada satu yang belum bisa saya penuhi yaitu surat rekomendasi dari SSB/Klub/Askot/Askab/Asprov.

“Dari mana saya bisa memperoleh surat tersebut karena saya bukan pelatih?”.

Pertanyaan itu terus beranak-pinak di kepala. Bermain sepakbola pun terakhir saya lakukan semasa SMA dua dekade lalu.

Kendati tidak lagi aktif tapi saya sangat menggandrungi permainan ini. Sejak kecil, saban pekan dari sore hingga malam, siaran langsung Liga Indonesia sampai liga-liga Eropa tidak pernah saya lewatkan.

Jangankan pertandingan liga, laga antarkampung (tarkam) pun saya tonton dengan perasaan antusias.

Sepakbola adalah kegairahan, konon lagi jika menonton langsung di lapangan. Pemandangan lapangan luas menyegarkan pikiran.

Suasana riuh membuat saya seperti menemukan semangat baru untuk memulai kehidupan di hari yang akan datang.

Kadung terbakar motivasi tinggi, saya menelepon nomor kontak dan terhubung dengan Pak Rabu Juli yang juga Presiden Patriot FC.

Beliau merespons sembari bertanya apakah saya dari Sekolah Sepakbola (SSB).

“Saya akademisi pak, belum pernah melatih,” sahut saya tegas.

“Untuk mengikuti kursus ini tidak harus memiliki pengalaman melatih. Cukup bisa bermain bola saja. Untuk surat rekomendasi bisa dari Wakil Rektor atau Wakil Dekan bidang kemahasiswaan,” sambung beliau.

Saya pun menghadap bapak Wakil Dekan bernama Dr. Zulkarnain Jalil. Beliau adalah kontributor salah satu media di Aceh kala meliput langsung perhelatan Piala Dunia di Jerman dan Afrika Selatan.

Beliau mengamanahkan tim sepakbola fakultas selepas kursus. Akhirnya, surat rekomendasi berhasil saya genggam.

Kursus diselenggarakan di aula SMP Muhammadiyah, kota Panton Labu (300 km ke arah tenggara dari kota Banda Aceh).

Instruktur kami sapa dengan panggilan Coach Iwan. Beliau didampingi Coach Ajuran yang juga pelatih kepala Patriot FC.

Coach Ajuran baru saja menyelesaikan lisensi B AFC. Patriot FC adalah salah satu kontestan Liga 3 Aceh yang juga menaungi sebuah SSB di Panton Labu.

Ada 20 peserta dari berbagai daerah di Aceh dan Medan. Saya dipercaya sebagai ketua kelas yang bertugas sebagai penghubung antara instruktur dan peserta, terutama keseragaman pakaian baik di kelas maupun praktik lapang.

BACA JUGA:  Thiago Alcantara: Metamorfosis Sempurna di Sabener Starsse

Tiga kata pertama dalam sepakbola adalah fisik, taktik dan mental. Coach Iwan menyertakan sebuah ungkapan untuk membangkitkan semangat belajar kami.

Hal yang sama beliau lakukan ketika melatih guna membangkitkan mental bertanding pemain. Musim 2019 beliau melatih Persidi dan nyaris meloloskan klub asal Aceh Timur itu ke Liga 2.

Filanesia menjadi materi kami selama kursus. Pagi hari kami belajar teori. Pukul 15.00 kami melangsungkan praktik melatih yang seyogyanya diberikan kepada anak-anak SSB.

Berhubung sedang pandemi Covid-19, kami mempraktikkannya ke sesama calon pelatih ini. Praktek bertempat di Stadion Rawang Itek.

Coach Iwan mengatakan kami mesti bersyukur mendapatkan materi yang menurut beliau advance (lanjutan) untuk lisensi D yang berfokus pada pengembangan sepakbola di level grassroots (akar rumput).

Beliau berpendapat, Filanesia telah menyertakan pemahaman taktikal.

“Usai kursus kalian bisa menangani tim Liga 3,” ujar beliau.

Akan tetapi, pengembangan sepakbola usia dini tetap menjadi tanggung jawab kita bersama. Saya sependapat bahkan anak-anak SSB sebaiknya mendapat gemblengan dari pelatih berlisensi A AFC.

Tahun 2021, PSSI mensyaratkan minimal lisensi C AFC untuk dapat melatih di level grassroots dengan anak-anak berusia 6-9 tahun.

Filanesia mengacu pada pakem permainan 4-3-3. Ini adalah formasi belajar. Kenapa 4-3-3? Sepakbola modern mengandalkan penguasaan bola dan Indonesia perlu mencoba pakem ini untuk mengembangkan sepakbolanya.

Formasi 4-3-3 menciptakan banyak bentuk segitiga dan diamond (berlian) dari pemososian diri para pemain yang bermanfaat untuk menyediakan opsi operan sehingga sirkulasi bola lancar.

Saat bertahan, segitiga-segitiga itu menjadi compact (rapat) dan solid. Saat menyerang, pakem ini membentuk geometri melebar.

Filanesia disusun berdasarkan kelebihan orang-orang Indonesia yang cepat, lincah dan unggul dalam duel satu lawan satu.

Kursus berbasis partisipasi kelas. Peserta dibagi menjadi lima kelompok. Usai pemaparan materi, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi kelompok dan penjelasan di depan kelas.

Untuk memantik diskusi, instruktur mengatakan sepakbola olahraga dinamis sehingga tidak ada yang salah dalam sepakbola.

Coach Iwan adalah instruktur dengan komunikasi verbal yang bagus. Tulisan tangan terangkai rapi di papan tulis. Materi disampaikan secara terstruktur diselingi pengalaman beliau selama melatih.

BACA JUGA:  Cara Orang Thailand Memandang Sepakbola Indonesia

Tidak bosan menyimak kuliah sepakbola dari beliau. Ia mengantongi lisensi KNVB (PSSI-nya Belanda) dan AFC Pro serta pernah mengarsiteki Timnas Junior, Persiraja, Persija, Persebaya, Borneo FC dan kini Persela.

Beliau kerap mengorbitkan pemain-pemain muda dalam tim yang diasuhnya, seperti Andritany, Ramdani Lestaluhu, Irfan Jaya, Rachmat Irianto, Miswar Saputra, Terens Puhiri dan lain-lain.

Ketika sesi praktik, juru taktik asal Sabang ini memperhatikan detail persiapan latihan. Dari susunan cone di lapangan, ikut menulis coaching points yang terlewati hingga terjun langsung memperbaiki praktik.

Saya teringat ketika kami latihan defense (bertahan). Beliau berteriak agar kami tetap compact (rapat).

Dirasa tidak sesuai, beliau menghentikan sesi latihan dan berlari ke tengah lapangan guna memperbaiki satu per satu posisi pemain. Beliau ahli strategi bertahan dan memanfaatkan serangan balik, jadi beliau mengenal baik taktikal ini.

Sepakbola adalah bertahan, menyerang dan transisi. Merujuk kurikulum Filanesia, kami melahap materi ini selama enam hari.

Teknik dasar mencakup passing, dribbling, shooting, heading termasuk menu praktik hingga pukul 18.00 di Rawang Itek.

Praktik terdiri dari organisasi berupa perlengkapan latihan, motor skill berupa latihan koordinasi dan kelincahan.

Struktur latihan meliputi pengantar skill yaitu latihan tanpa lawan serta komponen skill yakni latihan dengan lawan diakhiri dengan game. Latihan dirancang menyerupai situasi pertandingan.

Saya menemukan banyak terminologi asing dalam sepakbola. Saat mulai melatih saya baru paham makna istilah-istilah tersebut.

Coach Iwan menyarankan saya mendalami analisis video karena dibutuhkan pelatih baik untuk evaluasi tim maupun analisis kelebihan dan kekurangan lawan.

Saya juga menyenangi pemanfaatan data-data karena sepakbola menjadi objektif lewat pendekatan statistik.

Beliau mendorong saya untuk mengikuti kursus lisensi lanjutan. Beliau mencontohkan beberapa pelatih sukses Eropa yang bukan berasal dari pemain.

Menurut beliau, tipe pelatih seperti ini bisa sukses karena tipikal pelatih pembelajar. Mereka tidak sungkan untuk terus belajar mengikuti perkembangan sepakbola.

Berbeda dengan pelatih yang asalnya pemain. Merasa cukup dengan pengalaman semasa bermain, tidak jarang kita temukan mantan pemain yang gagal ketika melatih.

Pesan yang bagus bagi kita dari kalangan umum untuk berkecimpung dalam dunia kepelatihan sepakbola.

Ada ungkapan best player datang dari best coach. Jadi, ayo ikut kursus kepelatihan untuk kejayaan sepakbola Indonesia.

Komentar
Pemerhati sepakbola nasional yang tinggal di Aceh. Bisa disapa di akun twitter @YopiIlhamsyah