Vicente del Bosque, Real Madrid, dan The Montreal Screwjob

Dunia persepakbolaan baru saja ditinggal oleh salah satu sosok terbaik yang pernah berkecimpung di dalamnya. Usai gagal di dua turnamen terakhir bersama tim nasional Spanyol, pelatih kawakan Vicente del Bosque akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari sepak bola.

Bersama La Furia Roja, Del Bosque berhasil mengawinkan gelar juara dunia dan Eropa. Dua gelar ini membuat pria kelahiran Salamanca dinobatkan menjadi pelatih tersukses timnas Spanyol sepanjang sejarah.

Meski terkesan gemerlap, akhir karier Del Bosque di timnas sebenarnya diwarnai beberapa hal tak mengenakkan.

Satu hal yang paling menyita perhatian tentu pernyataan sang pelatih mengenai penjaga gawang legendaris, Iker Casillas. Menurut Del Bosque, Casillas – yang tak lagi menjadi kiper utama pada Euro 2016 lalu – merupakan sosok dengan ego yang sangat besar.

Selain pernyataannya soal San Iker, momen-momen terakhir Vicente del Bosque juga diwarnai dengan hujan kritik yang disebabkan oleh keputusannya untuk tidak memberi kesempatan bagi beberapa pemain muda Spanyol.

Koke Resurreccion Merodio dan Thiago Alcantara nyaris tak mendapat menit bermain pada turnamen lalu, sementara Saul Niguez serta Isco Alarcon justru tak dibawa sama sekali.

Cesc Fabregas yang tak tampil bagus bersama Chelsea musim lalu justru masih menjadi andalan. Singkatnya, publik kemudian menganggap bahwa del Bosque kolot dan/atau sudah kehilangan sentuhan.

Terdengar tidak menyenangkan? Jelas. Akan tetapi, Vicente del Bosque sesungguhnya pernah mengalami akhir masa kepelatihan yang lebih tidak mengenakkan, yakni ketika ia ditendang dari Real Madrid pada 2003.

Ketika itu, Florentino Perez yang sedang berusaha membangun Era Galacticos pertamanya, memutuskan bahwa Del Bosque, sosok yang pernah membela Real Madrid sebagai pemain selama 16 tahun, tidak masuk ke dalam rencana masa depan.

Keputusan Real Madrid untuk menendang Del Bosque ini sering dianggap sebagai salah satu perlakukan terburuk yang pernah diterima seorang pelatih di sebuah tim.

Bagaimana tidak? Sejak mulai menangani tim senior Real Madrid pada 1999, mantan gelandang bertahan ini mampu mempersembahkan dua gelar liga, satu gelar Piala Super Spanyol, satu trofi Piala Super UEFA, satu trofi Piala Interkontinental (sekarang Piala Dunia Antarklub), dan yang terpenting, dua gelar Liga Champions.

Pelatih Real Madrid yang lebih sukses dibanding Del Bosque barangkali hanya Miguel Munoz, di mana Del Bosque juga pernah menjadi bagian dari skuatnya.

Secara teknis, Real Madrid memang tidak memecat Del Bosque, melainkan tidak memperpanjang kontrak sang pelatih. Tapi, klub waras mana yang rela melepas pelatih dengan kredibilitas seperti Del Bosque? Oleh karena itu, tidak diperpanjangnya kontrak pria berkumis ini sama artinya dengan pemecatan.

Keputusan untuk tidak memperpanjang kontrak Del Bosque ini terjadi hanya sehari setelah ia memberikan gelar liga ke-29 untuk Los Blancos, dan seminggu setelah klub resmi mendatangkan megabintang bernama David Beckham. Masalah transfer ini konon merupakan penyebab utama dari pemberhentian Del Bosque.

Secara resmi, Era Galacticos memang dimulai sejak Luis Figo didatangkan dari Barcelona. Namun, munculnya era ini baru benar-benar sah ketika David Beckham didaratkan dari Manchester United. Dalam kebijakan transfer ini, Del Bosque sama sekali tidak dilibatkan baik oleh Florentino Perez, maupun oleh sang general manager, Jorge Valdano.

Sang pelatih pun sebenarnya tidak pernah memprotes kebijakan transfer ini dan sebenarnya justru sudah terbukti mampu meredam ego pemain-pemain bintang yang sudah ada.

Pada akhirnya, Del Bosque memang “hanya” seorang pelatih yang tak memiliki kuasa soal mau ke mana klub dibawa. Del Bosque pun akhirnya angkat kaki dan baru bisa menunjukkan kembali kehebatannya sebagai pelatih bersama timnas Spanyol bertahun-tahun kemudian.

Apa yang terjadi dengan Vicente del Bosque di Real Madrid ini jelas bukan hal pertama yang terjadi di dunia olahraga. Salah satu kisah paling terkenal soal perlakuan tidak adil ini pernah terjadi di gulat profesional enam tahun sebelumnya.

BACA JUGA:  Real Madrid Mencari Jenderal Baru di Lini Belakang

Pada pertengahan 1990-an, World Wrestling Federation (WWF) sedang mengalami kesulitan finansial, terutama dengan meroketnya popularitas World Championship Wrestling (WCW). Jika masih ada yang ingat, di Indonesia, WCW justru lebih dahulu ditayangkan daripada WWF.

Roster WCW saat itu pun diisi oleh pegulat-pegulat terbaik seperti Hulk Hogan, Goldberg, Ric Flair, Eddie Guerrero, Sting, Macho Man, The Giant (sekarang dikenal dengan nama Big Show), hingga Chris Jericho, Steve Austin (Stone Cold), dan Rey Mysterio.

Di tengah seretnya keuangan WWF dan meroketnya WCW, salah satu pegulat WWF terbaik sepanjang masa, Bret “The Hitman” Hart pun kemudian digoda oleh WCW untuk berpindah kubu.

Hart sendiri – yang berasal dari dinasti gulat terkenal – sudah berada di WWF sejak 1985 dan sejak saat itu, 11 gelar (termasuk lima gelar World Heavyweight Championship yang merupakan gelar paling bergengsi) berhasil ia kumpulkan.

Di tengah situasi finansial yang sulit tersebut, bos WWF, Vince McMahon berencana untuk mengubah WWF menjadi perusahaan publik dan oleh sebab itu, maka pengetatan anggaran – terutama soal kontrak berdurasi panjang – harus dilakukan.

Meski begitu, McMahon tetap tak ingin kehilangan bintang terbesarnya. Bret Hart yang pada 1996 sudah menolak tawaran kontrak 2,8 juta dolar per tahun dari WCW berhasil dibujuk untuk terus tampil bersama WWF.

Namun pada akhir 1997, situasi keuangan WWF semakin memburuk dan bayaran yang diterima Bret Hart pun dipotong. Sebenarnya, Hart pun tidak keberatan karena McMahon sudah bicara terus terang kepadanya.

Dalam pembicaraan yang sama, McMahon juga mengatakan kepada Hart bahwa ia memiliki barisan calon bintang yang siap diorbitkan pada era berikut seperti The Undertaker dan D-Generation X. Hart pun disarankan oleh McMahon untuk mempertimbangkan lagi jika ada tawaran baru dari WCW.

Hart akhirnya menerima tawaran dari WCW setelah memutuskan bahwa ia tak memiliki tempat lagi di WWF. Selain karena masalah uang, ketidakcocokkan Hart terhadap Attitude Era dan karakter yang harus ia mainkan di pengujung kontrak tersebut membuat hatinya mantap untuk menyeberang ke perusahaan rival.

McMahon pun sudah bersedia menerima keputusan sang megabintang. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal. Saat itu, Bret Hart merupakan juara World Heavyweight Championship dan McMahon tidak ingin Hart menyeberang ke WCW sebagai juara WWF.

Alhasil, diaturlah kemudian sebuah pertandingan di mana Bret Hart akan bertanding melawan Shawn Michaels di Survivor Series Montreal 1997. Di sinilah kejadian yang kemudian dikenal dengan sebutan The Montreal Screwjob berawal.

Dalam gulat profesional seperti WWE, memang ada jalan cerita dan gimmick yang harus dimainkan oleh masing-masing pegulat. Boleh dibilang, 90% dari apa yang terjadi di dunia gulat profesional adalah hasil rekayasa. Akan tetapi, nyatanya memang tidak sesederhana itu.

Adegan yang direkayasa pun kemudian bisa salah dilakukan dan berujung pada cedera parah, seperti cedera leher yang dialami Stone Cold Steve Austin kala melawan adik Bret Hart, Owen. Cedera leher ini bahkan menjadi penyebab utama pensiunnya Austin dari dunia gulat pro pada 2003.

Nah, begitu pun soal rivalitas. Hampir semua rivalitas di gulat profesional pun direkayasa. Itulah mengapa terkesan mudah sekali bagi seorang pegulat untuk bermusuhan dengan pegulat lainnya, namun kemudian tiba-tiba mereka jadi kawan. The Rock (Dwayne Johnson) dan Stone Cold Steve Austin seringkali terlibat dalam hal macam ini.

Namun tidak demikian halnya dengan Bret Hart dan Shawn Michaels, di mana pada kehidupan nyata, dua pegulat ini saling benci satu sama lain. Penyebabnya pun bermacam-macam, mulai dari berebut wanita sampai perkara nasionalisme (Shawn Michaels sering menghina negara asal Hart, Kanada).

BACA JUGA:  Cinta Untuk Chapecoense

Ketika diumumkan bahwa lawan yang dihadapi Hart pada laga pamungkasnya bersama WWF adalah Shawn Michaels, ada semacam keengganan dalam diri Hart untuk melepas titel ke tangan Michaels.

Rivalitas nyata antara Hart dan Michaels ini pun membuat McMahon waswas. Hart sendiri sudah menawarkan diri agar ia tidak kehilangan titel di depan publiknya sendiri, apalagi ke tangan Michaels. Hart bahkan rela untuk melepas titel sebelum Survivor Series tanggal 9 November 1997 di Amerika Serikat.

Namun, mengingat Survivor Series merupakan salah satu event besar, pertaruhan finansial untuk WWF pun menjadi lebih tinggi. Setelah melalui negosiasi panjang, akhirnya disetujui bahwa pertarungan antara Hart dan Michaels diakhiri dengan diskualifikasi dengan cara menerjunkan pegulat-pegulat lain untuk memulai tawuran.

Dengan tidak adanya pemenang, maka Hart bisa melepas titel setelah Survivor Series karena kontraknya bersama WCW baru mulai pada 5 Desember 1997.

Selesai perkara? Tunggu dulu.

Meski telah diambil jalan tengah untuk mengakhiri laga antara Hart dan Michaels, McMahon tetap khawatir.

Faktor emosional yang besar membuat Hart rentan untuk mbalelo dan pada akhirnya tetap enggan melepas titel. Hal inilah yang kemudian membuat McMahon mencari jalan lain agar entah bagaimana caranya, titel Hart harus lepas ke tangan Michaels.

Tanpa sepengetahuan kedua pegulat, McMahon pun berkolusi dengan wasit Earl Hebner yang memimpin pertarungan tersebut.

Hebner diperintah McMahon, pokoknya nanti ketika Michaels sedang menyerang Hart dengan teknik kuncian andalan Hart, Sharpshooter (yang menjadi bagian dari jalan cerita), Hebner harus segera mengakhiri laga untuk kemenangan Michaels.

Benar saja.

Hebner pun kemudian mengakhiri laga ketika Michaels sedang mengunci Hart dengan kuncian Sharpshooter, padahal Hart belum menyatakan menyerah. Michaels pun tampak bingung ketika Hebner mengakhiri pertandingan, dan Hart pun murka.

Vince McMahon yang berada di sisi ring diludahi oleh Hart. Karier Hart selama belasan tahun di WWF pun harus berakhir dengan pengkhianatan oleh bosnya sendiri.

Hart sendiri hanya bertahan selama tiga tahun di WCW sebelum pensiun pada tahun 2000 menyusul gegar otak yang dideritanya pada 1999. Sementara itu, The Montreal Screwjob seakan mengantarkan WWF menuju era baru di mana mereka kemudian tak tertandingi lagi dalam urusan gulat profesional.

Dengan Attitude Era yang digawangi pegulat-pegulat The Rock, Stone Cold, Triple H, Shawn Michaels, Hardy Boyz, dan The Undertaker, WWF semakin berani memunculkan berbagai gimmick kontroversial.

Upaya ini berhasil dan menjadikan era ini sebagai era tersukses WWF setelah Golden Age pada 1980-an. WCW sendiri pun kemudian gagal bersaing dengan WWF Galacticos ini hingga akhirnya justru diakusisi oleh WWF.

Pada akhirnya, apa yang dialami Bret Hart dan Vicente del Bosque memang tidak sama persis. Akan tetapi, sulit untuk tidak melihat adanya kesamaan. Kedua orang ini, pada akhir perjalanan mereka di WWF dan Real Madrid, sama-sama tidak dimasukkan ke dalam rencana masa depan perusahaan dan ditendang dengan tidak hormat.

Namun, jika WWF kemudian bangkit dengan era baru mereka, Real Madrid justru kemudian kesulitan dengan para galactico­-nya. Lalu kemudian, hingga 2016 lalu, del Bosque tampak masih kesal dengan Real Madrid, Bret Hart dan WWE (nama baru WWF) kemudian justru berhasil mengubur dendam.

Pada 2006, Hart dimasukkan oleh WWE ke dalam Hall of Fame mereka dan sempat terlibat sebagai general manager pada 2010. Hingga tiga tahun lalu, Hart pun masih sesekali tampil di acara-acara WWE dan masih mendapat sambutan meriah di setiap kemunculannya.

Hmm, jadi kira-kira mana yang lebih parah? Perlakuan Florentino Perez kepada Vicente del Bosque atau perlakuan Vince McMahon terhadap Bret Hart?

 

Komentar
Punya fetish pada gelandang bertahan, penggemar calcio, dan (mencoba untuk jadi) storyteller yang baik. Juga menggemari musik, film, dan makanan enak.