Surabaya dan Indonesia

Pada suatu kesempatan, Budayawan Emha Ainun Najib atau yang sering disapa Cak Nun pernah berkata bahwa Arek-Arek Suroboyo adalah salah satu barometer peradaban yang mampu mengubah dunia.

Terkhusus dalam hal sepakbola, Surabaya memiliki tim besar yang kita kenal dengan nama Persebaya.

Tidak bisa dipungkiri loyalitas Arek-Arek Suroboyo begitu luar biasa untuk klub asal kota mereka tersebut.

Green Force, salah satu julukan Persebaya, merupakan manifestasi simbol kebanggaan, persaudaraan, bahkan way of life bagi mereka.

Bahkan tidak hanya Arek-Arek Suroboyo yang ikut mengamini dan meyakini hal di atas. Persebaya juga menjadi pengejawantahan kebanggaan masyarakat Jawa Timur, bahkan Indonesia.

Kota Surabaya memiliki peran yang sangat penting terhadap perkembangan sepakbola Indonesia.

Pada tahun 1927, Persebaya lahir dengan nama Soerabajasche Indische Voetbal Bond (SIVB), yang menjadi wadah bagi masyarakat kota Pahlawan yang mau bermain sepakbola saat itu.

Selain itu, SIVB merupakan salah satu dari tujuh klub yang ikut menginisiasi lahirnya induk organisasi sepakbola Indonesia yaitu PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) pada tahun 1930 silam.

PSSI disepakati berdiri sebagai manifestasi semangat sumpah pemuda, serta sebagai alat perjuangan bangsa khususnya dalam bidang sepakbola.

Apabila disimpulkan, Surabaya dan Indonesia menjadi satu kesatuan yang komprehensif serta memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan dalam ranah sepakbola.

Melihat sejarah panjang persepakbolaan Indonesia. Surabaya menjadi kota yang memiliki kultur sepakbola yang sangat kuat.

Di era Perserikatan maupun Galatama, terdapat 3 klub besar yang bermarkas di Surabaya. Mereka adalah Persebaya, NIAC Mitra, dan Assyabaab.

Jika sejarah Persebaya begitu gemilang sejak era Perserikatan. Maka begitu juga dengan NIAC Mitra dan Assyabaab.

NIAC Mitra atau New International Amusement Center merupakan salah satu klub yang cukup ditakuti pada era Galatama.

BACA JUGA:  Timnas Indonesia dan Kewajiban Bela Negara

Hal ini terbukti dengan tiga kali berhasil menjuarai Galatama yaitu pada musim 1981/82, 1982/83, dan 1986/87.

Pemain andalan NIAC Mitra yang paling dikagumi saat itu adalah Fandi Ahmad dan David Lee (Singapura).

Bahkan pada tahun 1983, NIAC Mitra pernah bertanding melawan Arsenal di Stadion Gelora 10 November. Hebatnya, The Gunners dipaksa bertekuk lutut dengan skor 0-2.

NIAC Mitra sendiri adalah klub milik salah satu pengusaha bioskop yang bernama Alexander Wenas. Sayangnya, pada tahun 1991 sang pemilik klub memilih untuk membubarkannya.

Penyebabnya adalah aturan-aturan liga yang semakin ketat dan dinilai merugikan klub sehingga membuatnya rugi.

NIAC Mitra kemudian diakusisi oleh pengusaha bernama H. Sulaiman HB pada tahun 1999 lalu bersalin rupa menjadi Mitra Kalteng Putra yang berkandang di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Kesulitan finansial yang mendera lantas mendorong H. Sulaiman HB untuk melepas klub ke Kutai Kartanegara dan menjadi Mitra Kutai Kartanegara dan bermarkas di Tenggarong, Kalimantan Timur, per tahun 2005.

Sementara Assyabaab merupakan klub sepakbola yang didirikan oleh orang-orang keturunan Arab yang ada di Surabaya. Tepatnya di wilayah Ampel.

Yislam Murtak, Salim Barmen, Mohammad bin Said Martak, dan Mohammad Bahalmar, menidirikan Assyabaab sebagai perhimpunan olahraga yang bertujuan untuk menunjukan eksistensi masyarakat keturunan Arab di bidang sepakbola.

Pada era Galatama yang dimulai musim 1979/1980, Assyabaab turut serta ambil bagian.

Tahun 1990, Assyabaab berhasil menjadi kampiun Galatama. Prestasi tersebut membuat perusahaan Salim Grup tertarik datang untuk menjadi sponsor utama pada tahun 1991. Selanjutnya nama klub berubah menjadi Assyabaab Salim Group.

Eksistensi mereka terjaga sampai peleburan kompetisi Perserikatan dan Galatama. Nahas, pada Liga Indonesia 1996/1997, Assyabaab harus terdegradasi.

Tak lama berselang, mereka menyatakan diri bubar sebab Salim Group bangkrut gara-gara krisis moneter yang terjadi di Indonesia.

BACA JUGA:  Euforia Liverpool dan Harapan untuk Timnas Indonesia

Walau bubar sebagai klub profesional, Assyabaab masih eksis sampai hari ini sebagai tim amatir dan menjadi kesebelasan internal Persebaya.

Meski kini cuma menyisakan Persebaya sebagai klub yang eksis di kota Pahlawan dalam kasta tertinggi sepakbola Indonesia, Surabaya secara konsisten terus membuktikan diri sebagai tempat lahirnya banyak pesepakbola hebat.

Green Force sendiri begitu istiqomah melahirkan pemain kelas atas nasional. Cakupannya adalah sejak era 1970-an.

Pada periode 1970-an, lahir nama-nama seperti Riono Asnan, Rudy W. Keltjes yang ditakuti lawan pada saat itu.

Lanjut pada periode 1980-an, giliran Subangkit, Ibnu Grahan, Mustaqim, serta Yusuf Ekodono yang melesat.

Kemudian di era 1990-an, ada Hendro Kartiko, Aji Santoso, Anang Ma’ruf, Mat Halil, Mursyid Efendi, Bejo Sugiantoro, hingga Uston Nawawi yang begitu dikagumi.

Sementara era 2000-an menjadi momen bagi generasi Andik Vermansah, M. Taufiq, Endra Prasetya, dan Rendi Irwan.

Nama-nama di atas juga kerap menjadi anggota Tim Nasional Indonesia saat mengarungi sebuah kejuaraan.

Selain itu, pembinaan pemain usia muda di internal Persebaya perlu kita akui dan apresiasi secara khusus. Kompetisi ini sanggup bertransformasi menjadi kawah candradimuka yang melahirkan embrio hebat pesepakbola masa depan Indonesia.

Dari sanalah kita mengenal pemain yang sering mengenakan baju Timnas Indonesia pada era sekarang.

Evan Dimas Darmono, Hansamu Yama Pranata, Satria Tama, Koko Ari Araya, Muhammad Supriadi, Rizky Ridho, Rachmat Irianto adalah beberapa sosok yang tumbuh dan berkembang melalui kompetisi internal Persebaya.

Melihat konsistensi kompetisi tersebut, tak perlu kaget kalau di masa depan, ada banyak lagi alumninya yang menjadi pesepakbola profesional serta memperkuat Timnas Indonesia.

Komentar
Penggemar Juventus dan Persela. Bisa disapa di akun Twitter @hrygtma