Awas Bubble Sepak Bola Cina

Carilah uang hingga ke negeri Cina. Pepatah itu sekarang mungkin yang ada di kepala pemain-pemain Liga Eropa yang bakalan merumput di Liga Super Cina.

Sebut saja, Ramires, gelandang asal Brasil yang bermain di Chelsea ini dibeli Jiangsu Suning. Ramires pindah dengan mahar 28 juta euro atau sekitar Rp 417 miliar.

Selain Ramires, pemain top lainnya yang menghebohkan jagad dunia juga adalah Gervinho. Pemain yang sempat merumput di Arsenal dan AS Roma ini direkrut Hebei China Fortune dengan nilai 15 juta euro.

Ada juga Jackson Martinez direkrut Guangzhou Evergrande dengan nilai hingga 42 juta euro. Nama-nama lain yang ikut menyemarakan bursa transfer fenomenal Liga China adalah Fredy Guarin di Shanghai Shenhua bersama Tim Cahill dan Demba Ba. Sementara Asamoah Gyan hijrah ke Shanghai SIPG dan Renato Augusto berlabuh di Beijing Guoan.

Yang terbaru Alex Teixeira dari Shakhtar Donetsk memilih 50 juta euro tawaran dari Jiangsu Suning dibandingkan merumput bersama Liverpool. Ada beberapa nama top Liga Eropa lainnya yang dihubungkan dengan Liga Cina.

Media Spanyol juga menyebut Fernando Torres, Gabi dan Tiago Mendes disebut-sebut mau mencicipi duit ala Tiongkok.

Apa yang dilakukan klub sepak bola Cina memang sedang menghebohkan dunia. Namun mengalir derasnya duit asal negeri Tiongkok itu bukan pertanda bagus untuk sepak bola Cina dan Asia. Menurut saya, itu hanya pertanda bagus untuk pemain-pemain top Eropa saja agar bisa mengantongi uang lebih banyak lagi.

Karena apa? Ternyata Cina tidak hanya menghebohkan soal sepak bola saja. Kondisi ekonomi Cina juga sedang mencuri perhatian dunia. Cek saja di google, tulis Ekonomi Cina, maka Anda akan menemukan segudang masalah di perekonomian negeri Tirai Bambu itu.

BACA JUGA:  Narco-Soccer di Meksiko

Cina sedang berurusan dengan nilai tukar mata uangnya yang jatuh, pasar saham sangat fluktuatif dan margin perusahaan yang menipis untuk menggerakkan pertumbuhan negaranya. Laporan terakhir Ekonomi Cina hanya tumbuh 6,8 persen pada kuartal IV-2015.

Setelah menjadi lokomotif utama pertumbuhan global dalam beberapa tahun terakhir, Tiongkok terkunci di tengah perlambatan berlarut-larut, terbebani oleh ekspor yang lemah, pabrik yang kelebihan kapasitas, investasi yang melambat, dan pasar properti lembut dan tingkat utang yang tinggi.

Kondisi ini banyak memengaruhi ekonomi negara lain termasuk Indonesia. Cina menjadi salah satu negara sasaran ekspor Indonesia. Semakin melambatnya perekonomian Cina, maka ekspor Indonesia akan menurun. Itu artinya, Ekonomi Indonesia pun bisa melambat.

Balik lagi ke sepak bola. Kondisi ekonomi Cina yang sedang melambat memang membuat saya bertanya-tanya mengapa duit untuk sepak bola begitu mengalir deras.

Positifnya memang sepak bola bisa menggerakan ekonomi. Mulai dari kunjungan penonton, sponsorship, hingga penjualan merchandise dan lain-lain. Negatifnya, mungkin saja, bombastisnya transfer duit dari negeri Tiongkok ini hanya bertahan sebentar saja.

Jangan sampai kita dengar, kalau klub-klub Tiongkok itu menunggak hutang. Atau malahan klub-klub itu juga tidak bisa membayar gaji pemain. Yang pasti, pemain-pemain top Eropa yang dibayar besar itu masih bisa menikmati Yuan (Reminbi, red.) di negeri Cina. Entah, mereka memikirkan karier sepak bola lagi atau tidak.

Mari kita tunggu kelanjutan sepak bola Cina, apakah ini hanya gelembung sabun (bubble) yang bisa pecah sewaktu-waktu dan membawa kehancuran untuk sepak bola Cina. Atau memang ini langkah bagus buat Tiongkok menguasai sepak bola global.

 

Komentar