Pertandingan Thailand melawan Indonesia (19/11), yang berakhir dengan skor 4-2, meninggalkan beberapa indikasi positif. Selain itu, ada beberapa opsi penyempurnaan terhadap kekurangan yang teridentifikasi.
Pola dasar: keuntungan dan keterbatasan alami
Kiatisuk Senamuang, pelatih Thailand memilih memainkan bentuk dasar 3-2-1-2/5-3-2 menghadapi Indonesia yang turun dengan pola dasar 4-4-2.
Keuntungan memainkan 3 bek tengah menghadapi pola 4-4-2, adalah mendapatkan situasi menang jumlah secara alami di lini pertama. Thailand memperoleh superioritas jumlah 3v2 di sini. Situasi 3v2 sudah jelas memberikan kemudahan dalam melakukan progresi vertikal atau sekadar memainkan sirkulasi horizontal.
Bergeser ke lini tengah, dengan 5 pemain, Thailand bukan hanya menang jumlah di lini ini, yaitu 5 lawan 4. Bahkan, lebih spesifik lagi, tim Gajah Putih juga mendapatkan kentungan yang sama di zona yang lebih krusial, di half-space dan koridor tengah. Dengan, lagi-lagi, situasi menang jumlah 3v2.
Again, kondisi 2v3 di tengah gak pernah di-solved. Salah satu dari Thai No.18/No.21/No.6 selalu free! This time No.18…
— GANESHA PUTERA (@ganeshaputera) November 19, 2016
Cuitan Ganesha Putra soal isu di area tengah gelandang
Masalah di area tengah lini kedua disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, keterlibatan penyerang dalam blok rendah yang sering sangat kurang. Kedua, kurangnya pergeseran horizontal dari kedua gelandang sayap untuk menutup celah di area tengah.
Kurangnya keterlibatan penyerang dan faktor kurang kuatnya compactness horizontal menyebabkan Thailand mendapatkan dua keuntungan strategis, yaitu menang jumlah di area tengah dan terbukanya celah vertikal antara bek dan gelandang.
Pressing dari lini pertama dalam peralihan blok menengah ke blok rendah yang memberikan keuntungan langsung kepada Thailand (kotak hijau) maupun keuntungan potensial (kotak oranye muda).
Salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan Alfre Riedl adalah mengubah bentuk pressing blok rendah menjadi 4-1-4-1 memanfaatkan salah satu penyerang menjadi #8 sekunder.
Ide pertama adalah menghindari kondisi kalah jumlah di lini kedua. Dari ide awal ini, diharapkan salah satu # 8 mendapatkan kesempatan turun ke celah antarlini di depan bek demi memperkuat compactness vertikal.
Perhatikan panah merah dari penyerang dan # 6. Panah-panah tersebut mengindikasikan akses bertahan yang mereka dapatkan ke lini kedua. Melalui akses tersebut, penyerang atau #6 dapat memberikan kesempatan bagi kedua #8 untuk mengakses gelandang sayap dan mencegah Thailand untuk terlalu superior di kedua tepi lapangan.
Isu lain dari pressing adalah sebuah fakta bahwa timnas Indonesia sangat belum terbiasa memainkan pressing yang terstruktur dan terkoordinasi antarindividu.
Salah satu contoh mendasar adalah ketika kedua #6 Thailand yang tadinya berdiri di belakang lini pressing, Boaz Solossa dan Lerby Eliandry mencoba turun ke area yang lebih dalam. Seharusnya, gelandang tengah Indonesia mengikuti keduanya demi mempertahankan akses pressing kepada Thailand.
Ketika momen-momen semacam ini terjadi, sering pressing yang dilakukan kepada #6 Thailand terlihat telat (kurang intensitas). Pada gilirannya, menyebabkan negara yang beribukota di Bangkok ini mendapatkan akses untuk berprogresi.
Di sisi lain, jika intensitas yang dilakukan sudah tepat, covering yang dibutuhkan dari 3 gelandang lain yang tersisa pun terlihat tidak mencukupi. Akibatnya? Compactness horizontal terganggu dan memberikan celah bagi Thailand untuk bergerak di sekitaran koridor tengah.
Pressing vs build-up
Keuntungan-keuntungan alami yang didapatkan Thailand di kedua lini terdepan semakin terasa jika kita melihat dari sudut pandang eksekusi dalam sistem pressing Alfred Riedl.
Dalam pressing-nya, seperti yang sudah-sudah, Riedl memilih tampil dengan blok medium. Pilihan ini logis, mengingat sejak dulu bisa dikatakan timnas Indonesia belum pernah menunjukkan sistem pressing blok tinggi yang terstruktur dan konsisten.
Ini menyebabkan pemain-pemain lebih nyaman untuk segera turun dan merapat ke bawah saat lawan berada dalam fase build-up.
Lini pertama pressing diisi oleh dua pemain. Kali ini, karena Irfan Bachdim harus absen, Lerby Eliandry menemani Boaz Solossa di lini teratas. Pressing keduanya berorientasi pada area #6 lawan yang sekaligus menciptakan cover-shadow terhadap area tengah di depan lini kedua (lini tengah) pressing timnas.
Cover-shadow adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan situasi dalam pressing yang membuat si pemain yang menekan menempatkan pemain lawan atau area terentu di belakang (bayang-bayang) tubuhnya.
Di lini kedua, berdiri Rizky Pora, Andik Vermansyah, Bayu Pradana, dan Stefano Lilipay yang berorientasi kepada half-back (bek tengah tepi), wing-back, dan semua gelandang tengah Thailand.
Merespons gaya pressing Indonesia, ada dua taktik umum yang sering muncul dalam pola progresi bola Thailand. Pertama, memainkan bola dari satu sisi ke sisi lain sambil mencari kesempatan melepaskan third-man pass dari lini pertama ke lini terakhir.
Dalam taktik ini, Thailand mendayagunakan kedua penyerangnya untuk turun ke area #10, terutama ke half-space dan, bila memungkinkan, ke area tengah.
Beberapa kali Thailand mendapatkan kesempatan berprogres dari taktik ini karenakan kedua gelandang tengah Indonesia terikat oleh para gelandang tengah Thailand serta bek tengah yang terkadang telat keluar dari posisinya di lini belakang untuk menutup celah di belakang gelandang.
Bek-bek Indonesia tidak selalu buruk dalam menghadapi situasi serupa. Ada kalanya mereka menemukan timing dan kecepatan yang ideal untuk menutup celah yang dimaksud.
Bahkan, dalam beberapa situasi di babak pertama, bek tengah timnas mampu menempatkan half-press kepada pemain Thailand yang mengokupansi celah antarlini sehingga membatalkan niat pemegang bola terdekat untuk melepaskan umpan ke celah antarlini timnas Indonesia.
Taktik kedua, melepaskan umpan diagonal atau vertikal langsung dari lini pertama ke sisi sayap di sepertiga awal pertahanan Indonesia. Thailand terlihat mencoba melakukan overload terhadap zona target dengan menempatkan salah satu dari #9 atau gelandang tengah dikombinasikan dengan pergerakan vertikal bek sayap sisi bola.
Dalam menghadapi situasi semacam ini, intensitas pressing dari pemain-pemain sayap amat penting. Terlambat sedikit saja bisa memberikan kesempatan kepada lawan untuk menstabilkan sirkulasi. Akibat lebih fatalnya, lawan mendapatkan kesempatan berprogres mendekati gawang atau bahkan menciptakan gol.
Gol kedua Thailand lahir dari situasi-situasi serupa. Pressing yang dilakukan Abduh Lestaluhu sedikit telat. Menyebabkan Thailand mendapatkan kesempatan menciptakan superioritas kualitatif, 2v2 dan memberikan kesempatan berpenetrasi ke kotak 16. Kesempatan semacam ini ditambah blunder yang dilakukan Rudolof Yanto Basna yang membuat Thailand mampu menceploskan gol kedua.
Salah satu skema build-up #thailand vs press blok medium #Indonesiakita . Zona biru = zona target. Area merah = celah dalam blok pressing. pic.twitter.com/sfXNF4RDyh
— Ryan Tank (@ryantank100) November 19, 2016
Salah satu skema build-up Thailand menghadapi pressing blok medium Indonesia. Cover shadow ditunjukan bentuk segitiga berwarna hitam dari salah satu penyerang timnas.
Selain penyerang yang ikut bergerak melebar, para gelandang tengah Thailand terlihat sangat familir ketika bergerak vertikal atau diagonal demi mendukung progresi dari tepi lapangan ke area tengah atau sekadar membantu menciptakan kesempatan umpan silang dari luar kotak 16.
Bagaimana dengan pressing Thailand sendiri?
Dalam fase tanpa bola, Thailand mendapatkan beberapa keuntungan dari skema build-up Indonesia. Seperti yang kerap terlihat, Indonesia mendayagunakan bola-bola panjang melambung dari Kurnia Meiga, kiper, langsung ke lini depan. Masalah teridentifikasi di sini.
Seperti yang disebutkan Qo’id Noval dalam presentasinya, permasalahan bola-bola melambung yang dilakukan Indonesia adalah dalam perencanaan. Dari struktur yang ditampilkan ketika Kurnia Meiga melepaskan umpan jauh ke depan, tidak terlihat adanya usaha untuk menciptakan akses pressing demi gegenpressing yang stabil dalam usaha memenangkan perebutan bola kedua, misalnya.
Spacing (okupansi zona strategis dalam jarak yang terjaga) yang lemah menyebabkan Thailand sering memenangi bola kedua dari situasi-situasi serupa.
Sebagai perbandingan, Anda bisa melihat bagaimana Roger Schmidt memainkan zugriffserzeugend (menciptakan akses melalui bola kedua) di bawah ini.
Positifnya, dari apa yang ditampilkan timnas versi Riedl, sudah mulai terlihat usaha melatih dan mempraktikkan sistem pressing yang terstruktur. Walaupun banyak celah yang berpotensi dieksploitasi lawan, tetapi blok menengah timnas sudah memperlihatkan prinsip dasar tentang bagaimana memblokir akses lawan ke area tengah dan half-space.
Isu taktikal bagi kedua tim
Pemain-pemain Indonesia biasanya dikenal dengan kecepatan dan kepercayaan diri untuk melewati lawan dalam situasi 1v1. Boaz dan Andik memiliki kemampuan ini. Bagusnya bagi tim, kemampuan mereka ini sering mampu menciptakan situasi-situasi menjanjikan dalam usaha penetrasi ke kotak penalti lawan.
Namun, bila diperhatikan lebih jauh. Sering kali pergerakan keduanya kurang didukung struktur yang dibutuhkan demi menghindari situasi underload (kebalikan overload berlebih).
Sering terlihat, ketika misalnya, Andik melakukan penetrasi dari sayap, ia dijepit lebih dari 1 pemain yang, selain menyulitkan usaha penetrasi vertikal juga membuat kemungkinan-kemungkinan peralihan horizontal/diagonal ke koridor half-space atau tengah menjadi sangat lemah.
Demi memaksimalkan kecepatan dan kemauan mengolah bola, salah satu opsi yang bisa diambil Riedl adalah membiasakan pemain menciptakan overload demi mendapatkan kesempatan melakukan 3rd man running. Andik Vermansyah, Boaz Salossa, atau Zulham Zamrun merupakan contoh pemain dengan profil yang ideal dalam mempraktikan 3rd man run.
Dari Thailand sendiri, salah satu isu utama adalah pola 3 bek tengah yang mereka terapkan itu sendiri. Beberapa kali terlihat celah yang dapat dieksploitasi oleh pemain-pemain Indonesia, baik di half-space maupun di sayap.
Salah satu momen terbaik adalah di sekitar menit ke-3 babak kedua. Thailand melakukan pressing blok tinggi di tepi kanan Indonesia menggunakan 3 pemain depan. Pressing ini termasuk bagus untuk memaksa lawan membuang bola dengan segera. Tetapi, spacing dan bentuk yang tercipta di area 8 dan 10 membuat Indonesia dapat memainkan dua umpan diagonal yang melewati pressing Thailand.
Indonesia berprogresi dan dengan memanfaatkan blind-side run oleh Boaz Solossa, Indonesia mendapatkan kesempatan masuk ke kotak 16. Sayangnya, eksekusi yang dilakukan gagal.
Meskipun demikian, momen ini merupakan salah satu momen di mana timnas memainkan sepak bola dengan sangat tepat. Ada spacing, staggering, blind-side run, dari fase pertama hingga fase eksekusi.
Pola 5-3-2 Thailand sendiri juga beberapa mengekspos celah antara half-back dan wing-back. Dan, beberapa kali, Boaz Solossa mengokupansi ruang ini untuk kemudian menerima umpan yang dilanjutkan dengan penetrasi ke gawang Thailand.
Yang terakhir, secara umum, usaha kedua tim dalam memenangkan bola kedua terlihat tidak optimum. Akar masalahnya, adalah jarak antarlini yang sering kali terlalu besar menyebabkan pondasi dalam merebut bola kedua terhitung kurang stabil.