Alessio Romagnoli bukanlah pemain yang mudah untuk digocek alias dilewati lawan. Ketenangannya begitu luar biasa melebihi usianya yang belum menginjak seperempat abad. Tanggung jawab besar berupa melingkarnya ban kapten kesebelasan dengan sejarah besar dan ekspektasi besar di lengan telah membuat, atau lebih tepatnya memaksa, Romagnoli untuk sesegera mungkin menemukan kematangan bermain.
Dalam lanjutan laga Serie A musim 2019/2020 antara Juventus dan AC Milan yang berlangsung Senin dini hari kemarin (11/11) waktu Indonesia, Romagnoli begitu disiplin dalam menggalang pertahanan I Rossoneri, setidaknya hingga memasuki menit ke-75.
Tatkala pertahanan kokoh ini akhirnya jebol, tentu ada sosok pembeda yang mampu berpikir di luar kebiasaan dan mengambil keputusan tepat dalam sepersekian detik saja. Dialah Paulo Dybala.
Banyak yang berpendapat bahwa Romagnoli kehilangan konsentrasi saat gol Dybala terjadi. Meski begitu, ia memiliki pembelaan. Romagnoli seperti sengaja melonggarkan penjagaan di sisi kanannya demi menutup sisi kiri yang jadi sisi terkuat Dybala lantaran ia kidal.
Sebuah keputusan yang rasanya secara naluriah akan diambil oleh para bek yang melakukan penjagaan terhadap penyerang lawan yakni memojokkan ke kaki lemahnya. Harapannya, tentu saja Dybala tidak mampu mengeksekusi bola dengan tenaga dan presisi sebaik jika ia melakukannya dengan kaki kiri.
Akan tetapi, sekali lagi, Dybala adalah pemain top yang mampu memberi perbedaan. Dengan kaki kirinya, ia menggocek, lalu dengan kaki kanannya ia menembak. Gerakan luwes yang diakhiri dengan penyelesaian akhir yang begitu mematikan dengan kaki kanan yang tentu saja sudah ia latih agar tidak lagi menjadi titik lemahnya.
Sepakannya tidak memiliki kekuatan yang berlebih, tapi penempatan bolanya yang mengarah ke pojok bawah gawang sudah cukup untuk menaklukkan kiper dengan daya jangkau bola sejauh Gianluigi Donnarumma.
Hanya butuh satu ‘pukulan maut’ dari I Bianconeri, tim super yang sebetulnya tidak bermain terlalu baik akibat faktor kelelahan guna menempatkan Milan pada posisi mengenaskan di klasemen sementara Serie A.
Perbedaan empat poin dengan tim penghuni zona degradasi terlanjur meletakkan I Rossoneri pada narasi tim yang tengah sakit-sakitan, alih-alih menunjukkan perbaikan sejak Stefano Pioli bertugas.
Pioli, semula tengah menganggur setelah mengundurkan diri dari Fiorentina pada bulan April lalu, diminta untuk menjadi konduktor baru untuk orkestra Milan. Kedatangannya sempat ditolak berbagai pihak sebab rekam jejaknya jauh dari kata meyakinkan.
Bahkan, lelaki berumur 54 tahun itu hanya diperlakukan seperti pengganjal pintu sementara sebelum Milan kembali membuka lebar pintu bagi para konduktor dengan reputasi lebih mentereng. Seorang konduktor yang mampu mengorkestrasikan kelompok besar musisi bertalenta yang tengah kehilangan insting dan kepekaan terhadap nada, tempo, dan harmoni.
Nyatanya, hasil pertunjukan Pioli hingga kini masih dianggap sumbang kendati terlihat sebuah perubahan. Ya, Milan tampak lebih rapi dalam bermain.
Memang nada yang dihasilkan tidak sesumbang yang keluar dari Marco Giampaolo, konduktor pendiam yang sekilas berwajah mirip Rowan Atkinson yang sebetulnya memiliki kemampuan bermusik lebih lengkap, tetapi gagap ketika dihadapkan pada sekelompok musisi terkenal dengan ego besar. Pioli, setidaknya telah memoles seksi ritmik agar tempo lagu tidak berantakan.
Terkadang penghuni sesi ritmik ini telat memencet senar instrumennya dan tidak sekali-dua kali, Pioli melihat para pemain melodi masih kesulitan untuk menahan ego. Kapan harus bermain sebagai pengiring yang stabil dan kapan harus berlari ke tengah panggung untuk memperlihatkan aksi solo.
Parahnya lagi, Pioli juga masih saja dihadapkan pada para vokalis yang tidak kunjung sembuh dari penyakit flu yang membuat suara mereka menghilang dan karisma mereka menguap.
Akan tetapi, dengan pembawaan yang lebih bersahabat dan cara berkomunikasi yang jauh lebih mudah dimengerti, ia meluruskan urat-urat yang kaku, membebaskan ekspresi yang terbelenggu dan perlahan menyembuhkan permasalahan sulitnya membuat peluang di sepertiga lapangan lawan.
Elemen eksternal yang selalu memberi dukungan seperti fans, patutnya mengerti bahwa menyembuhkan berbagai penyakit secara sekaligus bukanlah pekerjaan enteng. Layaknya benang kusut, diperlukan kesabaran untuk mengurainya satu per satu.
Ketika berhadapan dengan tim sekelas Juventus, di lapangan mereka sendiri, di hadapan pendukung fanatik yang tidak lagi memperlakukan pertandingan ini layaknya grande partita, tentu diperlukan lebih dari sekadar bermain baik untuk bisa membungkam kepongahan sang tuan rumah.
“Kami memang bermain baik, tapi untuk meraih hasil yang bagus, diperlukan kemampuan untuk memanfaatkan segala kesempatan yang diperoleh,” ujar Pioli dalam wawancara selepas pertandingan.
Ucapan ini tentu saja menampar telak sang vokalis utama dalam kelompok orkestra ini, siapa lagi kalau bukan Krzysztof Piatek. Setidaknya, ada tiga peluang gol yang gagal dimaksimalkan oleh mantan penyerang Genoa tersebut.
Pertama, ia gagal memanfaatkan sebuah umpan silang yang begitu presisi dari Suso Fernandez pada awal pertandingan. Kedua, masih pada babak pertama, sebuah umpan terobosan datang begitu cepat dari kaki Lucas Paqueta lalu meloloskannya dari tangan penjagaan Matthijs De Ligt. Sial, tendangan Piatek ke tiang dekat masih dapat diselamatkan kompatriotnya asal Polandia, Wojciech Szczesny. Terakhir, Piatek kembali mendapat peluang setelah lolos dari jebakan offside, tetapi eksekusinya yang kali ini diarahkan secara mendatar ke tiang jauh juga sukses digagalkan sang kiper.
Problem ini tentu saja menyebalkan. Andai satu saja peluang tersebut berbuah gol, mungkin saja papan skor akan menunjukkan hasil yang berbeda. Sebuah tim, khususnya setelah bermain cukup apik dalam menggalang pertahanan serta mengalirkan bola untuk menyerang, jelas membutuhkan gol dari kaki atau kepala para penyerangnya.
Terlebih bagi Milan yang sebelumnya terbiasa diperkuat penyerang-penyerang terbaik. Kekalahan dari Juventus kemarin memberi tamparan keras bahwa lini depan I Rossoneri punya masalah pelik..
Sudah terlalu lama Milanisti hanya bisa menatap layar gawai dengan kompilasi video gol overhead kick Marco Van Basten, dribel bertenaga George Weah, akselerasi Andriy Shevchenko, tap-in Filippo Inzaghi atau sepakan keras Zlatan Ibrahimovic dengan perasaan gundah gulana yang tak kunjung usai.
Sakit yang tengah diderita Milan saat ini memang menyedihkan, menyebalkan sekaligus menggemaskan. Namun tanpa bermaksud menyebarkan perasaan negatif, realitanya masih ada hal yang patut disyukuri.
Misalnya saja peningkatan performa yang sudah terlihat secara kasat mata dari satu laga ke laga berikutnya. Jangan lupakan pula fakta bahwa penunjukan Pioli terjadi ketika agenda Milan di Serie A sedang berat-beratnya.
Dalam laga melawan Juventus kemarin, lihatlah bagaimana disiplinnya Andrea Conti saat menjaga wilayahnya. Rade Krunic yang mampu mengoper bola lebih akurat ketimbang Franck Kessie serta Hakan Calhanoglu yang terlihat semakin konsisten.
Boleh jadi, performa terbaik Pioli sebagai pelatih Milan telah hadir pada laga kontra I Bianconeri kendati hasil akhir tak berpihak kepadanya. Bukankah sepakbola memang kerap berlaku demikian?
Terlepas dari segala bentuk ketidakpastian yang melekat pada olahraga sepakbola, performa apik yang ditunjukkan secara konsisten adalah simbol dari kembalinya kemampuan untuk memainkan permainan dengan benar dan hadiah dari performa baik itu adalah kemenangan. Walau sekali lagi, tak ada kepastian kapan datangnya.
Sampai akhirnya, kemenangan yang didapat secara konsisten dari sebuah permainan yang memiliki identitas dan bentuk akan berbuah pada target yang tercapai dan kejayaan. Milan, meski entah untuk berapa lama, saya tetap yakini sedang berjalan menuju ke sana.