Akhir Kisah Larry Bird

Seperti yang diperkirakan, Indiana Pacers tak sanggup membendung derasnya serangan Cleveland Cavaliers di putaran pertama play-off Eastern Conference NBA 2017.

Liukan maut LeBron James masih terlalu tangguh buat Paul George dalam empat laga yang menentukan itu. Mereka sekali lagi harus menyimpan mimpi untuk membawa Hoosier State, negara bagian Amerika Serikat yang paling menggilai bola basket, merengkuh gelar juara NBA pertama sepanjang sejarah.

Seseorang harus bertanggung jawab. Setiap jembatan mesti dibangun dengan tumbal; tiap kekalahan wajib ada yang memikul salah. Namun tak ada yang memperkirakan kalau orang itu adalah Larry Bird.

Bird, 60 tahun, adalah seorang legenda. Ia satu-satunya orang sepanjang sejarah NBA yang mampu mengawinkan gelar MVP, Coach of the Year, dan Executive of the Year. Tiga gelar NBA, seluruhnya bersama Boston Celtics, dan perseteruan abadinya dengan Magic Johnson, adalah cerita lama buat penikmat hoops.

Setiap langkahnya adalah sejarah bola basket modern Amerika Serikat yang hidup, berjalan, dan berteriak. Terutama kata-kata kotor: Bird punya kemampuan khusus untuk trash-talking seperti pelaut.

Saat baru meniti karir di NBA, kepala pelatih Golden State Warriors Steve Kerr pernah girang bukan kepalang saat Bird memberinya fist bump di tepi lapangan sebelum laga. Bila Steve Kerr gembira mendapat fist bump dari Anda, maka Anda adalah seorang legenda.

Tiga belas musimnya bersama Celtics, dua belas di antaranya sebagai All-Star, membuat namanya bakal selalu ada dalam buku sejarah Boston.

Namun ia tetaplah Larry Joe Bird, seorang remaja kurus dari selatan Indiana yang berjulu The Hick from French Lick, yang membawa universitas kampung halamannya Indiana State ke satu-satunya penampilan final Kejuaraan Bola Basket Putra NCAA.

Dan Indiana, bersama Pacers, adalah tempat legenda keduanya dimulai sebagai seorang pelatih, dan berakhir sebagai seorang manajer.

Bird menjabat sebagai pelatih kepala Pacers selama tiga musim, 1997 hingga 2000. Sejak awal ia menegaskan diri bahwa ia hanya akan jadi pelatih selama tiga musim. Dua musim pertama, Pacers bertransformasi menjadi petarung serius gelar juara, kalah dua kali berturut-turut di final Eastern Conference.

Di musim terakhirnya, ia membawa Reggie Miller dan kawan-kawan bertarung melawan Los Angeles Lakers, diperkuat oleh Shaq O’Neal dan diasuh Phil Jackson, di partai final. Pacers tumbang dan belum dapat kembali hingga hari ini, tapi menstempel status sang pelatih sebagai orang suci di Bankers Life Fieldhouse.

Seperti kala masih berstatus mahasiswa di Indiana State, Bird meraih status legenda karena membawa timnya ke tempat yang belum pernah mereka capai, meskipun harus menerima pil pahit kekalahan.

Tapi Larry Bird sebagai seorang pemain dan pelatih tidaklah sama dengan Larry Bird sebagai seorang manajer.

Sejak 2000, ia adalah bagian tak terpisahkan dari manajemen Pacers, bahkan meski tanpa kapasitas resmi. Pemilik tim Herb Simon menunjuknya sebagai presiden pada 2003, membawa Pacers ke rupa-rupa petualangan di play-off, lalu pensiun pada 2012. Setahun kemudian, ia kembali lagi, masih sebagai presiden.

Dan celakanya, Bird tak dilatih untuk menjadi seorang CEO. Ia terlatih menembakkan bola ke ring: 21,791 poin ia cetak sepanjang kareirnya, dan Pacers di bawah asuhannya adalah salah satu tim paling ofensif di liga. Tapi mencetak poin berbeda dengan menegosiasikan draft atau menunjuk pelatih kepala.

Seperti gaya bermainnya yang agresif dan penuh energi, beberapa tahun terakhir buat Presiden Bird dan timnya adalah seperti musim-musim terakhirnya buat Celtics. Serangkaian keputusan yang buruk tak membantu mengangkat performa Pacers.

Ia bersikukuh untuk membangun Pacers pada tahun 2015 seperti tim yang ia pimpin dua puluh tahun silam: kuat, tangguh, mengandalkan fisik, sementara rival-rival pengejar titel seperti Warriors mulai mengandalkan gaya cepat, cermat, dan mengandalkan bola-bola kecil.

“Pacers tahun 2014 adalah tim yang berasal dari 1990an,” tulis Greg Doyel, kolumnis The Indianapolis Star dan salah satu pengkritik Bird paling keras dalam beberapa musim terakhir.

Tindakannya memecat pelatih kepala Frank Vogel, yang membawa mereka ke dua final Eastern Conference, menuai kecaman publik. Tim muda yang berputar mengeliling poros talenta seperti Roy Hibbert dan Paul George kini berubah menjadi tim tanpa arah yang memikulkan beban berat di pundak seorang PG13.

Draft pick Presiden Bird juga tak luput dari kontroversi. Benar, ia memilih Roy Granger, Lance Stephenson, dan juga George. Tapi jangan lupa pula bahwa ia melepaskan kesempatan mendapatkan Kawhi Leonard serta merekrut draft busters seperti Shawne Williams dan Miles Plumlee.

Yang tak kalah mengejutkan adalah keputusannya untuk menggeser George, satu-satunya bintang yang masih tersisa untuk menahan Pacers jatuh ke kasta setingkat Philadelphia 76ers, ke posisi power forward.

Konon untuk menyesuaikan diri dengan tren permainan NBA yang makin lincah, keputusan ini hanya berakhir dengan satu lagi musim medioker buat mereka.

Setelah anak-anak asuhan Nate McMillan melempar handuk di putaran pertama play-off musim ini, seharusnya tak ada yang heran kalau Bird-lah yang harus berjalan menuju pintu keluar.

Agak ironis, sebenarnya, karena ia justru keluar kala seteru lamanya Magic Johnson baru saja mengambil alih tampuk kepemimpinan di Lakers; kala legenda-legenda basket lain seperti Michael Jordan, Phil Jackson, Pat Riley, atau bahkan Jerry West masih nyaman mengendalikan tim mereka masing-masing.

Namun Bird punya gayanya sendiri. Ia tahu kapan harus keluar, terutama ketika sesuatu yang direncanakan tak berjalan lancar.

Empat dekade berkecimpung di bola basket profesional telah mengajarkannya realitas. Seperti yang dituturkannya kepada Los Angeles Times bila dimintai nasihat buat Johnson baru saja ditunjuk sebagai general manager Lakers.

“Anda bisa membangun sebuah tim yang Anda pikir akan cukup solid di atas kertas,” kata Bird. “Namun kemudian ketika mereka turun di lapangan, mereka tak bermain cukup baik. Di sanalah letak frustasinya.”

Larry Bird telah menyelesaikan kisahnya sebagai seorang legenda. Ia tak perlu lagi satu-dua musim membanting tulang membangun tim di atas kertas. Meski ia tahu bahwa ia tak bakal disalahkan karena satu kekalahan, namun ia sudah selesai.

Komentar

This website uses cookies.