Dalam Derby della Capitale edisi pertama pada muism 2015/2016, AS Roma sukses mempecundangi Lazio dengan skor 2-0 sekaligus membawa mereka ke peringkat dua klasemen sementara. Edin Dzeko dan Gervinho menjadi penentu kemenangan penting ini.
Rudi Garcia memainkan pola 4-3-3/4-2-3-1. Di lini belakang, di depan Wojciech Szczesny, berdiri Vasilis Torosidis, Kostas Manolas, Antonio Rüdiger, dan Lucas Digne. Di tengah, William Vainquer yang dimainkan sebagai no. 6 mendapatkan tugas sebagai katalis antara lini belakang dan depan pada saat Roma melakukan build-up dari belakang.
Di depan Vainquer, Garcia memainkan Radja Nainggolan dan Iago Falque. Kedua gelandang tengah AS Roma ini banyak terlibat dalam fase kedua serangan, terutama lewat dukungan yang mereka berikan melalui half-space atau, dalam situasi tertentu, pergerakan ke flank.
Untuk barisan penyerang, Edin Dzeko berperan sebagai no. 9 yang ditopang oleh dua sayap yang diisi oleh Mohamed Salah di kanan dan Gervinho di kiri. Dua penyerang sayap ini mendapatkan tugas berbeda. Salah lebih banyak bergerak di sekitar no. 10. Sementara Gervinho dimainkan lebih vertikal, menjadi penyerang bayangan yang bergerak dari lini kedua.
Lazio memainkan Dusan Basta, Santiago Gentiletti, Mauricio, dan Stefano Radu dalam formasi empat pemain belakang. Gentiletti mendapatkan tugas khusus memberikan man-marking kepada Edin Dzeko, penyerang tengah AS Roma.
Di lini tengah, Lucas Biglia ditemani oleh Marco Parolo dan Senad Lucic menopang tiga pemain di baris terdepan, yaitu Antonio Candreva dan Feliper Anderson yang banyak bergerak di sayap dan half-space, mengapit Filip Djordjevic.
Dalam build-up fase pertama AS Roma terlihat rencana awal kedua tim. Vainquer ikut turun ke bawah ke half-space atau center dekat dengan bek tengah Roma yang memegang bola. Sementara Lazio meresponnya dengan Djordjevic yang secara aktif mengambil posisi sedekat mungkin dengan Vainquer dengan tujuan untuk menutup akses Vainquer terhadap bola.
Dalam fase ini, pola Lazio terlihat meninggalkan Djordjevic di depan, sementara dua penyerang sayapnya masuk ke lini kedua, mentransformasi bentuk bertahan Lazio menjadi 4-5-1.
Bila Roma memainkan bola kembali ke belakang kepada Szczesny, Lazio bertransformasi ke 4-2-3-1 blok pertahanan tinggi. Stefano Pioli, juru taktik Lazio, memilih melakukan pendekatan man-oriented zonal-marking, yaitu sebuah pendekatan zonal-marking yang mana masing-masing pemain tim bertahan menjaga siapa pun lawan yang masuk dalam area pertahanan mereka dikombinasi dengan man-marking yang ia terapkan kepada Dzeko, no. 9 AS Roma yang di-man mark oleh Gentiletti.
Roma sendiri tampak tidak selalu mengandalkan build-up dari belakang sebagai satu-satunya skema serang. Dalam beberapa momen mereka memainkan umpan jauh langsung kepada Dzeko untuk mem-bypass gelombang pertama dan kedua pressing Lazio. Selain mengandalkan kemampuan duel udara Dzeko, Roma juga memainkan skema 3rd passing lane, lagi-lagi, dengan Dzeko sebagai outlet dari pressing Lazio.
Dalam skema direct semacam ini, beberapa isu minor dalam struktur serangan Serigala Roma terlihat. Contoh ketika Dzeko menerima bola untuk kemudian ia menahannya guna mencari akses, pemain Roma telat sekian detik untuk bergerak maju demi membangun bentuk yang mampu mendukung progresi yang “bersih”.
Akibatnya, gangguan terhadap lini belakang Si Biru Langit menjadi kurang maksimal. Dan ketika Dzeko kehilangan bola dan Roma harus melakukan gegenpressing, mereka tidak melakukannya dengan maksimal, karena saat pemain-pemain Roma sukses merebut kembali penguasaan bola hal tersebut terjadi lebih dari 6 detik, tepatnya dalam 8 detik.
Dari sebuah skema direct-ball dari Manolas kepada Dzeko, lini belakang Lazio berhasil merebut bola. Segera Roma melakukan gegenpressing. Sayangnya karena akses terhadap bola mereka kurang baik, disebabkan kompaksi yang kurang ideal, membuat Roma baru dapat merebut kembali bola oleh Nainggolan setelah sekitar 8 detik.
Sebagai sedikit perbandingan, Anda bisa menyaksikan gegenpressing FC Bayern. Ketika pemain Bayern mampu merebut kembali penguasaan bola (hanya) dalam waktu 3 detik.
Bentuk pertahanan Lazio sendiri tidak bisa dikatakan stabil. Salah satu isu terlihat dalam gol pertama Roma. Bila kita melihat proses gol petama Roma, terjadi miss-positioning oleh Candreva, di sisi kanan pertahanan Lazio. Dalam situasi serangan Roma dari sisi kanan Lazio, Basta sudah berada dalam posisi mengawal Digne, Candreva yang ikut menempatkan Digne di belakang cover-shadow pressing, malah membuat Falque bebas menerima umpan dari Salah. Selanjutnya, Falque dan Salah mendapatkan kesempatan melakukan kombinasi 1-2 dan mengakses zona 5 Lazio.
Saat Dzeko berhasil masuk ke kotak 16, Gervinho bergerak vertikal melalui half-space kanan. Pergerakan Gervinho mampu mengikat Stefano Radu menciptakan situasi 1v1 bagi Dzeko untuk berhadapan dengan Gentiletti. Lagi-lagi, positioning menjadi isu yang mengganggu kompaksi pertahanan.
Pada momen ini Felipe Anderson yang berada dekat dengan Dzeko memilih membiarkan Torosidis untuk berprogresi dan masuk ke zona 5 Lazio. Situasi 1v1 ini menghasilkan penalti bagi Roma, karena wasit menganggap Gentiletti melanggar Dzeko di dalam kotak 16.
Dalam serangannya, Lazio memainkan direct-football. Kedua penyerang sayapnya, Candreva dan Felipe Anderson beberapa kali turun ke lini tengah untuk mendapatkan akses vertikal. Roma terlihat mampu merespon hal ini dengan baik.
Sistem pertahanan mereka mampu menciptakan overloading yang menutup akses bagi kedua penyerang sayap Lazio tersebut untuk bergerak ke half-space dan center. Overloading semacam ini ditambah kurang idealnya positioning pemain-pemain Lazio di sisi flank jauh membuat serangan Lazio terhenti.
Pemain imajiner dalam lingkaran kuning merupakan alternatif positioning Felipe Anderson agar ia mendapatkan ruang yang lebih ergonomis, di flank, untuk menerima umpan Candreva. Dengan positioning yang pas, Felipe berpeluang menciptakan situasi 1v1 dengan Digne dan Felipe terkenal memiliki kapabilitas dalam duel 1v1. Alternatif lain, support Basta dari lini belakang, ketika Digne ternyata mampu menutup akses vertikal Felipe, bisa menjadi pilihan umpan bagi Felipe. Support dari Basta semacam inilah yang mampu menjaga ball-possession tim menyerang untuk tetap hidup.
Tedapat perbedaan structural dalam bentuk serang kedua tim. Perbedaan ini bisa kita lihat ketika keduanya berusaha melakukan penetrasi ke sepertiga akhir. Rudi Garcia tidak terlihat menempatkan banyak pemain ke celah vertikal antarlini Lazio.
Sering kali terlihat hanya Dzeko yang mengokupansi area tersebut dan ia sendiri tidak selalu berada di center. Dalam beberapa situasi Dzeko bergerak dari half-space. Lazio berbeda, usaha penetrasi ke sepertiga akhir memperlihatkan usaha mereka menguasai sisi tengah (di zona 5 Roma) dengan menempatkan 2 pemain di center + 2 pemain di half-space. Struktur serang fase ketiga Lazio lebih narrow (menyempit) ketimbang struktur serang fase ketiga Roma.
Skema serang semacam ini, pada dasarnya, mampu menolong Lazio mereduksi kestabilan pertahanan Roma. Karena sering kali, penjagaan Roma di zona 5 kurang maksimal yang mana sering terlihat pemain Lazio yang menerima bola di area tersebut mendapatkan waktu 1-2 detik lebih banyak untuk mengolah bola.
Peluang tembak Felipe Anderson di babak pertama menjadi salah satu contoh. Bahkan, dalam beberapa situasi yang sangat cepat, Lazio mampu menciptakan situasi 5v5. Sesuatu yang tidak direkomendasikan untuk dilakukan oleh tim bertahan. Ini merupakan isu pertahanan dan Rudi Garcia harus memastikan ia mampu memperbaikinya, baik di Serie A maupun Liga Champions.
Lazio tampak berusaha mengincar ruang di belakang lini pertahanan Roma. Dalam banyak sekali kesempatan kita melihat bola-bola panjang (yang tidak efektif) dilepaskan dari lini belakang Lazio langsung ke lini terdepan. Hasilnya, salah umpan atau mudahnya lini belakang Roma menanganinya menjadi pemandangan yang jamak. Di sisi lain, struktur posisional Lazio dalam skema semacam ini juga tidak memperlihatkan bentuk yang ideal bagi Lazio untuk memenangkan bola-bola kedua, bila ada.
Dari Roma, kurangnya okupansi ke center (zona 5 Lazio) dengan menempatkan banyak pemain, merupakan salah satu indikasi serangan mereka yang berorientasi pada kedua sayapnya. Mohamed Salah dan Gervinho, di-support oleh Radja Nainggolan dan bek sayap, sering kali saling membantu di masing-masing half-space dan flank untuk menciptakan akses bagi orientasi sayap Roma untuk bisa bergerak ke area yang lebih tengah.
Peluang Gervinho pada sekitar menit ke-35 merupakan salah satu contoh. Salah, penyerang sayap, mengokupansi flank kanan untuk memberikan kesempatan bagi Torosidis, bek sayap kanan, masuk ke half-space. Saat Torosidis berprogresi ke sepertiga awal Lazio, terlihat dua hal sederhana tetapi berpengaruh secara taktikal.
Pertama, miss-positioning Felipe Anderson tidak mencoba mengikuti dan mengganggu Trosidis. Kedua, Radja Nainggolan melakukan pergerakan yang tepat dengan bergerak melebar ke flank kanan untuk mengikat Radu, bek kiri Lazio.
Hasilnya, dari half-space, Torosidis dengan bebasnya mampu melepaskan sebuah umpan terobosan kepada Gervinho, melalui channel antara Radu dan Mauricio. Sepakan Gervinho nyaris memberikan AS Roma gol kedua.
Kesimpulan
Positioning beberapa pemain Lazio dalam situasi-situasi bertahan tertentu merusak kompaksi pertahanan mereka sendiri. Dalam skema serangnya, hal berbeda menjadi faktor lemahnya penetrasi serangan Lazio, terutama ketika Lazio memainkan bola panjang dari belakang ke Djordjevic. Dalam fase skema semacam ini, sering kali struktur posisional Lazio sangat tidak mendukung mereka untuk memenangkan bola kedua.
AS Roma bermain dengan struktur yang lebih stabil, baik dalam memenangkan bola kedua di area no. 8 serta dalam melakukan progresi. Usaha menciptakan superioritas jumlah dalam mendukung serangan yang berorientasi ke sayap merupakan salah satu kunci progresi.
Didukung oleh kecepatan dan kemampuan individual yang baik dari Gervinho dan Salah, Roma banyak menciptakan situasi serang yang menjanjikan. Penggunaan no. 9 sebagai outlet dari pressing Lazio juga beberapa kali (walaupun belum maksimal sekali) membantu Roma mendapatkan kesempatan progresi.
Selain peran kedua sayapnya yang harus rajin bergerak horizontal demi keperluan overloading, Dzeko sebagai no. 9 juga mampu memanfaatkan man-marking Gentiletti kepadanya. Gol kedua Roma oleh Gervinho memperlihatkan bagaimana Dzeko menarik keluar Gentiletti dari posnya dan menciptakan channel besar bagi Gervinho untuk bergerak vertikal, masuk ke kotak penalti Lazio, dan menceploskan gol kedua.
Hasil ini menolong Roma untuk semakin mengamankan posisinya di zona Liga Champions sekaligus menjaga persaingan demi mendapatkan Scudetto di akhir musim. Tetapi, seperti yang dibahas dalam analisis ini, beberapa isu pertahanan menjadi pekerjaan rumah bagi Rudi Garcia untuk memastikan soliditas pertahanan mereka dapat terjaga selama 90 menit penuh. Hal ini penting, terutama sekali, bila Roma ingin melangkah sejauh yang mereka bisa di Liga Champions musim ini.