Juventus, sang kekasih Italia menjadi kampiun Serie A musim lalu. Gelar keempat kali beruntun. Bahkan mereka sanggup menapaki final Liga Champions sebelum ditumbangkan kekuatan tak logis Barcelona.
Memasuki musim 2015/2016, tak dinyana Juve malah memulai musim dengan cukup buruk. Meraih satu poin dari tiga laga, mereka sempat berada di peringkat 16. Bahkan mereka kalah melawan Udinese pada pekan pertama dan di kandang barunya, Juventus Stadium, yang terkenal angker.
Namun, perlahan tapi pasti, mereka sukses menapaki klasemen. Dan tidak hanya di liga lokal, mereka juga sanggup lolos dari fase putaran grup Liga Champions. Di klasemen sementara Liga Serie A, mereka kini bercokol di posisi ke-2 dan hanya terpaut dua poin saja dari Napoli, sang juara paruh musim.
Mengapa performa Juventus sempat menurun?
Start yang buruk tentu didasari oleh berbagai faktor. Dan yang pertama adalah soal tiga pemain penting mereka yang memilih jalan lain, yakni Andrea Pirlo, Arturo Vidal, dan Carlos Tevez.
Kepergian mereka dari skuat sang jawara bertahan Serie A ini tidak hanya berdampak pada permainan. Namun, melebar hingga di luar lapangan. Memang, sebagai pemain sepak bola, permainan di lapanganlah yang menjadi acuan baik buruknya suatu pemain. Namun di luar itu, kepribadian di luar lapangan juga sedikit banyak memengaruhi permainan di lapangan, terutama Pirlo dan Tevez.
Gaya hidup sederhana dan biasa-biasa saja keduanya dan lebih berfokus pada tim, menjadi contoh sukses yang bisa ditiru pemain lain. Sementara adanya Vidal lebih kepada semangat pantang menyerah di atas lapangan, mengingat ia sempat terlibat pesta-pesta pada malam sebelum pertandingan.
Namun, kehilangan ketiganya sekaligus tentu berpengaruh secara mental terhadap keseluruhan skuat Juventus. Lain dari itu, kehadiran Pirlo, Vidal, dan Tevez nyatanya menjadi acuan dan jaminan mutu jalannya sistem permainan Juventus musim lalu. Karena itu pula kepergian ketiganya menjadi salah satu alasan buruknya start I Bianconerri.
Seperti kata orang bijak, yang lalu biarlah berlalu. Kepergian ketiganya sudah digantikan -jika bisa dikatakan seperti itu- oleh Sami Khedira, Stefano Sturaro, dan Paulo Dybala dan Mario Mandzukic. Dan di sini muncul persoalan baru yang mengakibatkan anjloknya prestasi Juventus awal musim ini.
Masuknya pemain baru, berarti adaptasi baru. Dan itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa prestasi Juventus tak apik pada awal musim. Masa-masa adaptasi inilah yang membuat Juve membutuhkan waktu untuk meraba-raba bentuk permainan terbaik mereka dengan kedatangan pemain-pemain baru sehingga prestasi mereka sempat jeblok.
Dua poin di atas, masih ditambah dengan persoalan cedera yang menimpa para pemain. Ketidakhadiran Khedira dan Marchisio pada awal musim, memaksa Allegri memainkan Simone Padoin sebagai regista ditemani Paul Pogba dan Roberto Pereyra pada pekan pertama.
Selepas itu, Hernanes sempat dicoba di posisi tersebut. Dan yang terjadi adalah bagaimana Pogba bermain sangat individualis. Ia seperti kurang respek dengan rekan-rekan lini tengahnya, terutama dalam membangun serangan.
Mungkin karena bukan Pirlo, Marchisio, ataupun Vidal yang menjadi rekannya di lini tengah. Hasilnya, Juventus selama beberapa pekan awal bermain bak tim medioker.
Bagaimana Juventus bangkit?
Setelah kekalahan dari Sassuolo, Juventus tancap gas dengan meraih sembilan kemenangan beruntun di Serie A. Di balik rentetan hasil tersebut, tentu terdapat beberapa faktor.
Pertama adalah kembalinya Marchisio dari cedera. Suka atau tidak suka, kehadiran Marchisio sebagai pengganti Pirlo dalam sistem permainan Juventus adalah suatu keharusan.
Ia memang tak memiliki akurasi umpan yang memanjakan rekan setim layaknya Pirlo. Namun, kehadirannya merupakan elemen penting dalam permainan The Old Lady. Buktinya, selama ia bermain musim ini, hanya sekali Juventus mengalami kekalahan. Itu pun lebih karena soal keberuntungan. Yakni saat meladeni Sevilla di laga terakhir Liga Champions.
Kehadiran Marchisio di starting line-up Juve juga tak hanya berfungsi sebagai pengalir serangan. Namun lebih dari itu menjaga kestabilan permainan Juventus dalam pola 3-5-2.
Sebelum kesembuhannya, Juve kerap gonta-ganti formasi dikarenakan cederanya para pemain lini tengah. Dan setelah Il Principino sembuh, praktis formasi ini kembali digunakan Allegri dalam hampir setiap laga, tak peduli siapa yang menjadi rekannya di lini tengah.
Selain itu, tajamnya serangan Juventus juga menjadi faktor lain meroketnya prestasi Juventus. Dybala, Mandzukic, Alvaro Morata, dan Simone Zaza merupakan para penyerang yang menghuni skuat Juventus musim ini. Dari keempatnya, hanya Morata yang merupakan striker lawas. Sementara ketiganya merupakan rekrutan bar. Namun, justru ketiganya yang memiliki jumlah gol lebih banyak daripada Morata.
Dua nama pertama memang paling sering menjadi andala. Dan keduanya menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Secara statistik, Dybala sudah mengumpulkan sepuluh gol dan empat asis di semua kompetisi. Sebagai seorang yang diplot ikut turun ke lini tengah untuk menjemput bola, statistiknya sangatlah mengagumkan. Apalagi dengan fakta bahwa ia merupakan pemain baru dan baru berusia 22 tahun.
Sementara rekannya di lini depan, Mandzukic, memang baru mengumpulkan sembilan gol dalam 18 partai. Namun, ia merupakan pemain paling efektif di Serie A. Statistik berkata, ia sanggup mencetak enam gol dari delapan tendangan yang dilakukannya dalam 14 partai Serie A yang berarti rasio suksesnya 75%.
Kecemerlangan duet ini menjadi salah satu alasan melejitnya Juventus setelah sempat tertatih-tatih pada awal musim. Bahkan keduanya menjadi salah satu partner striker terbaik di Eropa.
Satu nama lagi yang menyita perhatian adalah Simone Zaza. Memainkan peran sebagai pemain pengganti, nyatanya tak membuat jumlah gol Zaza menurun. Tercatat dalam 12 pertandingan yang telah ia jalani, enam gol sukses ia lesakkan. Statistiknya bahkan mengalahkan permata emas Juve, Morata yang baru mengumpulkan tiga gol dari 17 kali bermain.
Faktor terakhir adalah semakin padunya para pemain baru. Seperti di awal tadi, kehadiran pemain baru sudah barang tentu dibarengi proses adaptasi. Setelah selesai proses adaptasi tersebut, para pemain baru ini langsung menjadi salah satu kunci keberhasilan Juventus menaiki anak tangga satu demi satu.
Dybala dan Mandzukic plus Zaza, mungkin menjadi nama terdepan. Namun, tak adil jika tak menyebut nama-nama pemain baru lain yang juga ikut berkontribusi.
Salah satunya Khedira. Kembalinya ia dari masa cedera di awal musim sukses membawa Juventus ke dalam masa kestabilan permainan. Bersama Marchisio dan Pogba serta Sturaro, ia membentuk kombinasi apik untuk mengalirkan serangan sekaligus pemutus serangan lawan. Ia menjadi salah satu pemain yang sukses melewati masa adaptasi dengan baik. Dan kehadirannya di lini tengah menjadikan permainan Juventus kian solid hingga mampu memperbaiki performa tim secara keseluruhan.
Nama lain adalah Alex Sandro. Pemain yang berposisi asli bek kiri ini menjadi deputi bagi Patrice Evra. Permainannya yang agresif nyatanya sukses membuat para Juventini berdecak kagum. Karena tipe permainannya pula, ia sempat beberapa kali dimainkan agak kedepan menjadi sayap kiri sementara Evra berada di belakangnya.
Kehadirannya sebagai pemain baru di kubu Si Nyonya Tua juga menjadikan warna permainan yang baru. Sandro mampu mengimbangi serangan di sisi seberangnya yang selama ini lebih agresif karena adanya Stephan Lichsteiner ditambah Juan Cuadrado pada musim ini.
Gayanya ini juga berkontribusi pada asis matang. Gol Dybala ke gawang Milan, Cuadrado ke gawang Torino dan Mandzukic ke gawang City merupakan hasil jerih payahnya. Hebatnya lagi, tak sekadar merancang gol biasa, namun gol yang terjadi tersebut memiliki nilai yang amat penting dalam prestasi Juve pada paruh pertama musim ini.
Juventus kembali pada trek yang seharusnya. Kandidat terkuat untuk menjuarai Serie A sembari berusaha melaju sejauh mungkin di Liga Champions.