“Inter Milan sukses mempertahankan posisi puncak klasemen Serie A di awal tahun 2016 ini setelah membungkam Empoli dengan skor 1-0 pada lanjutan giornata ke-18 yang digelar di stadion Carlo Castellani, Kamis (7/1) dinihari WIB. Kapten Inter, Mauro Icardi, menjadi pahlawan kemenangan timnya berkat gol semata wayangnya di penghujung babak pertama. Ini merupakan kemenangan 1-0 kesembilan Inter di musim ini.”
Itulah kutipan dari sebuah portal berita sepak bola mengenai kemenangan Inter atas Empoli pada 7 Januari 2016 lalu. Kemenangan tipis yang diraih Icardi cs. kala itu kembali melambungkan perasaan Interisti yang sempat kecewa berat setelah klub kesayangan mereka justru digasak Lazio dengan skor 1-2 jelang libur musim dingin walau bermain di kandang dan diunggulkan meraih angka penuh.
Walau permainan Inter sesungguhnya lebih inferior ketimbang Empoli yang dimotori Riccardo Saponara, namun hasil akhir partai itu sukses membungkam segala minus yang ada di tubuh Inter. Hal yang mungkin seringkali luput dari pandangan Interisti karena kecintaan yang luar biasa pada klub berseragam biru-hitam ini. Karena cinta kerap membutakan, bukan?
Kata Scudetto dan juara kembali bergema, tak terkecuali dari akun fanpage Inter yang bertebaran di media sosial. Tak lupa pula, mereka secara kompak mengejek para pesaing macam Napoli, Juventus dan Fiorentina, apalagi sang tetangga AC Milan yang saat itu masih terseok-seok di papan tengah. Ada banyak banter yang mencuat, pun begitu dengan meme yang hilir mudik tanpa henti.
Kemenangan demi kemenangan yang Inter dapatkan pada awal musim, diakui atau tidak, telah membuat perasaan Interisti sampai ke awang-awang. Cahaya yang dirindukan Interisti setelah berkubang sengsara selama lima musim seolah muncul. Saya sendiri tak munafik karena ikut gembira, namun di sisi lain saya merasa bahwa ada beberapa hal yang layak disangsikan dari jejeran kemenangan saat itu.
Eks pelatih yang membawa Inter merengkuh trofi Piala UEFA 1998, Luigi Simoni, bahkan dengan lantang mengatakan jika tim Anda memenangi banyak laga dengan skor 1-0 maka ada sesuatu yang salah pada klub Anda. Sebab itu tak menunjukkan sebuah superioritas atau dominasi yang mutlak, justru menghadirkan kekhawatiran berantai.
Pun begitu dengan torehan cleansheet yang berjubel dan tampak begitu agung. Nama Joao Miranda dan Jeison Murillo pun langsung naik ke permukaan karena digadang sebagai faktor utama yang membuat Inter tangguh selain tentu kehebatan Samir Handanovic di bawah mistar. Padahal bila menengok statistik sektor belakang Il Biscione sepanjang musim ini, sekumpulan cleansheet Inter tersebut tak ubahnya fatamorgana belaka.
Saya juga masih ingat dengan sangat jelas puja-puji bagi Mauro Icardi dkk. serta Roberto Mancini atas kemenangan yang mereka dapatkan. Saya pun tidak lupa bila beberapa akun fan Inter berani berkicau, entah dengan penuh percaya diri atau tidak.
Menang 1-0 aja terus sampai akhir musim. Nggak apa-apa kok. Yang penting menang J
Sudah menjadi rahasia umum bila pragmatisme tumbuh subur dalam urat nadi sepak bola Italia. Hasil akhir didewakan, kemenangan adalah segalanya.
Dan kultur ini pun bersemayam di benak para pendukung kesebelasan asal Negeri Spaghetti. Kebanyakan mereka adalah pemuja hasil akhir, bukan yang ingin tahu mengenai proses yang sedang ditempuh. Hal ini yang kemudian mendorong untuk lebih menyoroti hasil akhir tim yang didukung, bukan bagaimana cara tim tersebut meraih hasil yang diinginkan.
Torehan apik Inter pada paruh pertama musim terasa begitu melenakkan, puncak klasemen yang sudah lama tak dirasakan bisa kembali diduduki. Wajar bila ekspektasi Interisti menggunung dan mulai menuntut lebih.
Sayangnya Interisti alpa jika kesebelasan yang mereka dukung masih dua abad jauhnya dari konsistensi. Inter sukses mereguk 12, dari 13, kemenangan tidak dengan meyakinkan. Cuma saat bersua Frosinone saja Inter terlihat dominan, sisanya ya dengan cara yang begitu-begitu saja.
Kemenangan 4-0 atas Udinese? Saya menyarankan Anda terlebih dahulu melihat statistik serangan I Friuliani ke gawang Inter ketika itu. La Beneamata bermain layaknya dinosaurus, hewan raksasa yang hidup pada zaman dahulu kala, prasejarah. Permainan mereka begitu mudah ditebak, miskin kreativitas dan ide.
Ketika periode buruk mulai menerpa Inter pasca-pergantian tahun, ujung-ujungnya banyak Interisti yang merasa panik. Terlebih Juventus, yang selama ini menghadirkan kengerian tersendiri malah semakin edan dengan terus meraih kemenangan demi kemenangan.
Bedanya, La Vecchia Signora meraih rentetan hasil positif itu dengan cara yang keren, ciamik dan dominan. Begitu pula dengan Napoli yang terus konsisten meraih nilai penuh berkat kegemilangan duo Gonzalo Higuain-Lorenzo Insigne. Betapa idiotnya saya jika tak mengakui bahwa Juventus-nya Max Allegri dan Napoli-nya Maurizio Sarri adalah tim dengan permainan paling memikat di tanah Italia sejauh ini.
Sampai akhirnya, pada Senin (1/2) dinihari WIB, Inter jatuh di titik nadir usai digilas Milan dengan skor 3-0 di Derby Della Madonnina. Itu terjadi hanya tiga hari pasca-Inter dibekap dengan skor yang sama dari Juventus di semifinal Piala Italia. Kekalahan dari dua rival utama jelas sangat tidak bisa diterima. Interisti murka, bahkan Curva Nord 69 (CN69) mencegat skuat di Stadion Giuseppe Meazza pasca-laga derby untuk berdiskusi langsung perihal performa jeblok mereka.
Sementara di linimasa saya, puja-puji yang ditujukan kepada Mancini pada awal musim kemarin seketika berubah menjadi hujatan. Sang allenatore dianggap tidak becus mengelola tim. Pemain seperti Mauro Icardi, Marcelo Brozovic dan Juan Jesus juga tak luput dari hinaan. Sungguh cepat pujian dan cacian bertukar posisi di dunia sepak bola.
Interisti jeri (cemas, red.) apabila Il Biscione gagal lolos ke Eropa musim depan, utamanya ke Liga Champions yang memang jadi target inti. Apalagi Fiorentina dan AS Roma mulai kembali ke trek yang benar usai tercecer. Maka ketakutan pun semakin meneror tifosi kubu biru-hitam.
Racikan Mancini tentu memiliki dampak atas tren menurun Inter di beberapa pertandingan terakhir. Sang pelatih masih kerap membongkar pasang starting eleven-nya, tak peduli laga besar sekalipun.
Eks pembesut Manchester City dan Galatasaray ini seakan masih belum punya komposisi ideal bagi klub asuhannya. Komentar dan gestur Mancini di beberapa pertandingan terakhir juga memperlihatkan bahwa dirinya mengalami stres akibat tekanan tanpa henti yang dialamatkan kepadanya.
Di sisi lain, pemain-pemain Inter juga mengalami degradasi performa yang cukup signifikan. Mereka sering kesulitan tampil lepas seolah-olah ada beban yang membuat langkah kaki mereka begitu berat di lapangan. Di satu laga mereka tampil prima dan menawan, tapi di tiga partai berikutnya bak pemain amatir bergaji 5 euro per pekan.
Saya pribadi sangat terkejut melihat beberapa respon Interisti di akun Facebook yang dengan lantang menyebut bahwa Icardi adalah striker pemalas, payak, dan lembek. Statistik memang menunjukkan penurunan pada tingkat produktivitas gol sang kapten musim ini, namun hal tersebut bukan semata-mata karena dirinya selalu tampil buruk. Dalam hari saya bertanya, kenapa masih ada Interisti yang punya sepicik itu?
Sementara manajemen juga dianggap tak kunjung melakukan langkah kongkret dengan melakukan pembelian pemain yang dibutuhkan saat jendela transfer musim dingin. Beberapa nama menyeruak namun hanya Eder Citadin yang bisa diboyong dari Sampdoria. Terasa lengkap sekali ya?
Menyalahkan pelatih, para pemain dan manajemen tentu menjadi hal paling gampang yang dapat diperbuat Interisti. Saya tak bermaksud membela, karena memang ketiga komponen tersebut punya andil besar pada performa Inter yang menurun.
Sayangnya, Interisti lupa jika tekanan berlebihan yang mereka alamatkan pada tim justru bisa menjadi bumerang. Bukan mendapat solusi namun menambah masalah-masalah anyar yang makin membebani.
Pemecatan Mancini dianggap bisa menjadi solusi, terlebih pelatih asal Portugal, Jose Mourinho, yang membawa Inter meraih treble pada 2010 lalu nganggur alias tak punya pekerjaan. Makin kencang saja Interisti meneriakkan nama Mou untuk kembali duduk di bangku pelatih.
Nostalgia pada kesuksesan masa lalu sebenarnya sah-sah saja, akan tetapi perlu diingat bila saat Mou datang, skuat Inter adalah salah satu yang paling kuat di Italia dan mungkin juga Eropa. Betapa tidak sopannya saya bila harus mengomparasikan skuat Mou kala itu dengan pemain-pemain yang dipunyai Mancini sekarang.
Saya bahkan berandai-andai jika saja Mou yang saat ini melatih Inter dan kondisi La Beneamata sama persis atau bahkan lebih buruk. Ingat, Chelsea yang notabene kesebelasan yang begitu dicintai Mou saja bisa terpuruk sehingga menyebabkan ayah Matilde itu dilengserkan dari kursi manajer saat kompetisi Liga Primer Inggris musim 2015/2016 baru berjalan separuhnya.
Apa iya Interisti tidak akan kesal hanya karena terkungkung nostalgia? Kalau Mou ternyata juga tak berhasil, apa lantas Interisti bakal memanggil kembali Helenio Herrera dari liang kuburnya?
Pun begitu dengan pembelian pemain-pemain baru di bursa transfer musim dingin lalu yang dirasa bisa jadi alternatif jalan keluar. Padahal pemain baru butuh waktu untuk bisa beradaptasi dengan tim. Tak maksimalnya Eder saat derby karena strategi yang diterapkan Mancini juga diakibatkan belum adanya chemistry di antara dirinya dengan punggawa Inter lain di sektor depan semisal Adem Ljajic, Stevan Jovetic, dan Ivan Perisic.
Inter jelas butuh perbaikan, situasi internal klub tentunya menjadi yang paling penting. Dahulu klub yang mengalami problem seperti ini kerap melakukan silenzio stampa atau tak berbicara kepada media. Entah Inter bakal melakukan hal yang sama atau tidak meski hal tersebut bisa membantu proses konsolidasi.
Yang pasti sosok pelatih, para pemain dan manajemen wajib duduk bersama dan mencoba untuk mencari solusi atas penurunan performa mereka. Menyatukan kembali visi dan misi yang mungkin sempat tercabik-cabik adalah keharusan.
Inter tak perlu malu belajar dari Juventus yang awal musim sering kesulitan dan meraih beberapa hasil minor namun bisa kembali beringas belakangan ini berkat konsolidasi apik antara manajemen, pelatih dan pemain.
Interisti juga sewajarnya meniru langkah Juventini dan Napolitano yang tak buru-buru panik saat kondisi klub pujaan mereka sedang labil. Hal tersebut nyatanya dapat membantu klub mereka lepas dari periode buruk.
Sudah saatnya Interisti melihat dengan sejujurnya bila klub yang mereka puja belum berdiri pada posisi ideal sebagai penantang Scudetto akibat inkonsistensi akut yang diderita plus gunungan masalah lain yang belum terselesaikan. Suka tidak suka, tim ini terlihat masih mentah.
Barangkali terkesan naif bila saya berkata musim masih panjang, namun kenyataannya memang seperti itu. Masih ada belasan pertandingan yang mesti dihadapi Il Biscione. Pembenahan dan perubahan juga membutuhkan waktu dan proses.
Meski sulit, letakkan kembali rasa percaya kepada Mancini dan pemain-pemain yang ada saat ini. Bersabar adalah kunci ketimbang terus-terusan merengek. Itu akan lebih elok ketimbang meneriakkan hal-hal yang justru bisa menjadi senjata makan tuan bagi Inter.
Tanpa bermaksud membela Erick Thohir, saya tidak mendaku sebagai fan berat beliau, namun ingat juga bila dahulu Massimo Moratti butuh belasan tahun sampai kemudian meraih impian besarnya. Pasca-terbang tinggi di awal musim, sudah sepantasnya bila Interisti kini kembali membumi.
#NonMollareMai