Belanda yang Penuh Masalah

Memiliki luas wilayah hanya sekitar 40.000 km2 tak membuat Belanda jadi negara yang minim tempat wisata. Dari barat ke timur, utara ke selatan, negara yang pernah menjadikan Indonesia sebagai koloninya selama 350 tahun ini punya segudang lokasi yang bisa memanjakan mata.

Sebut saja Keukenhof (Kebun Bunga) di Lisse, De Kubuswoningen (Rumah Kubus) di Rotterdam, Kaasmarkt (Pasar Keju) di Alkmaar, Het Spoorwegmuseum (Museum Kereta Api) di Utrecht sampai Madurodam (Taman Miniatur) di Den Haag.

Bagi penggemar olahraga, berkunjung ke Stadion Amsterdam Arena di Amsterdam dan Sirkuit Van Drenthe di Assen juga sesuatu yang tak boleh dilewatkan.

Keindahan dan keseruan yang ditawarkan tempat-tempat tersebut setidaknya dapat mengobati gundah yang menyelimuti hati. Tak terkecuali bagi mereka yang mengaku sebagai fans De Oranje alias tim nasional Belanda.

Pasca-tampil cukup menawan di Piala Dunia 2010 dan Piala Dunia 2014, walau tetap puasa gelar, prestasi negara asal pebalap muda Formula 1 (F1), Max Verstappen, ini justru merosot drastis dalam dua tahun terakhir.

Puncaknya tentu kegagalan Arjen Robben cs. melaju ke putaran final Piala Eropa 2016 kemarin akibat finis di peringkat empat grup A babak kualifikasi. Tiga alasan kegagalan Belanda lolos ke Piala Eropa 2016 bisa dibaca di sini.

Sedikit penawar dari peristiwa horor itu sempat dirasakan fans De Oranje tatkala anak asuh Danny Blind meraup tiga kemenangan, sekali seri, dan sekali tumbang di laga persahabatan dalam rentang Maret-Juni yang lalu. Harapan baru pun bersemi di dada bahwa Singa Oranye bakal mengaum lagi.

Akan tetapi, kekalahan 1-2 di partai persahabatan menghadapi Yunani (2/9) di kandang sendiri kembali memunculkan rasa was-was jika kubu yang saat ini bertengger di peringkat ke-26 dunia FIFA (per Agustus 2016) masih dalam kondisi semrawut dan kritis.

Padahal, babak kualifikasi Piala Dunia 2018 sudah menanti di depan mata. Kembali melihat kesebelasan jagoannya absen di sebuah turnamen sepak bola antarnegara paling bergengsi tentu jadi hal yang tak ingin dirasakan lagi oleh fans Belanda.

Konon, selama pagelaran Piala Eropa 2016 lalu, banyak fans Belanda yang “membelot” dengan mendukung tetangga mereka, Belgia. Sampai-sampai, mereka belajar dan menghafalkan chants yang biasa disenandungkan pendukung asli kubu De Rode Duivels, julukan Belgia.

Mungkin Anda juga tidak pangling soal spanduk yang dibentangkan suporter De Oranje bertuliskan kalimat “Good Luck in France. We Stay at Home” yang dilengkapi dengan emoticon sedih.

Suka tidak suka, fans Belanda memang harus mengakui jika kondisi kesebelasan favoritnya sedang berada di titik nadir.

BACA JUGA:  Menyikapi LGBT dalam Sepak Bola

Akibat performa angin-anginan yang secara konsisten ditunjukkan oleh Belanda, telunjuk publik pun mengarah kepada sosok Blind sebagai hoofdtrainer. Aroma sangsi yang ditunjukkan fans terhadap kapabilitas pria berusia 55 tahun tersebut memang beralasan.

Penampilan De Oranje asuhan Blind sering mengecewakan. Amburadul di lini belakang, memble di sektor tengah, dan tumpul di barisan depan seolah jadi trademark anyar kampiun Piala Eropa 1988 ini.

Rekor yang dibuat Blind setelah menggantikan Guus Hiddink sebagai hoofdtrainer pada Juli 2015 lalu pun terbilang minor. Hanya sanggup membukukan lima kemenangan, satu seri, dan lima kali tumbang. Empat dari lima kekalahan tersebut bahkan dicatat kala Belanda main di rumah sendiri. Mengkhawatirkan sekali, bukan?

Pendukung Belanda pun tak ragu menyanyikan chants anti-Blind di stadion tempat berlangsungnya laga timnas. Jangan tercengang juga bila di linimasa Anda bertebaran tagar #BlindOut sebagai bentuk kekecewaan yang dilampiaskan fans De Oranje kepada sang pelatih.

Beberapa nama bahkan sudah diapungkan publik untuk menggantikan posisi dari ayah Daley Blind tersebut, antara lain Frank Rijkaard dan Louis van Gaal yang saat ini memang berstatus tunakarya.

Tapi, sepenuhnya menyalahkan Blind atas kekacauan yang dialami Belanda agaknya tidak dapat dibenarkan. Sebab, chaos yang terjadi di timnas Belanda memang lebih dari sekadar performa di atas lapangan.

Di sektor kepelatihan, duo asisten pelatih, Dick Advocaat dan Marco van Basten yang diharapkan dapat membantu Blind dalam melaksanakan tugas mahaberat justru memilih untuk meninggalkan tim tak lama setelah menjabat posisi tersebut.

Pada Juli lalu, Advocaat memilih hengkang guna menangani klub raksasa Turki, Fenerbahce. Sementara van Basten baru-baru ini dikabarkan telah menerima tawaran FIFA untuk menempati salah satu pos penting. Kenyataan ini membuat Hans van Bruekelen, Direktur Teknik timnas Belanda, dan Blind pening bukan main.

“Setahun lalu, ketika menghubungi Advocaat dan memintanya untuk membantu proyek di timnas, saya mendapat sinyal positif bahwa kami bisa bahu-membahu dalam waktu yang cukup lama untuk membangkitkan timnas Belanda. Namun, apa yang terjadi kali ini benar-benar mengagetkan. Jujur saja, saya sedih dan kecewa,” terang Blind menanggapi hijrahnya Advocaat seperti dilansir dailymail.co.uk.

Sebagai tambahan, Hans Jorritsma yang berperan sebagai manajer tim juga bakal angkat kaki di penghujung tahun ini usai mengabdi selama dua dekade, terhitung sejak tahun 1996. Terlihat begitu pelik sekali, ya?

Problem di sektor kepelatihan tersebut diperparah dengan ketidakmampuan Belanda meminimalisasi ketergantungan mereka kepada sosok-sosok senior semisal Arjen Robben, Wesley Sneijder, dan Robin van Persie.

BACA JUGA:  Jerman Pantang Pulang, Jaga Peluang Lolos ke 16 Besar

Ketidakhadiran nama pertama yang kini didapuk sebagai kapten timnas bahkan sering membuat De Oranje tak bisa “hidup” ketika bertanding di atas rumput hijau. Ini jelas situasi yang miris bagi negara yang kondang akan kemampuannya menelurkan bakat-bakat muda penuh talenta.

Saat Robben, Sneijder, dan van Persie mengalami degradasi kualitas akibat gerusan usia, nama-nama belia seperti Riechedly Bazoer, Jeffrey Bruma, Vincent Janssen, Quincy Promes, dan Jetro Willems yang berulangkali mendapat kesempatan mengenakan seragam oranye belum seutuhnya mampu menggantikan peran para senior.

Lebih-lebih lagi dalam soal kepemimpinan. Namun hal ini juga terbilang cukup wajar mengingat umur young guns ini bahkan belum ada yang mencapai 25 tahun.

Ketika sosok-sosok senior dan vital seperti Robben, Sneijder dan van Persie absen, Belanda kehilangan figur pemimpin nan matang di atas lapangan. Betapa kini Belanda merasakan betul bahwa gap usia dan kualitas yang terlalu jauh antara generasi Robben dan generasi Janssen merupakan problem yang sungguh menyiksa.

Tak bisa ditawar lagi, Belanda butuh “sosok messiah” yang tidak mungkin lagi diperankan trio veteran tersebut. Sialnya, menemukan figur sesentral itu juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada proses panjang dan membutuhkan banyak pengorbanan yang mesti dijalani sebelum akhirnya De Oranje menemukan sosok tersebut.

Lebih jauh, di dalam tubuh federasi sepak bola Belanda (KNVB) sendiri tengah terjadi pergolakan. Direktur yang mengurusi sepak bola profesional, Bert van Oostveen, baru saja meletakkan jabatannya. Sejak Belanda gagal lolos ke Piala Eropa 2016 kemarin, desakan mundur telah berulangkali diarahkan kepadanya.

Van Oostveen sendiri pada awal tahun ini sempat menyebut bahwa Belanda harus melakoni proyek pembenahan yang menurutnya bakal memakan waktu sekitar sepuluh tahun.

Tak cuma perbaikan di timnas, namun lebih terstruktur, yaitu membenahi kompetisi liga Belanda di setiap level serta akademi sepak bola di penjuru negeri. Persis seperti pembenahan yang dilakukan Jerman dan Belgia beberapa tahun yang lalu.

Lewat perbaikan itu, KNVB berharap bahwa dalam rentang satu dekade ke depan, Belanda bakal kembali meramaikan kancah persepakbolaan Eropa maupun dunia. Tak hanya untuk timnas, tapi juga klub-klub Belanda yang telah lama jadi macan ompong di ajang kontinental.

Kini, tanggung jawab perihal proyek tersebut mesti diemban oleh Gijs De Jong yang sebelumnya duduk sebagai Direktur Operasional KNVB. Bila ingin segera kembali ke percaturan elit, maka proyek pembenahan ini tak boleh melenceng dari sasaran.

Selamat berbenah, Belanda!

#HupHollandHup

 

Komentar