FC Internazionale vs Juventus. Derby d’Italia, begitu labelnya. Juventus yang sedang mencari konsistensi di Serie A dan berada dekat dengan zona degradasi dijamu oleh Inter yang sedang on fire dan bertarung dengan lebih dari empat tim untuk satu posisi nyaman di zona Liga Champions.
Baik Inter maupun Juventus memainkan formasi dasar 4-4-2. Roberto Mancini memilih duet Jeison Murillo dan Miranda sebagai penjaga area tengah pertahanan Inter. Gary Medel bermain sebagai gelandang tengah yang bergerak di sepanjang area no. 6 dan no. 8. Ia ditemani Felipe Melo yang lebih banyak mengokupansi area di belakang Medel. Juan Jesus dan Ivan Perisic dimainkan di sisi kiri, sebagai bek kiri dan gelandang kiri. Sementara di kanan, Mancini memainkan Marcelo Brosovic sebagai gelandang sayap di-cover oleh Davide Santon yang bermain sebagai bek kanan. Mauricio Icardi diduetkan dengan Stefan Jovetic yang bertindak trequartista. Icardi sendiri bersikap selayaknya no. 9 ortodoks yang lebih banyak berdiri di garis terdepan dan tidak banyak terlibat dalam build-up serta fase bertahan.
Juventus memainkan formasi dasar yang sama dengan Inter, yaitu 4-4-2. Starting line-up yang diturunkan Massimo Allegri nyaris sama dengan yang dimainkannya kala menang atas Sevilla 2-0. Bedanya, Simone Zaza bermain sebagai starter sementara Paulo Dybala dibangkucadangkan. Di tengah, Allegri juga tidak memainkan Hernanes. Posisinya diisi oleh Claudio Marchisio.
Skor akhir adalah 0-0. Sejatinya, pertandingan ini bukan hanya tanpa gol. Tapi bahkan nyaris tanpa penterasi berarti ke sepertiga pertahanan lawan (terutama danger zone). Sedikit informasi bagi anda yang belum familiar dengan danger zone, berikut kami sampaikan grafis ilustratif.
Kurangnya penetrasi yang menjanjikan ke area-area tersebut di atas, memperburuk proses penciptaan peluang kedua tim. Sesuatu yang tidak mengherankan. Karena baik Inter maupun Juventus, sepanjang musim ini, tidak memiliki catatan (terlalu) impresif dalam statistik expected goal (xG), yaitu sebuah statistik yang memberikan data (awal) mengenai dari mana saja tembakan dilakukan yang mana kualitas tembakan dinilai berdasarkan data histori gol dari area tembakan yang sama yang dilakukan oleh klub lain dari kompetisi yang sama.
Dalam pertandingan ini sendiri buruknya kreativitas di sekitaran sepertiga akhir oleh kedua tim bersumber dari variabel yang berbeda. Sulitnya Inter masuk ke zona 5 dan 2 Juventus dikarenakan isu yang tampak sejak fase-fase awal serangan. Dalam build-up play-nya Il Nerazzurri terlihat terlalu rigid. Pola pressing blok menengah Juventus yang gelombang pertamanya bersumber dari duet Alvaro Morata dan Zaza membuat pola sirkulasi Inter lebih banyak berbentuk horizontal U. Dalam buku Pep’s Confidential, Pep Guardiola menyebutnya U-shape.
“… The whole shape of the ball movement draws out a capital U. Sometimes Neuer is involved in that passing movement too, even Lahm at pivote. It is a horizontal trajectory…”
“Gentlemen, this is tiquitaca and it is shit. We’re not interested in this type of possession. It’s
totally meaningless. It’s about passing for the sake of it…”
– Pep Guardiola tentang U-shape dan tiquitaca –
Melalui pressing dari kedua no. 9-nya Juventus mendorong Inter bermain dalam bentuk U (atau mungkin pula para pemain Inter yang menceburkan diri sendiri ke dalamnya). Banyak sekali situasi serupa di mana Inter mengulangi metode serupa. Pola progresi mereka pun (saat Inter tampak menemukan celah melakukannya) jauh dari efektif, baik secara teori maupun statistik. Dalam progresinya pemain belakang Inter banyak melepaskan umpan jarak jauh yang berhasil dibuang dipotong oleh pemain-pemain belakang Si Nyonya Tua dalam jumlah yang lebih banyak, ketimbang sebaliknya yang dilakukan oleh Juventus.
Bila dikatakan hal ini merupakan rencana serang utama Inter, bisa diperdebatkan. Kenapa? Karena Mancini merupakan tipe manajer yang mengandalkan build-up dari belakang (play out of back). Kalau ternyata Inter gagal/tidak memainkan metode serang seperti ini, sangat mungkin hal tersebut bukanlah faktor kesengajaan.
Dan bila coba ditelaah sedikit lebih dalam, salah satu sebab ketidak sengajaan ini adalah minimnya keterlibatan Gary Medel di dalam deep build-up Inter. Medel merupakan ball-playing defender yang sering kali digunakan oleh Jorge Sampaoli dalam merusak kompaksi pressing lawan melalui kemampuan lasser pass-nya. Menghadapi Juventus,Mancini memaminkan Medel di lini tengah.
Ketika Inter mendapatkan kesempatan melakukan build-up dari belakang, kerap kali terlihat ruang vertikal antara lini tengah dan belakang. Empat pemain belakang “terpisah” dengan pemain-pemain lain di depannya. Sebagai perbandingan, di Chile, selain Medel bermain dari lini belakang dalam pola dasar 4 bek, sebagai tambahan taktik build-up, Sampaoli memainkan salida lavolpiana dengan cara menarik gelandang bertahan (Marcelo Diaz) masuk ke lini belakang dan mentransformasi build-up shape Chile menjadi 3 bek. Inter tidak melakukan ini (secara konstan). Yang pada gilirannya mempengaruhi progresi serang Inter. Di sisi lain, penjagaan situasional oleh kedua penyerang Juventus pada no. 6 Inter ikut serta mempersulit Inter melibatkan kedua no. 6-nya dalam deep build -up.
Bila tidak memungkinkan melakukan deep build-up, Inter (terutama Samir Handanovic) akan melepaskan umpan jauh ke depan (long goal kick). Yang paling sulit dikendalikan dari umpan jenis ini, adalah lini belakang Juventus ditambah Paul Pogba dan Sami Khedira memiliki bawaan fisik yang secara alami cocok dengan duel bola-bola atas. Pun beberapa kali Inter berhasil memetik keuntungan dari bola kedua, hasil long goal kick, lebih dikarenakan oleh pelanggaran-pelanggaran pemain Juventus sendiri yang telat mengambil posisi bertahan dalam timing yang tepat.
Tujuh dari delapan tembakan Inter dilakukan dari luar kotak penalti, dari zona dengan nilai strategis rendah. Dari tujuh tendangan tersebut dua di antaranya sedikit mampu membangkitkan adrenalin penonton. Yang pertama oleh Brosovic, yang kedua oleh Jovetic. Tetapi keduanya menjadi mungkin pun lebih disebabkan oleh kemampuan individu.
Catatan tambahan untuk Mancini, adalah walaupun Inter kerap kali sulit berprogresi, tetapi ada kalanya mereka sukses menciptakan kesempatan serang yang menjanjikan. Dan (sangat banyak) dalam situasi ini, Stefan Jovetic terlibat di dalamnya.
Posisi Jovetic sebagai no. 9 yang non-ortodoks memberikannya kesempatan bermain lebih deep ketimbang Icardi, yang dimainkan sebagai goal-getter. Melalui Jovetic-lah Inter mendapatkan akses vertikal yang lebih pas. Melalui pergerakan drop-deep Icardi, ke sepertiga atas, Inter mampu mendapatkan jalur umpan ketiga (3rd passing lane). Namun, hal ini pun tidak terlalu banyak membantu daya ledak serangan Inter, dikarenakan skema serangan Inter untuk masuk ke fase berikutnya banyak dihambat oleh overloading Juventus yang didukung oleh kompaksi stabil.
Bagaimana dengan Juventus? Dalam hal deep build-up, Juventus lebih baik dari Inter. Ini kenapa saat anda menonton pertandingan, Juventus tampak “lebih sabar”, “lebih terorganisir”, atau “lebih menguasai pertandingan”. Semua kesan “lebih” tadi tidak lain tidak adalah karena Juventus mampu memainkan pola progresi dengan bola-bola pendek sebagai rencana utamanya. Juventus mampu melakukan progresi dalam tahapan-tahapan yang lebih save ketimbang Inter.
Beda antara pola progresi deep build-up Juventus dan Inter adalah keterlibatan pemain tengah dan penyerang Juventus. Dalam deep build-up Juventus, Claudio Marchisio serta Paul Pogba atau Cuadrado (sesekali) ikut drop deep untuk menjemput bola sekaligus menghindari Juventus dari situasi kalah jumlah. Saat Juventus harus masuk ke fase progresi berikutnya, kedua penyerangnya (Zaza atau Morata, yang mana yang memungkinkan) akan bergerak area yang lebih dalam, mayoritas ke sepertiga tengah. Keikutsertaan ini memberikan akses vertikal bagi Juventus.
Cara Juventus mengikutsertakan penyerang dalam build-up nyaris sama dengan yang dilakukan Inter. Bedanya, kedua penyerang Juventus terlibat aktif. Sementara dari Inter Jovetic lebih banyak melibatkan diri ketimbang Icardi.
Pada fase penciptaan peluang, pertukaran posisi di antara gelandang-gelandang Juventus dengan para penyerangnya juga lebih terlihat masif. Khedira yang banyak terlihat berorientasi pada pergerakan vertikal, beberapa kali bergerak diagonal ke half-space dan sayap untuk memberikan cover terhadap area tersebut ketika gelandang sayap Juventus bergerak ke area tengah.
Cara bermain Juventus ini banyak menolong mereka dalam fase deep build-up dan fase penciptaan peluang. Tapi pada saat fase eksekusi, Juventus tidak bisa dikatakan sangat impresif. Mereka sedikit lebih baik dari Inter, dari sisi jumlah tembakan maupun kualitas. Tapi secara umum, kulaitas yang tercatat masih berada dalam level normal. Pengecualian bisa diberikan kepada sebuah clear cut chance yang diperoleh oleh Sami Khedira.
Faktor individu
Felipe Melo merupakan salah satu pemain yang off-form. Di awal pertandingan, anda bisa katakan Melo bermain “lebih ke kiri” atau dengan kata lain, meripakan tugas Melo untuk melindungi sisi kiri (baik half-space maupun sayap kiri). Tetapi pada saat Inter berada dalam bentuk blok rendah dalam mode bertahan yang settled, sering kali terlihat Medel yang sibuk bergerak di kedua half-space untuk membantu memberikan covering atau bahkan sebagai presser utama. Dalam situasi spesifik semacam ini baru terlihat kurangnya keterlibatan Melo dalam permainan bertahan Inter. Termasuk kurangnya inisiatif darinya saat Inter berada dalam fase serang.
Contoh lain, ketika Inter berada dalam fase bertahan. Melo beberapa kali meninggalkan posnya dengan timing yang kurang tepat, yang mengakibatkan kompaksi vertikal Inter makin lemah. Sebuah momen di babak pertama memperlihatkan hal tersebut. Sami Khedira yang mendapatkan bola di sepertiga tengah, tiba-tiba mendapatkan press dari Melo. Pressing ini justru membuka celah vertikal di zona 5 Inter. Khedira yang menyadari hal tersebut segera memberikan umpan pada Zaza. Bila Zaza mampu melepaskan umpan pada Morata yang berdiri bebas, kemungkinan Juventus menciptakan gol pertama sangat besar. Sayangnya, tidak.
Apa yang dilakukan Melo pada dasarnya bukan sepenuhnya kesalahan individu darinya. Pressing Melo pada Khedira juga disebabkan oleh zonal-marking yang diterapkan Mancini yang lebih kepada man-oriented zonal-marking yang dikombinasi dengan man-to-man marking oleh bek tengah pada penyerang-penyerang Juventus. Dalam varian man-oriented, seorang pemain tim bertahan (off possession) akan segera melakukan penjagaan individu terhadap pemain lawan yang masuk dalam area pertahanannya. Karena dalam sangat banyak situasi penjagaannya bersifat 1v1, sangat mungkin pemain tim bertahan dilewati pemain lawan tanpa covering berarti.
Dengan pola progresi, oleh lini belakang Inter, yang banyak melepaskan umpan jauh ke depan saat Juventus melakukan pressing blok tinggi, penonton mendapatkan kesan bahwa pemain-pemain Inter tidak memiliki pressing-resistance (kemampuan pemain untuk tetap melindungi bahkan berprogresi dengan ola saat dirinya dalam pressure tinggi) yang baik. Kesalahan Ander Murillo di babak kedua merupakan salah satu contoh kecil.
Dari Juventus, Simone Zaza beberapa kali terlihat menyia-nyiakan sitausi serang yang awalnya terlihat pas. Beberapa kali ia telat sepersekian detik dalam mengumpan atau dalam momen lain ia menyentuh bola (sedikit) terlalu banyak. Yang akhirnya, menghambat Juventus mendapatkan struktur serang yang mungkin saja “beda cerita”.
Kesimpulan
Bagaimana Allegri melibatkan pemain-pemain depannya dalam build-up dan defensive-play merupakan taktik yang sudah lama diusungnya. Dengan cara ini Juventus sering kali mampu menciptakan 3rd passing lane, overloading berharga, serta kompaksi pertahanan yang sangat baik.
Inter bermain off-form. Dari sisi taktik dalam pertandingan ini, bisa dikatakan Mancini kalah oleh Allegri. Fluidity para pemain Inter dari sisi pertukaran posisi kalah dinamis dengan yang dilakukan Juventus. Variasi deep build-up Inter juga tidak sevariatif Juventus.
Proses penciptaan peluang dan eksekusi keduanya sama-sama tidak impresif. Salah satu sebabnya adalah, sedikitnya penetrasi dan eksekusi strategis ke dan sekitar danger zone lawan (expected goal). Hal ini harus diperbaiki, mengingat klub-klub yang menjadi penguasa di kebanyakan liga besar Eropa memiliki catatan yang sangat unggul dalam hal ini.