Siapa pun yang memenangkan gelar Liga Champions (LC) 2016 sejarah baru dilahirkan. Dan sejarah itu berpihak kepada Zinedine Zidane yang sukses mencatatkan namanya sebagai pelatih Prancis pertama yang mengangkat kuping besar yang juga berarti Diego Simeone gagal membawa Atleti menjadi juara untuk pertama kalinya.
Serangan Real Madrid
Zidane memilih memainkan Casemiro di belakang duo no. 8, Toni Kroos dan Luka Modric. Dalam permainan bertahan (saat sedang tidak menguasai bola) Real, pergerakan horizontal yang berorientasi pada letak bola ketiganya sangat kentara dikarenakan keharusan bagi Casemiro, Modric, dan Kroos untuk mengamankan 3 koridor vertikal terdekat.
Penempatan posisi gelandang tengah Los Blancos dalam fase membangun serangan (build-up) dari belakang juga menarik untuk diamati. Secara umum, Zidane menempatkan 7 pemain dalam fase ini.
Contoh pertama ketika bola berada di sepertiga awal di sisi kiri. Kedua bek sayap El Real tidak serta-merta naik sejajar dengan pos 8. Dani Carvajal dan Marcelo hanya berada sedikit lebih tinggi dari dua bek tengah. Sementara Casemiro dan Kroos berdiri sejajar bek sayap. Luka Modric sendiri mengisi pos 8 di half-space kanan. Di sini Real menempatkan 6+1 pemain dalam build-up mereka.
Contoh kedua ketika bola berada dekat sepertiga tengah di sisi kiri. Dalam situasi ini, Real bermain dengan 3 pemain di garis paling belakang; Pepe, Sergio Ramos, dan Kroos yang turun ke half-space kiri untuk menjemput bola.
Dengan adanya Kroos, Marcelo mengambil posisi lebih ke atas, di bek sayap. Sementara Modric dan Casemiro mengisi pos no. 6, dengan Modric berada di half-space kanan. Sedikit berbeda dari contoh pertama, kali ini Real benar-benar menempatkan 7 pemain dalam build-up dari belakang.
Bagaimana Atleti menghadapinya? Seperti yang sudah-sudah, Simeone memainkan pressing yang berorientasi ke pemain lawan terdekat (man-oriented zonal marking). Kedua no. 9-nya menutup akses ke tengah kepada Casemiro, gelandang sayap mengawasi bek sayap lawan, dan Gabi Fernandes serta Augusto Fernandez mengawai kedua no. 8 Real. Tetapi dalam praktiknya, jenis pressing Atletico pun bisa menyesuaikan diri.
Perhatikan adanya jarak antara 6+1 pemain Real dengan trio di depan. Qo’id Naufal menyebutnya sebagai Zidane’s way. Sang juru taktik membentuk struktur build-up yang mana trio serang dibiarkan di area atas demi merenggangkan kompaksi vertikal Los Rojiblancos.
Ini dilakukan bila sewaktu-waktu terbuka peluang untuk langsung memberikan bola kepada 3 penyerang. Dengan memperlebar jarak vertikal dengan lini belakang Atleti, Real berpeluang memainkan bola-bola panjang ke trio BBC (Bale, Benzema,Cristiano) yang berpeluang menciptakan situasi 1v1.
Selain berpeluang menciptakan pertarungan 1v1, Zidane juga sedang memperkecil kemungkinan bagi Atletico untuk melakukan overload (menang jumlah) yang menyusahkan penetrasi Real Madrid ke kotak penalti Atleti.
Skema ini terhitung sulit dijalankan, apalagi ketika menghadapi tim asuhan Simeone yang pandai “meniadakan ruang”. Tetapi Zidane beruntung karena ia memiliki 2 pemain dengan pressure resistance-kemampuan untuk tetap tenang dalam tekanan lawan-luar biasa, Modric dan Kroos.
Saat pressing-trap Atletico ditaklukan dan bola berhasil menjangkau 1 dari 3 pemain terdepan Real, segera terlihat bagaimana baiknya kemampuan individu 1v1 dan pergerakan tanpa bola penyerang-penyerang El Real yang mampu membuka ruang serang yang menjanjikan.
Selain kemampuan Modric (dan Kroos) tadi, rajinnya Gareth Bale turun jauh ke bawah, baik untuk mengejar lawan atau melakukan backward pressure-tekanan pada lawan yang dilakukan dari arah punggung lawan dan menghadap ke gawang sendiri -juga memainkan peranan penting.
Situasi semacam ini terjadi terutama dalam fase bertahan pasif maupun transisi bertahan. Dengan pergerakan Bale jauh ke belakang, Real beberapa kali mampu menghentikan penetrasi lawan sekaligus mendapatkan penguasaan bola dan kesempatan bertransisi menyerang yang cepat, memanfaatkan kecepatan mengagumkan Bale.
Ketika kemudian progresi Real berhasil masuk ke sepertiga akhir, makin terlihat bahwa ketiga striker-nya diinstruksikan untuk bergerak dengan orientasi yang masif terhadap posisi bola berada. Sering terlihat, Bale, Benzema, dan Cristiano Ronaldo berada di sekitar half-space dan area tengah terdekat yang sama. Atau, paling tidak, dua dari ketiganya berada di sisi bola dan satu di antara mereka berada di half-space atau bahkan sayap jauh.
Dalam kondisi ini Atletico mampu membentuk struktur blok dengan kompaksi yang sangat baik. Tetapi, lagi-lagi, kemampuan individu Bale dan Benzema berkali-kali mampu membuat Real mampu mempertahankan penguasaan bola.
Di sisi lain, demi semakin merusak konsentrasi bentuk Atletico, salah satu dari Kroos atau Modric akan melakukan pergerakan vertikal masuk ke zona 14 (tengah tepat di depan kotak penalti lawan) bahkan kotak 16, bila memungkinkan. Tetapi, secara umum, pergerakan dua no. 8 Real ini bisa dikatakan sebagai pergerakan pendukung yang mana keduanya lebih banyak berjaga di zona 14.
Pertahanan Atletico Madrid
Seperti yang disebutkan di atas, pressing El Cholo –julukan Diego Simeone— berorientasi kepada penjagaan pemain lawan. Skema sederhananya, terutama ketika bola berada di sayap, bek dan gelandang sayap dibantu oleh salah satu gelandang tengah terdekat + backward-pressure dari salah satu penyerang akan mencoba mengisolasi pemain-pemain Real.
Untuk menghadapi taktik semacam ini, Zidane menginstruksikan semua no. 9-nya untuk aktif masuk ke tengah ke pos no. 10 atau 8 demi menyeimbangkan jumlah pemain. Bila bola berhasil diamankan, para penyerang Real akan masuk ke dalam struktural blok Atletico dan mengokupansi celah antarlini belakang dan tengah pertahanan Atleti. Tujuannya jelas, menciptakan ruang besar di masing-masing sayap.
Atletico menghadapinya dengan cara, semua gelandang dan bek merapat ke half-space dan tengah ditambah kedua penyerang berorientasi kepada pergerakan ketiga gelandang tengah Real. Orientasi penyerang Atletico di sini membuat bentuk mereka terkadang terlihat seperti 4-4-1-1 atau 4-4-2-0.
Selain itu, pergerakan horizontal Saul Niguez dan Koke memperlihatkan bagaimana pentingnya bagi Atletico untuk mereduksi habis-habisan ruang horizontal pemain-pemain Real. Baik Saul maupun Koke terlihat bergerak sampai ke half-space yang jauh dari posisi awal mereka. Tujuannya? Menciptakan superioritas jumlah yang stabil di sekitaran area tengah.
Sedikit celah bisa kita observasi dalam pressing blok tinggi Atletico Madrid. Rendahnya kompaksi dalam pressing blok tinggi mereka membuat Los Rojiblancos tidak dapat memainkan gegenpressing. Struktur build-up Real dan orientasi penjagaan dalam sistem zonal marking Simeone menjadi penyebab utama lemahnya bentuk-dalam-mendukung-gegenpressing-yang-stabil.
Serangan Atletico
Dari belakang, bila memungkinkan, bola akan diprogresi melalui Gabi. Dari sang kapten, arah serangan Atletico sangat jelas terlihat, yang ditentukan oleh ketatnya Real menjaga area tengah dan half-space.
Soliditas barikade area tengah Real memaksa bola disirkulasi ke sayap. Selain itu, kurangnya pergerakan Torres atau Griezmann ke pos 10 demi menciptakan 3rd line passing lane-umpan yang melewati ruang di antara dua pemain lawan-di ruang antarlini pertahanan Real juga turut memaksa orientasi serangan Atletico mengarah ke sayap.
Kelemahan lain Atletico Madrid adalah struktur serangan sayap mereka. Sering kali kita melihat hanya ada 1-2 pemain di sekitar area sayap yang membuat pertahanan Real dengan sangat mudah mengisolasi serangan Atleti. Dengan hanya 1-2 pemain, Los Galacticos sangat terbantukan untuk menciptakan overload 2v1, 3v1, atau 4v2, misalnya.
Babak kedua
Babak Simeone melakukan perubahan. Demi mendapatkan lebih banyak pergerakan vertikal demi penetrasi ke kotak penalti El Real, ia memasukan Yannick Ferreira Carrasco menggantikan Fernandez.
Atletico bermain dalam bentuk 4-1-4-1/4-3-3, yang dalam bentuk awal pressing-nya tetap mengacu pada pola 4-4-2. Antoine Griezmann bergerak dari sayap kanan, Carrasco mengisi gelandang kiri. Koke dan Saul bermain di masing-masing half-space, dan Gabri berperan sebagai no. 6.
Wajah serangan Atletico tampak sangat berbeda. Di babak kedua, dengan bantuan formasi dasar 5 gelandang, Atletico dapat menciptakan struktur serangan sayap yang lebih ideal. Mereka berhasil melakukan overload di sayap untuk masuk dari sisi yang sama. Sesuatu yang sering Simeone lakukan jauh sebelum pertandingan ini.
Juga, dengan bentuk 5 gelandang, kontrol spasial dalam progresi Atletico lebih stabil. Seperti yang terjadi dalam proses gola Carrasco pada menit ke-79.
Keharusan untuk menyamakan kedudukan, di final LC menghadapi rival abadi, membuat permainan Atletico babak kedua berubah drastis. Struktur dalam grafis di atas memperlihatkan hal tersebut. Anak asuhan Diego Simeone habis-habisan menempatkan pemain lebih banyak di sekitar kotak penalti Real. Yang mana mereka lakukan secara konstan demi menyeimbangkan skor.
Di lain kesempatan, walaupun tidak dipraktekan secara konsisten, Atletico juga sukses membentuk pola berlian dalam penetrasi sayap yang mereka mainkan. Pola berlian ini selain mampu menyamakan jumlah untuk menghadapai overload Real, juga menciptakan jalur umpan yang lebih banyak, karena pemegang bola memiliki 3 jalur umpan dalam bentuk berlian.
Gencarnya Atletico berprogresi sebanyak mungkin, terbantukan oleh keputusan Zidane menarik keluar Toni Kroos. Gelandang no. 8 asal Jerman ini merupakan seorang metronom sejati. Ia mampu melindungi bola dengan tubuhnya, ia mampu melepaskan umpan satu sentuhan dalam ruang yang sesak, ia juga memiliki umpan jauh yang sangat akurat.
Dan Real, kehilangan kemampuan seperti ini. Kalau saja Atletico memenangkan pertandingan, keputusan Zidane terhadap Kroos sangat mungkin menuai kritik luas.
Di sisa pertandingan, terutama sekali di babak tambahan waktu, stamina kedua tim terlihat sudah sangat terkuras. Backward pressing Atletico dan kedisiplinan kedua tim dalam mengokupansi ruang demi terjaganya kompaksi terlihat berbeda. Kram yang menyerang beberapa pemain juga turut mempengaruhi permainan tim secara keseluruhan.
Selamat untuk Real Madrid. Selamat untuk Zinedine Yazid Zidane. Los Galacticos sukses merebut gelar ke-11 Liga Champions.