Membandingkan sepak bola Indonesia dan Thailand, pada titik tertentu, adalah perbandingan yang tak sebanding.
Tentang bagaimana Negeri Gajah Putih sudah beberapa puluh langkah di depan kita, tentang bagaimana kasta Thailand bukan lagi sepak bola tingkat ASEAN, dan hal-hal lain yang dibicarakan berkali-kali untuk membandingkan dua negara ini.
Berbulan-bulan sebelum Piala AFF 2016, Kiatisuk Senamuang sudah menyiapkan pasukannya untuk berlaga di Pra-Piala Dunia 2018 dan berhasil lolos sampai babak kualifikasi ketiga untuk bertarung demi tiket lolos ke Rusia dua tahun mendatang.
Lima bulan lalu, saat Indonesia masih berbenah jelang pencabutan sanksi dari FIFA, Teerasil Dangda dkk., sudah berjibaku meladeni Arab Saudi, Irak, Uni Emirat Arab, bahkan Jepang.
Beberapa hari jelang laga perdana kontra tim nasional Garuda di AFF 2016, Kiatisuk dan anak asuhnya “sukses” menahan imbang tim kuat Asia, Australia, dengan skor akhir 2-2.
Berbeda dibandingkan Boaz Solossa dkk., timnas Thailand memainkan sepak bola dengan intensitas tinggi. Mereka memang terbiasa bermain dengan ritme pertandingan yang intens dan taktis.
Thailand mudah saja berganti formasi dan taktik di tengah pertandingan. Itu bukan suatu hal luar biasa sebenarnya. Tim sepak bola modern memang harus mampu memainkan lebih dari satu taktik dalam satu pertandingan.
Jadi tak heran rasanya kenapa Thailand melaju mulus ke final AFF 2016 dengan catatan ciamik dan diprediksi akan menjadi juara dengan cara yang tak akan kelewat susah.
Tidak heran juga sebenarnya mengapa Charyl Chappuis bahkan hanya dipersiapkan sebagai pemain pengganti, walau kualitas eks pemain timnas junior Swiss ini satu hingga dua tingkat di atas BayuPradana.
Thailand memainkan sepak bola dengan ritme yang secara jujur harus kita akui, tidak akan mampu dicapai Indonesia dalam satu atau dua tahun ke depan, andai situasi sepak bola nasional kita masih busuk seperti tahi ayam.
Namun, sepak bola, ajaibnya, tak selalu tentang pertimbangan matematis dan catatan superioritas di atas kertas semata. Ada kalanya seorang tim dengan kualitas pemain kelas satu dapat merasakan kegagalan yang pahit.
Mungkin Anda bisa mencoba menerka perasaan Paolo Maldini pada 2005 lalu kala seorang Djimi Traore mampu meraih gelar Liga Champions di malam surealis Istanbul itu.
Ada kalanya sebuah tim memainkan sepak bola yang tak amat baik dan sempurna, justru menjadi pemenang. Ini bukan kisah Cinderella, seperti cuap Ahmad Khadafi di laman Facebook-nya. Bukan juga dongeng kuda hitam yang banyak disebut orang di linimasa daring soal kiprah Indonesia di AFF 2016.
Ini hanya satu dari segelintir kisah bahwa tepat ketika manusia merasa bisa memprediksi apa yang akan terjadi di lapangan hijau, sepak bola kembali menunjukkan bahwa kita, manusia bodoh yang tidak tahu diri, akan selalu salah.
Misalkan banyak pundit beranggapan Thailand akan dengan mudah menggulung anak asuh Alfred Riedl di laga hari Rabu (14/12) lalu, mungkin hanya penghuni Bumi yang berpaspor Indonesia dan ber-KTP WNI saja yang masih percaya bahwa keajaiban itu ada.
Bahwa Indonesia mampu mengalahkan Thailand dengan kondisi sepak bola kita sedang sekarat. Bahwa di tengah carut-marut kompetisi lokal, surealisnya, timnas akan mampu menang atas Thailand dan Kiatisuk.
Dan ajaibnya, itu semua terjadi. Hari Rabu lalu, Indonesia mengalahkan Thailand dengan cara yang akan membuat Kiatisuk geleng-geleng kepala hingga sesampainya beliau di Bangkok nanti.
Final Leg II: tempo, tempo, dan tempo
Indonesia bukan negara yang “kaya taktik” dalam urusan sepak bola. Saya pun bukan analis taktik yang handal.
Tapi satu yang saya tahu dan pegang teguh sampai saat ini bahwa, sepak bola di atas lapangan adalah perkara tempo. Itulah alasan utama kenapa pemain terbaik sepanjang masa bagi saya adalah Juan Roman Riquelme, bukan Diego Maradona atau Lionel Messi, apalagi Cristiano Ronaldo.
Legenda Argentina dan Boca Juniors ini adalah salah satu pemain yang bisa sesuka hati memainkan tempo dengan cara yang ia mau. Ia aktor utama kenapa La Pausa begitu dipuja di La Bombonera.
Publik Boca tahu, ketika sang legenda menguasai bola di kakinya, sejatinya ia sedang mengarahkan tempo pertandingan mengikuti irama yang ia mau. Kakinya adalah sumber imajinasi, kreatifitas, juga mimpi. Di kaki Riquelme pula, tempo menjadi sesuatu yang teramat penting di sepak bola.
Tempo adalah hal yang samar dan acap kali tak terlihat dengan jelas. Tapi penonton, baik di stadion atau layar kaca akan tahu dan sadar kapan tempo dalam suatu pertandingan meningkat dan menurun dalam menit-menit tertentu. Itulah yang saya harapkan akan mampu dipahami Alfred Riedl jelang laga kedua di Bangkok nanti.
Riedl harus tahu bahwa tempo menjadi begitu penting mengingat kita sudah unggul satu gol. Riedl harus tahu bahwa tempo penting karena Thailand pun mengantongi keuntungan satu gol tandang. Riedl harus paham itu semua agar mampu menurunkan komposisi pemain yang mampu mengatur tempo.
Tempo adalah perkara ritme. Saya tak cukup punya ilmu untuk menjelaskan bagaimana kompaksi para gelandang dan pemain belakang Indonesia di babak kedua mampu membuat Thailand kesulitan Rabu kemarin. Anda bisa membaca analisis pertandingan yang ditulis Ryan Tank di sini.
Tapi ini yang menjadi catatan penting saya: sebuah umpan panjang Rizki Pora untuk Boaz yang berlari di halfspace kanan pertahanan Thailand pada menit sekitar 61-62 saat itu.
Umpan panjang itu diterima Boaz dengan baik. Kapten Persipura tersebut lalu berlari masuk ke pertahanan Thailand dan melepas umpan silang yang mampu diamankan kiper Thailand dengan baik. Umpan panjang dan penetrasi Boaz itu, secara ajaib, mengubah tempo pertandingan.
Indonesia menemukan ritme serangannya.
Seketika, pemain Indonesia tampil menekan dan menggebu dengan ritme yang tinggi. Rizki Pora dan Zulham Zamrun menekan lini belakang Thailand dengan menutup jalur umpan dari belakang ke tengah.
Anak asuh Kiatisuk mulai kewalahan melakukan build-up play sampai akhirnya sebuah misplaced pass dari pemain Thailand mengawali gol penyama kedudukan yang dicetak Rizki Pora.
Tempo ini hal yang abstrak. Susah diraba dan disentuh tapi mampu dilihat dan dirasakan oleh penonton. Kalau penonton saja merasakannya, seorang pelatih, terlebih pemain di atas lapangan tentu merasakannya lebih nyata, bukan?
Dan tempo inilah yang kelak akan menentukan bakal berakhir atau tidaknya puasa gelar kita di turnamen bergengsi sepak bola tingkat ASEAN.
Indonesia menang Rabu lalu, karena mereka menaikkan (atau menemukan momen untuk meningkatkan) tempo pertandingan. Bukan suatu yang kebetulan pula bukan bahwa dua gol Indonesia kala kalah 4-2 di laga perdana Grup A lalu juga terjadi beberapa menit usai jeda babak pertama?
Meminjam kata Johan Cruyff, coincidence is logical, pun begitu pula dengan dua gol Indonesia di laga pertama final kemarin. Semuanya logis. Kata “keberuntungan” mungkin bisa kita sematkan di proses kemenangan Indonesia kemarin.
Namun di atas semua itu, laga kedua yang berat di Bangkok sudah menanti. Bagi saya, juara atau tidaknya nanti, ditentukan oleh seberapa mampu timnas menguasai tempo pertandingan.
Dan secara pribadi, saya percaya bahwa tempo bukan hanya perkara bermain umpan pendek rondo ala Barcelona sembari menguasai bola selama mungkin. Tempo bisa dinaikkan dalam sebuah umpan panjang kala menyusun serangan balik.
Tempo juga bisa dinaikkan dengan mengejar tiap second ball usai percobaan umpan jauh yang gagal. Tim yang mampu menguasai tempo dan tahu kapan menaikkan dan menurunkannya di satu pertandingan, dialah sang pemenang.
Selain tekanan suporter Thailand dan kualitas para pemain Thailand itu sendiri, musuh pemain timnas kita hanya satu, hantu bernama antiklimaks.