Bagaimana kalau kita bercita-cita menjadi pemilik klub sepak bola? Apa yang mungkin akan kita lakukan? Membangun klub dengan gairah menggebu ala Massimo Moratti di Internazionale Milano? Atau menjalankannya sebagai mesin uang ala keluarga Glazer di Manchester United dan duet Stan Kroenke-Ivan Gazidis di Arsenal?
***
Ketika Sports Interactive menjadi fenomena global dan digandrungi banyak orang karena produk permainan Football Manager, para developer game virtual seharusnya mulai sadar, sepak bola yang semakin kapitalis dan berjalan tak ubahnya bisnis yang menggiurkan, perlu penyaluran minat yang baik, misalnya, dengan membuat sebuah permainan virtual untuk menjadi pemilik klub.
Sepak bola sudah menjadi bisnis, jauh sebelum Anda sadar, bahwa teriakan bergairah Anda di tribun stadion, hingga umpatan kekesalan di depan layar kaca saat menonton sepak bola, menghasilkan banyak perputaran uang yang masif. Ini bukan kondisi yang menyenangkan, karena suporter menjadi sapi perah bagi klub.
Tapi tidak juga disebut kondisi yang menyebalkan, karena relasi suporter dan klub juga memerlukan sifat materialistik untuk perkembangan sebuah tim. Memangnya, situ mau mendukung klub sepak bola yang kere dan miskin prestasi? Apalagi di zaman modern ini, ketika gelar menjadi titik prestisius tertinggi yang dikejar banyak tim, kita seharusnya sadar, menjadi juara adalah tujuan semua tim. Bahkan untuk tim dongeng seperti Leicester City musim ini.
Tengah pekan lalu (17/2), Brian Reade dalam kolom Mirror, mengkritisi tentang alasan kenapa seharusnya pemilik klub sepak bola adalah orang yang memang benar-benar bergairah tentang sepak bola. Bukan diisi para eksekutif borjuis yang isi kepalanya hanya uang dan sejuta cara tentang bagaimana mengeruk isi dompet suporter sebanyak mungkin demi kemaslahatan mesin bisnis mereka.
Apa yang dialami Manchester United saat ini, sedikit banyak, karena tim paling tenar di Inggris ini berjalan ke arah menjadi roda bisnis yang besar dan menguntungkan, sejak diakuisisi Malcolm Glazer pada 2005.
Pasca-kedatangan Glazer, prestasi United memang tetap stabil dan konsisten, selain karena pesona dan kharisma Sir Alex Ferguson, juga karena relasi yang baik antara Fergie dengan CEO saat itu, David Gill.
Kebijakan transfer United masih brilian, dan prestasi yang stabil masih bisa direngkuh, walau beberapa benalu menyebalkan masih mengganggu di tengah gemerlapnya tim raja minyak, Chelsea dan Manchester City. Tapi pasca-pensiunnya Ferguson dan David Gill dari kursi CEO, prestasi United adalah apa yang kemudian tampak di lapangan akhir-akhir ini.
Naiknya Ed Woodward menjadi CEO dan dimulai dengan penunjukkan David Moyes hingga rezim bebal Louis Van Gaal, penyakit yang sudah lama mengancam akhirnya tampak di permukaan.
Satu yang jelas, United sudah menjadi roda bisnis dan kehilangan sentuhannya sebagai tim sepak bola yang besar dari segi permainan di lapangan. Adakah kebijakan transfer Woodward yang disukai suporter?
Munculnya FC United of Manchester salah satunya adalah bentuk kekecewaan suporter United karena kebijakan klubnya yang berfokus pada bisnis dan abai dengan prestasi. Hal ini terjadi sejak Glazer menguasai klub dan semakin parah ketika Alex Ferguson tak lagi berada di kursi manajer Setan Merah.
Liverpool, seteru abadi Manchester United pun memiliki problematika yang sama. Kedatangan Tom Werner bersama FSG-nya (Fenway Sports Group) dan dibentuknya komite transfer adalah salah satu bentuk buruk dalam menjalankan klub dengan orientasi bisnis yang baik tapi alpa tentang urgensi untuk berprestasi.
Ketika Brendan Rodgers meminta mendatangkan Alexis Sanchez dari Barcelona, jajaran direksi dan komite transfer memilih melakukan pembelian seorang Mario Balotelli. Di titik ini, para suporter Liverpool harusnya sadar, Rodgers tidak benar-benar buruk dan bodoh. Apa yang bisa diharapkan ketika direksi dan pelatih tidak berada di titik yang sama dan berseberangan tentang visi untuk prestasi klub ke depannya?
Jauh di Spanyol, tersebutlah nama Real Madrid dan rezim bebal nan konyol ala Florentino Perez. Untuk tahu logika bisnis Perez, Anda harus sadar tentang bagaimana keputusannya untuk menjual salah satu gelandang bertahan terbaik dunia, Claude Makelele, lalu menggantinya dengan dua pria bernama Thomas Gravesen serta Julian Faubert.
Di samping itu, kegemarannya untuk mempermainkan nasib pelatih adalah ketololan Perez yang susah dinalar dengan berbagai akal sehat banyak orang di luar sana. Real Madrid berubah menjadi mesin penghasil uang yang besar, namun disadari atau tidak, prestasi mereka tak benar-benar konsisten.
Sebagai komparasi, Barcelona, sang seteru klasik, sukses melakukan treble dua kali dalam rentang satu dekade terakhir, pada saat yang sama Madrid hanya mampu menggondol satu gelar Liga, dua Piala Copa del Rey dan satu Liga Champions Champions di rentang waktu yang sama. Hebat bukan Florentino Perez?
Maka dari itu, satu-satunya hal yang bisa membuat Real Madrid kembali bersaing dengan kuat melawan Barcelona adalah membiarkan (atau menyadarkan) Perez untuk mundur dan mempersilakan orang lain mengambil alih jajaran direksi.
Komparasi ini patut pula melibatkan tim-tim yang dijalankan oleh beberapa pemilik yang bisa disebut sebagai penggila bola yang masif, sebutlah semisal Jean Michel-Aulas di Olympique Lyonnais serta taipan minyak kesayangan London Barat, Roman Abramovich.
Aulas, mengambil alih kepemilikan Lyon ketika tim tersebut terjerat utang dan masih berkutat di Divisi Dua Prancis pada 1987. Bertahun-tahun berselang Aulas baru memperoleh hasil dalam membangun Lyon ketika mereka mampu menjuarai Ligue 1 untuk pertama kalinya pada 2001/2002 untuk kemudian menjuarainya berturut-turut selama tujuh kali sampai musim 2007-08 dan berhenti dominasinya karena masuknya Emir kaya raya dari Timur Tengah di Paris Saint-Germain.
Aulas pun tak ubahnya dikritik perihal kebijakannya menjual banyak pemain bintang andalan. Semisal Karim Benzema, Michael Essien hingga Florent Malouda dan Eric Abidal. Tapi di balik semua itu, berkat Aulas pula Lyon masih sempat berprestasi dengan stabil walau tak menjuarai banyak gelar seperti beberapa tahun lalu. Terakhir, mereka mampu menjadi runner-up Ligue 1 musim lalu di bawah PSG, kendati kerap ngos-ngosan karena bersaing dengan tim ibukota yang memiliki kucuran dana tiada henti.
Beralih ke Inggris, rezim Roman Abramovich di Chelsea adalah apa yang kemudian mengubah wujud tim spesialis papan tengah ini menjadi tim papan atas yang stabil dan konsisten. Abaikan kebiasaan buruk Abramovich dalam memecat pelatihnya, tapi disadari atau tidak, pria Rusia ini adalah pemilik klub yang begitu menggilai sepak bola dan haus akan prestasi.
Ia tak segan membayar pemain dengan harga tebus yang mahal, semisal ketika mendatangkan Andriy Shevchenko dan Fernando Torres dengan banderol sinting. Prestasi Chelsea, walau diraih dengan bantuan kucuran dana yang berlimpah dari si taipan, diakui atau tidak, menunjukkan fakta bahwa mengurus sebuah klub sepak bola tidak hanya butuh insting bisnis, namun juga passion yang menggila tentang sepak bola.
Abramovich adalah sosok ambisius yang menggemari sepak bola dan bergairah akan hal itu. Pemecatan pelatih berkali-kali adalah wujud super ego-nya untuk pemenuhan ambisi akan gelar juara dan prestasi yang menggebu. Ini yang membedakan Abramovich dengan Florentino Perez.
Orientasi Abramovich masih seputar gelar dan prestasi tim, tidak melulu tentang mendongkrak penjualan jersey pemain atau transfer mega yang memecahkan rekor dunia berkali-kali ala Perez demi kepentingan publisitas.
***
Masih banyak cerita perihal bagaimana menariknya kajian mengenai pemilik klub dan efek masifnya terhadap pola operasional sebuah tim dengan pengaruhnya terhadap prestasi klub tersebut. Apa pun itu, sepak bola tetap yang paling utama dan sudah seharusnya, pemilik klub pun paham, no one bigger than football, not even the money itself.
NB: Kalau mau cerita lebih lanjut, sempatkan beli buku Sepak Bola 2.0 ya.