Andai Hariono Menjadi Seorang Pelatih

Medio awal 2000-an, ada sesosok pesepakbola muda yang namanya mencuri perhatian. Bermain untuk Deltras, ia tunggang-langgang di sektor tengah guna mencegah tim lawan menembus barisan pertahanan dan sesekali jadi inisiator serangan The Lobsters. Dia adalah Hariono.

Berjalan nyaris dua dekade kemudian, kita semua mengenal figur dengan rambut gondrong ini sebagai sosok fenomenal. Sorot perhatian takkan mengarah kepadanya setiap waktu. Namun penggila sepakbola pasti mengerti bahwa presensi Hariono, di manapun ia merumput, selalu krusial.

Kini, pemain setinggi 170 sentimeter tersebut sedang terikat kontrak dengan kesebelasan yang menjadi kampiun Liga 1 musim 2019, Bali United. Sebelumnya, Hariono menghabiskan mayoritas kariernya bersama klub kebanggaan masyarakat Jawa Barat, Persib.

Walau sudah berumur 34 tahun, Hariono masih memperlihatkan performa yang konsisten di lapangan. Kemampuannya pun tetap prima dan tak kalah oleh pemain-pemain yang jauh lebih muda. Maka tak perlu heran kalau suami dari seorang Polisi Wanita (Polwan) bernama Fianita Kusuma Wati ini masih jadi andalan pelatih Serdadu Tridatu, Stefano Cugurra.

Sebagai gelandang pengangkut air dengan cara main yang lugas dan tanpa kompromi, Hariono acap disamakan dengan gelandang legendaris kepunyaan Italia, Gennaro Gattuso. Sudah jadi rahasia umum bahwa Gattuso adalah figur dengan ketahanan fisik luar biasa, penuh determinasi, bernyali, dan menjadi arketipe gelandang bertahan. Tak peduli bahwa kemampuan teknis bekas penggawa AC Milan itu tergolong biasa-biasa saja.

Setiap kali beraksi di atas lapangan, Hariono memang sangat total. Ia siap berjibaku dan mempertaruhkan segalanya demi keberhasilan tim yang ia bela. Alasan ini pula yang kemudian bikin para suporter, baik dari klub yang Hariono perkuat maupun tidak, amat mengagumi sosoknya. Setali tiga uang, Gattuso juga memamerkan hal serupa.

Lebih jauh, baik Hariono maupun Gattuso sama-sama punya prestasi mengilap. Bedanya, nama pertama meraihnya di level klub saja sedangkan nama kedua bermandikan gelar di level klub maupun tim nasional.

Akan tetapi, terasa menarik untuk membayangkan lelaki yang sempat mengenakan kostum tim nasional Indonesia dalam rentang 2008 hingga 2015 ini dengan status pelatih. Tetap dengan rambut yang menjuntai sampai bahu, ia meneriaki pemainnya guna memberi instruksi agar tim besutannya meraup poin sempurna di sebuah pertandingan.

Kata pensiun mungkin sudah melintas di kepala Hariono dalam beberapa musim terakhir. Dari segala macam profesi yang kelak digelutinya pasca-pensiun, menjadi pelatih barangkali masuk ke dalam opsi yang dapat ia pilih. Dilansir dari Detiksport, Hariono mengaku jika ia siap mengambil kursus kepelatihan sebagai bekal di masa depan.

Kembali pada komparasi Hariono dan Gattuso. Selepas pensiun, Gattuso menekuni karier sebagai pelatih profesional. Ia sendiri mendapat lisensi UEFA Pro pada 2014 meski sudah memulai jejak kepelatihannya bersama Sion dan Palermo setahun sebelumnya. Kariernya lantas berlanjut ke OFI Crete, Pisa, Milan Primavera, Milan, dan sekarang membesut Napoli.

Persis seperti gayanya saat bermain, Gattuso sangat vokal dari pinggir lapangan ketika memberi instruksi atau justru menegur pemain-pemainnya. Namun bak kebalikan dari kiprahnya sebagai pemain, hingga saat ini Gattuso masih belum punya prestasi apapun sebagai pelatih. Durasi kepelatihannya di setiap klub juga tergolong singkat.

Walau begitu, banyak yang menganggap capaian Gattuso masih wajar karena ia tergolong pelatih muda. Masih banyak momen belajar yang kudu ia laksanakan. Termasuk menemukan filosofi dan skema yang diimaninya guna meraih kesuksesan.

Jejak Gattuso pasti bisa diikuti Hariono, tapi kiprahnya sebagai pelatih, andai betul-betul terjun ke dunia kepelatihan profesional, bisa lebih mentereng dengan mencaplok beragam prestasi bersama tim-tim yang ia asuh. Baik di level nasional bahkan regional.

Selayaknya Si Badak, julukan Gattuso, Hariono kudu mempunyai filosofi melatih yang mumpuni. Dikombinasikan dengan intelijensia dan pemahaman tentang permainan sepakbola itu sendiri, berpotensi menjadikannya pelatih masa depan yang berkualitas. Jangan kaget kalau akhirnya lelaki kelahiran Sidoarjo tersebut jadi rebutan klub-klub papan atas Indonesia.

Sekarang, kita semua akan tetap melihat bagaimana Hariono berlari tanpa henti, beradu fisik, melancarkan tekel guna merebut bola atau malah melakukan pelanggaran di atas lapangan. Namun tiga atau empat tahun mendatang, bisa saja ia duduk di bangku cadangan, tapi hampir setiap menit berdiri ke tepi lapangan guna memberi instruksi kepada anak asuhnya.

Lebih dari itu, tangan dinginnya juga mampu membawa kesebelasan yang menggunakan jasanya sebagai juru taktik jadi kampiun di sebuah kompetisi.

Komentar

This website uses cookies.