Juergen Klopp, Kick and Rush, Gegenpressing dan Efisiensi Permainan Liverpool

Juergen Klopp, Kick and Rush, Gegenpressing dan Efisiensi Permainan Liverpool

“Pak Harto itu orang pinter, lho. Jasanya bagi bangsa ini besar sekali walau dosa beliau juga besar”.

Ucapan legendaris almarhum Gus Dur tersebut lantas disambut tawa dan tepuk tangan meriah penonton di studio dalam acara Kick Andy yang ditayangkan kanal Metro TV sekitar tahun 2008 lalu.

Analogi serupa saya rasa tepat bila disematkan kepada Charles Reep, veteran Angkatan Udara Britania Raya. Ia adalah pelopor penggunaan statistik dalam sepakbola yang sekarang memegang peranan penting dalam lingkup analisis taktik dan pengembangan sport science. Total, ada lebih dari 2200 pertandingan yang telah dicatat statistiknya oleh Reep.

Berdasarkan data yang ia olah, muncul hipotesis legendaris yang kelak menjadi tradisi sepakbola Inggris bahwa tiga atau empat umpan langsung ke sepertiga terakhir pertahanan lawan memiliki kemungkinan lebih besar untuk tercipta gol ketimbang permainan dengan umpan yang lebih banyak. Keberhasilan Inggris meraih Piala Dunia 1966 dengan model permainan yang kita kenal dengan nama kick and rush menjadi validasi hipotesis Reep.

Sekonyong-konyong seantero Britania Raya menjadikan kick and rush sebagai formula utama untuk meraih kesuksesan. Fenomena ini ibarat déjà vu selepas merebaknya skema W-M ala Herbert Chapman sekitar tahun 1950-an yang meraih kesuksesan bersama  Huddersfield Town, Arsenal dan kemudian banyak ditiru klub Inggris.

Sayangnya, formula kejayaan Reep ini juga sebuah ‘dosa besar’ karena di masa selanjutnya, Inggris malah kesulitan berprestasi di kancah internasional. Jangankan meraih trofi Piala Dunia kedua mereka atau memenangkan ajang Piala Eropa untuk kali pertama, sekadar lolos ke final saja susahnya setengah mati.

Konklusi atas data Reep tidak sepenuhnya benar. Mungkin tidak salah kalau banyak gol tercipta lewat sedikit umpan, tapi hal itu belum tentu linier dengan probabilitas mencetak gol.

Salah tafsir Reep atas datanya lantas dibuktikan di kemudian hari bahwa berapa banyak umpan sukses lebih besar efeknya dalam rangkaian usaha mencetak gol ketimbang memberikan bola kepada Dewi Fortuna di udara serta berharap tuahnya mengubah skor.

Jonathan Wilson, penulis buku Inverting The Pyramid, memberikan ulasan di The Guardian bahwa sepakbola bergerak maju sebagai permainan yang lebih lekat dengan penguasaan bola ketimbang permainan teritorial, lantas menganggap kebiasaan kiper menendang bola jauh ke depan merupakan anakronisme sisa permainan kuno.

Akan tetapi kick and rush tidak begitu saja hilang ditelan pesatnya kemajuan peradaban sepakbola. Manajer gaek macam Sam Allardyce, Roy Hodgson, dan Tony Pulis menjadi figur-figur tersisa yang masih gemar menerapkan gaya main yang dianjurkan Reep.

Umumnya, pola ini digunakan oleh tim dengan kualitas pemain pas-pasan yang tidak mampu memainkan gaya possession ball dengan baik. Bersanding dengan skema bertahan yang diaplikasikan bersamaan.

BACA JUGA:  Corona dan Sepakbola yang Tak Lagi Sama

Asimilasi Kick and Rush dan Gegenpressing

Jürgen Klopp sama sekali tidak ada hubungannya dengan sekumpulan manajer tua Inggris yang masih menggenggam erat kepercayaan atas permainan bola jauh.

Klopp lebih dekat secara filosofis dengan deretan pelatih Eropa Tengah seperti Lucien Favre dan Ralph Rangnick yang banyak dipengaruhi model permainan intensitas tinggi ala Valeriy Lobanovskyi dan Arrigo Sacchi. Pun dengan mazhab Verticalidad dengan guru besar Marcelo Bielsa dan jajaran muridnya.

Manajer kelahiran Stuttgart ini tentu belajar dari keberhasilan berikut kegagalannya selama berkarier di Jerman. Ia berhasil mematahkan supremasi tunggal Bayern München lantas terseok-seok pada dua musim terakhirnya bersama Borussia Dortmund. Gegenpressing yang ia usung ibarat pisau bermata dua. Menjadi kunci kesuksesan sekaligus penyebab utama kegagalannya di akhir periode kepelatihannya di Dortmund.

Fisik menjadi kendala utama bagi pelatih yang gemar memainkan permainan pressing tinggi sepanjang laga. Di awal musim semua terlihat baik-baik saja hingga mulai muncul badai cedera selepas pertengahan hingga akhir musim. Memaksa pemain selalu bermain dengan intensitas tinggi setiap pertandingan menyebabkan kelelahan luar biasa berujung kepada performa tim yang kian lama makin menurun.

Boxing Day merupakan momok Liverpool beberapa musim terakhir dalam upaya perburuan mereka meraih gelar Liga Primer Inggris. Musim lalu mereka sempat memimpin jauh di klasemen hingga berjarak 9 poin dengan Manchester City. Namun mereka banyak kehilangan poin di paruh musim kedua hingga merelakan gelar juara kepada tim asuhan Pep Guardiola yang lebih konsisten.

Enggan menjadi keledai dengan terperosok dua kali ke lubang yang sama, Klopp melakukan perubahan strategi sekaligus memperkuat pemain pelapis yang ada di skuad lantaran di musim ini, Liverpool harus berjibaku di lebih dari dua ajang sekaligus. Hingga saat ini, mereka menahbiskan diri sebagai kandidat utama peraih gelar Liga Primer Inggris dengan selisih poin mencapai 22 poin yang berhasil mereka pertahankan.

Perubahan yang dilakukan Klopp dengan menurunkan intensitas pressing mereka bila dibandingkan dengan musim-musim sebelumnya sungguh menarik diamati. Kata Dex Glenniza, Liverpool sekarang lebih menekankan pressing situasional sehingga mereka dapat menyimpan lebih banyak energi.

Saya juga sependapat dengan opini Justinus Lhaksana. Kata Coach Justin, The Reds musim ini tak main bagus-bagus amat. Namun efisiensi permainan (berkaitan dengan energi yang dikeluarkan) bikin segalanya terlihat lancar.

Beberapa pertandingan yang seharusnya berakhir dengan kekalahan dan hasil imbang justru berbuah kemenangan bagi mereka. Dilansir dari Whoscored, ada 12 gol dicetak Liverpool di Liga Primer Inggris dalam interval menit 15 terakhir pertandingan atau sekitar 20% dari jumlah gol mereka hasilkan di detik-detik akhir pertandingan. Padahal, permainan sebuah tim memiliki kecenderungan untuk menurun di pengujung laga akibat terkurasnya stamina.

BACA JUGA:  Jalan Sunyi Mario Balotelli

Selain itu, skema bola jauh Liverpool musim ini membantu Liverpool bermain lebih efisien. Tercatat, The Reds menjadi tim keempat yang paling sering melakukan di Liga Primer Inggris. Meski begitu mereka tidak menghilangkan identitas sebagai tim atraktif dengan karakter possession football dengan menjadi tim terbanyak kedua yang melakukan umpan setelah empunya possession di Liga Primer Inggris, City.

Klopp mengadaptasi kick and rush dalam taktiknya guna mengubah arah dan tempo penyerangan dengan cepat. Hal ini juga didukung dengan kemampuan pemain yang mumpuni guna melepaskan umpan jauh akurat. Utamanya pemain yang memiliki keuntungan dalam kebebasan visual spasial pada posisi penyerangan seperti Fabinho dan Virgil van Dijk di belakang. Fakta bahwa Trent Alexander-Arnold merupakan pemain yang paling sering melakukan crossing di Liga Primer Inggris merupakan opsi bagus dalam menciptakan peluang.

Kenny Dalglish melakukan hal serupa pada musim 2011/2012. Ia dianggap mampu membawa kembali trofi juara liga ke Stadion Anfield setelah terakhir kali hadir di musim 1989/1990. King Kenny ternyata serupa dengan kumpulan manajer tua Inggris yang keras kepala dan percaya bahwa kick and rush masih menjadi resep utama meraih prestasi.

Ia membentuk skuad yang sangat Inggris dengan ciri khas permainan bola jauh dan crossing yang dominan. Keberadaan Andy Carroll dengan postur tinggi di depan serta Craig Bellamy belum menjadi jawaban guna memaksimalkan hujan bola udara dari sisi sayap Liverpool. The Reds hanya mampu bertengger di posisi delapan klasemen akhir Liga Primer Inggris musim itu, bahkan di bawah rival sekota, Everton.

Tentu kick and rush 2.0 ala Klopp berbeda jauh dengan apa yang dipraktikkan Dalglish. Klopp tidak memiliki striker jangkung bahkan tidak memiliki pemain tengah bertipe playmaker murni. Semua striker Liverpool sekarang merupakan pemain berkaki cepat dan kreatif yang ditopang trio gelandang pekerja keras.

Bola jauh digunakan semaksimal mungkin dalam mengubah arah serangan memanfaatkan kelebihan para pemain depan guna menciptakan peluang dengan ruang kosong yang dimiliki.

Selain itu, bola jauh sangat berguna dalam skema serangan balik cepat Liverpool yang dikenal mematikan. Di sini Klopp mengubah paradigma kick and rush yang identik dengan striker jangkung, crossing, sundulan mematikan serta permainan fisik, menjadi permainan cepat yang energik dan efisien.

Tak perlu kaget jika kejeniusan Klopp kali ini berbuah gelar Liga Primer Inggris yang telah dinantikan selama tiga dekade sekaligus merevisi hipotesis Reep.

Komentar