Andrea Pirlo: Separuh Mimpi Si Pengatur Serangan

Lebih banyak orang yang mengingat insiden tandukan kepala Zinedine Zidane kepada Marco Materazzi ketimbang drama adu penalti dalam laga final Piala Dunia 2006.

Namun, bagi Pirlo, malam itu adalah malam yang tak terlupakan di sepanjang kariernya. Ia tengah bermain dengan para pemain senior senegaranya. Pertandingan malam itu menjadi kesempatan emas baginya berlaga di final kelas dunia. Di sisi lain, kiprahnya sedang menanjak bersama klub AC Milan.

Final yang berlangsung di Olympiastadion, Berlin, malam itu mempertemukan Italia vs Prancis. Dua negara yang sedang dalam performa terbaiknya. Keduanya sama-sama diisi oleh pemain-pemain andalan dan berpengalaman kelas dunia seperti Alessandro Del Piero, Materazzi, Fabio Cannavaro, Gennaro Gattuso, Gianluigi Buffon, Thierry Henry, Zinedine Zidane, David Trezeguet, Claude Makelele, dan Fabian Barthez.

Lippi memilih Pirlo sebagai penendang pertama dalam drama adu penalti yang menegangkan itu. Satu tendangan khas Pirlo yang mengarah ke bagian tengah gawang tak bisa dihalau kiper Fabian Barthez. Italia berhasil menjadi juara Piala Dunia 2006 setelah gol Fabio Grosso menjadi penentu kemenangan.

“Ketika suatu pertandingan diputuskan dengan adu penalti, satu pemain melawan sejuta orang. Sementara sang kiper mencoba menyelamatkan bangsanya, rasanya seolah ada ritual kelompok sadis yang menuntun kita menuju takdir. Sebuah prosesi pengorbanan yang meminta kita menjadi tumbal,” kenang Pirlo saat mengenang final Piala Dunia 2006 dalam autobiografi Penso Quindi Gioco.

Enam tahun kemudian, Pirlo dkk. lagi-lagi harus menghadapi babak adu penalti yang krusial. Italia hampir saja kehilangan kesempatan melaju ke semi final Euro 2012 jika tak memenangi laga melawan Inggris yang ditentukan melalui adu penalti.

Tendangan panenka yang diceploskan Pirlo ke gawang Joe Hart pada perempat final itu menjadi salah satu momen terbaiknya yang layak dikenang. Italia akhirnya lolos hingga final bertemu Spanyol. Meski harus dibantai Spanyol 4-0, Pirlo setidaknya masih menunjukkan kemampuan terbaiknya.

 

Karier dan impian Pirlo

Semenjak Pirlo berlatih di skuat junior, ia menyadari kemampuan dirinya dalam mengolah bola. Ayahnya mengakui, gaya permainannya tampak paling menonjol di antara rekan-rekan satu akademi.

Hingga kemudian ada masa-masa di mana ia dikucilkan dari teman-teman setimnya. Untungnya, Pirlo bukanlah tipe orang yang percaya dengan keajaiban yang ia miliki. Ia lebih percaya dengan usaha dan latihan keras.

“Saat masih anak-anak, lalu saat remaja, saya berusaha menentang konsep dari kata unik, spesial, dan “ditakdirkan”. Seiring berjalannya waktu, saya belajar untuk hidup dengan konsep tersebut dan memanfaatkannya demi kebaikan saya sendiri.”

Pirlo mengawali karier seniornya ketika bermain untuk Brescia pada tahun 1995, klub lokal yang juga menjadi tempat latihannya semasa menempa diri di akademi tingkat junior.

Di Brescia, ia bermain sebagai striker kedua dan gelandang serang, sebelum akhirnya Internazionale Milano mendapuk posisinya sebagai seorang trequartista. Tak ada peluang yang lebih baik saat berlabuh bersama Nerazzuri membuatnya sempat dipinjamkan ke Brescia dan Reggina. Hingga pada akhirnya ia mendulang sukses bersama AC Milan.

Kesuksesan Pirlo menjadi pemain yang menonjol di posisinya tak lepas dari pelatih-pelatih yang pernah membimbingnya. Carlo Mazzone dan Carlo Ancelotti adalah dua pelatih hebat yang pernah ia miliki selama kariernya.

Mazzone adalah pelatih pertama yang membentuk karakter Pirlo sebagai gelandang bertahan (deep-lying playmaker). Di bawah asuhan Ancelotti, Pirlo selalu menjadi pemain pilihan utama skuat AC Milan dan mempertahankan posisinya sebagai pengatur serangan di antara pemain-pemain lain yang lebih berpengalaman.

Beberapa prestasi terbaik Pirlo yang pernah diraih bersama I Rossoneri termasuk dua trofi Serie A (2003/2004, 2010/2011), dua trofi Liga Champions (2002/2003, 2006/2007), satu trofi Coppa Italia (2002/2003), dan dua trofi UEFA Super Cup (2003, 2007).

Pirlo adalah pemain yang mempunyai kelebihan dalam hal visi, kontrol bola, dan kreativitas permainan. Tendangan bola mati dan kemampuannya mengoper bola seringkali membuahkan gol.

Marcello Lippi memandang sosok Pirlo sebagai seorang pemimpin yang tak banyak bicara. Sosok yang berbicara melalui kaki-kakinya. Pirlo menggambarkan dirinya sebagai berikut:

“Saya sedikit berkeliaran di lapangan, seorang gelandang yang terus mencari sudut terbaik agar saya bisa bergerak bebas untuk sesaat. Selanjutnya saya menjadi diri saya sendiri dalam sepetak ruang. Sebuah ruang yang membuat saya bisa berkeyakinan: mengambil bola, memberikannya kepada rekan setim, dan dialah yang akan mencetak gol. Saya menyebutnya sebuah asis dan dengan cara itulah saya menebarkan kebahagiaan.”

Kelebihan-kelebihan yang dimiliki Pirlo membuat banyak pelatih tertarik memboyong dirinya selama masa jayanya bersama klub berkostum merah-hitam itu. Beberapa klub yang pernah membujuk Pirlo di antaranya Real Madrid (era Fabio Capello), Barcelona (era Pep Guardiola), dan AS Roma (era Fabio Capello).

Namun, hati kecil Pirlo sebenarnya lebih memilih bergabung ke klub Spanyol, Real Madrid atau Barcelona, ketimbang AS Roma. Ia ingin menjadi pemain terbaik dan belajar bersama para pemain dan pelatih terbaik.

Ketertarikannya bermain di Spanyol adalah gairah tersendiri yang ia anggap sebagai “separuh mimpi yang lain”. Bahkan, setiap kali bermain bola melalui PlayStation kegemarannya, Pirlo selalu menggunakan klub Barcelona —ia memasang Samuel Eto’o ke dalam skuatnya karena memiliki kecepatan. Pirlo tak tertarik diboyong ke Roma karena alasan masa depan AS Roma yang saat itu sedang tidak baik.

Impian Pirlo bermain di klub Spanyol kandas setelah Galliani menawarinya untuk memperpanjang kontrak lima tahun dengan tawaran gaji yang ditentukan sendiri olehnya. Kontrak Pirlo berlanjut bersama AC Milan hingga tahun 2011. Setelah kontraknya habis, Juventus mendapatkan Pirlo secara gratis pada tahun yang sama.

Kendati hampir sepuluh tahun bermain untuk AC Milan, kiprahnya tak surut bersama Juventus. Perannya dalam tim masih menonjol seiring bertambahnya usia.

Antonio Conte masih sering memasukkan Pirlo sebagai pilihan utama skuat Bianconeri. Pirlo tercatat pernah bermain untuk Juventus sebanyak 119 kali dan mencetak 16 gol selama kurun waktu 2011-2015, serta menjadi pemain yang paling banyak melakukan asis di Serie A.

Saat bermain untuk Juventus, Pirlo empat kali merasakan Scudetto (musim 2010/2011 – 2014/2015) dan sekali mengantarkan Juventus ke babak final Liga Champions 2014/2015.

Berawal dari konsistensi dan produktivitas Pirlo, belakangan sempat terdengar pertanyaan santer dari para tifosi kedua klub. Bagi klub manakah Pirlo layak disebut sebagai legenda? AC Milan atau Juventus? Saya pun tak bisa menjawabnya.

“Andrea terlahir sebagai pemimpi, dan ia membuat kami ikut bermimpi. Dalam pikiran saya, ia tetaplah anak yang saya temui bertahun-tahun lalu, mengenakan kaus Brescia yang tampak kedodoran di tubuhnya,” kenang Cesare Prandelli, eks pelatih timnas Italia (2010-2014). Prandelli—yang ketika itu masih melatih tim junior Atalanta— adalah orang yang pertama kali melihat bakat Pirlo saat bermain untuk tim junior Brescia.

Selepas Piala Dunia Brasil 2014, Pirlo mengakhiri karier internasionalnya pada usia 35 tahun. Setahun kemudian, ia memilih hengkang ke klub Amerika, New York City, untuk menghabiskan usia produktifnya sebagai pesepak bola profesional di Major League Soccer.

 

PS: Tulisan ini terinspirasi dari buku autobiografi Pirlo “I Think Therefore I Play” (dalam versi aslinya berjudul Penso Quindi Gioco) yang ditulis Andrea Pirlo bersama Alessandro Alciato. Referensi lain juga saya ambil dari artikel James Milin-Ashmore berjudul “Andrea Pirlo: the captain who kept reinventing himself” yang dimuat di halaman thesefootballtimes.co (13 Juni 2016). 

 

Komentar

This website uses cookies.