Siapa yang menduga karir Chan Yuen-ting menanjak secepat ini. Juni 2015, ia baru saja menerima ajakan Yeung Ching-kwong untuk membantunya di Eastern sebagai asisten pelatih.
Enam bulan berselang, Yeung mengundurkan diri ketika timnya baru menjalani 5 laga di liga, meninggalkan Chan bersama Eastern dalam kondisi sebaik-baiknya.
Eastern tengah berada di puncak klasmen, unggul satu poin dari musuh akbarnya, South China. Dalam sebulan ke depan, Eastern harus menghadapi rivalnya itu dua kali. Bagi seorang pelatih muda tanpa pengalaman memimpin tim professional, apa benar situasi semacam ini pantas disebut yang “terbaik”?
Lagi-lagi siapa yang menduga jalan Chan Yuen-ting bakal semulus ini. Bukan hanya South China, seluruh klub di Hong Kong sudi mengakui kemapanan Eastern sepanjang musim.
Seolah perginya Yeung bagai riak kecil di tengah samudera, Eastern tak pernah tergusur dari posisi puncak sejak pekan keempat. Klub berusia 85 tahun ini pun mengakhiri paceklik gelar liga selama 21 tahun.
Dalam sekejap, hidup Chen Yuen-ting berada di bawah lampu sorot. Di usia 27 tahun, ia menjadi pelatih termuda yang pernah mengangkat trofi Hong Kong Premier League. Latar belakangnya sebagai sarjana geografi semakin membuat kisahnya bak bahan mentah yang siap diangkat ke layar lebar.
Tunggu dulu, Anda tidak perlu betul-betul kaget sampai mendengar bahwa Chan Yuen-ting adalah pelatih wanita pertama dalam sejarah yang memenangkan kejuaran kasta teratas sepakbola pria.
Saat Yeung Ching-kwong memutuskan untuk hijrah ke Meizhou Kejia, peserta China League One, Eastern tak punya pilihan lain kecuali mempersilakan Chan menduduki kursi pelatih kepala.
Alasan menjaga situasi klub tetap kondusif di tengah musim menjadi pertimbangan. Keputusan ini memang mengejutkan bagi banyak orang, tapi manusia toh boleh berencana.
“Jika Anda gagal membuat rencana, Anda berencana untuk gagal,” begitu ungkapan Chan usai namanya disandingkan dengan 99 wanita berpengaruh lainnya oleh BBC tahun lalu.
Seorang remaja perempuan dari distrik Sha Tin, suatu kewajaran perkenalannya dengan sepakbola dimulai setelah melihat sosok David Beckham. Hubungannya dengan sepakbola mulai kelewat batas wajar kala Chan berhasil memalsukan tanda tangan orang tuanya agar bisa mengikuti pelatihan sepakbola saat berusia 15 tahun.
Setelah lulus SMA, Chan mengikuti saran orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Meskipun pilihannya untuk belajar geografi tampak menyimpang dari sepakbola, tetap saja Chan menemukan cara menghubungkan keduanya.
Ia merampungkan studi berbekal penelitian yang mengkaji sepakbola Hong Kong dari sudut pandang geografi, seperti iklim, kebijakan tentang kependudukan, hingga lokasi stadion. Chan bahkan boleh sedikit berbangga jika mengingat salah satu profesor memuji tugas akhirnya.
Impian Chan berkarir di dunia sepakbola selepas bangku kuliah sekali lagi bertemu tentangan dari orang tuanya. Menurut mereka, menjadi guru geografi lebih baik mengingat sepakbola Hong Kong bukanlah ladang yang menjanjikan. Sayang, Chan keburu yakin bahwa mengejar mimpi, serendah apa pun di mata orang lain, tidak ada yang sia-sia.
TSW Pegasus menjadi pelabuhan pertama Chan Yuen-ting. Dimulai pada 2010, ia bekerja di depan layar-layar menyajikan analisis data. Bila jenuh melawat, Chan tinggal menatap poster David Beckham yang ia pasang di bilik kerjanya.
Chan menyeberang ke Southern pada 2012 sebagai manajer aset klub. Pilihan yang barangkali didasari keinginannya untuk segera mengantongi lisensi kepelatihan dari AFC yang ia rintis sejak dua tahun terakhir. Setahun kemudian Chan yang kini pelatih berlisensi A mantap kembali ke Pegasus menjadi asisten pelatih.
Mantan manajer tim nasional Hong Kong, Kwok Ka-ming, tak sungkan memuji Chan yang sanggup menyelesaikan tingkatan kursus kepelatihan dalam waktu singkat. Kwok menambahkan, latar akademis Chan sangat membantu kemampuan menyerap dan mengamalkan apa yang dipelajarinya ke lapangan.
Tentu saja bukan geografi yang Kwok maksud, melainkan pendidikan master di sport science dan health management yang sedang ditempuh oleh Chan.
Namun Kwok berpesan, ”Pelatih bagus harus mampu menangani krisis, sesuatu yang belum kita lihat darinya. Faktanya, kita selalu bilang seorang pelatih belum bisa disebut pelatih bagus jika dia belum pernah dipecat!” terangnya kepada South China Morning Post.
Chan tak menampik keraguan semacam itu, ia juga punya kekhawatirannya sendiri. “Saya dulu bermain sepakbola, tapi hanya di tingkat amatir. Jadi cukup susah meyakinkan para pemain untuk mendengarkan ide-ide saya. Ketika membuat perubahan taktis atau pergantian pemain selama pertandingan, saya sungguh gugup karena saya tak mau membuat kesalahan,” urainya seperti yang dikutip dari Straits Times.
Sebaliknya pelatih wanita terbaik Asia 2016 ini percaya kehadiran manajer wanita merupakan kelebihan yang bisa dimanfaatkan tim sepakbola pria. Ia mendapati pelatih dari lawan jenisnya seringkali kesulitan memahami psikologis pemainnya, padahal dunia sepakbola adalah lingkungan yang sangat menguras emosi.
Sejauh ini, Hong Kong terbukti tempat yang terlalu kecil untuk ambisi Chan. Eastern kembali memimpin Premier League setelah melalui 12 pertandingan tanpa menelan kekalahan.
Usai memenangi gelar ganda musim lalu, ia mengutarakan harapannya agar suatu saat nanti bisa mengembangkan karirnya di negara dengan sepakbola yang lebih maju, seperti Jepang, Korea Selatan, atau Cina.
Sebagian doa Chan dikabulkan, meskipun lewat cara yang keji. Eastern tergabung di grup G pada gelaran AFC Champions League tahun ini di antara finalis Emperor Cup, Kawasaki Frontale, dan juara dua kali Liga Champions, Suwon Bluewings serta Guangzhou Evergrande yang ditukangi manajer legendaris, Luiz Felipe Scolari.
Ditanyai soal kesiapan Eastern menjelang pertandingan pertama mereka di kompetisi antar negara, Chan mendorong pemainnya agar bermain selepas mungkin, mengingat predikat non-unggulan yang melekat sempurna kepada timnya.
Segalanya seolah datang begitu cepat untuk Chan Yuen-ting. Di salah satu sudut ruangan, ia pasti masih menyimpan poster David Beckham, seorang pemain yang bahkan tak pernah mengantarkan negaranya menjuarai apa pun. Dalam beberapa hari ke depan, Chan akan berhadapan dengan Scolari, seorang pemenang Piala Dunia.
Entah apa yang dipikirkan Scolari, pria yang menghabiskan lebih dari separuh abad untuk sepakbola, menyadari bahwa olahraga ini masih menyimpan kejutan untuknya, saat ia menjabat tangan Chan Yuen-ting di Guangzhou pada 22 Februari mendatang.