Apakah Mengejar Juventus adalah Kemustahilan?

Kemenangan yang didapat Juventus serta kekalahan yang diderita Lazio serta Inter Milan pada giornata ke-30 Serie A musim 2019/2020 akhir pekan kemarin membuat I Bianconeri kokoh di puncak klasemen sementara dan semakin sulit dikejar.

Pasalnya, Juventus kini mengantongi keunggulan tujuh dan sebelas angka dari kedua penguntitnya tersebut. Meski secara matematis belum menyudahi perburuan titel juara, tapi publik tahu pasti siapa yang ada di atas angin dan siapa yang bakal merutuki nasib berikut kebodohannya.

Dengan asumsi Gianluigi Buffon dan kawan-kawan tetap tampil prima guna mengandaskan lawan-lawannya di laga-laga selanjutnya, maka per giornata ke-36 mereka sudah bisa mengunci Scudetto kesembilannya dalam kurun sembilan musim ke belakang.

I Bianconeri semakin dominan dan Serie A terasa lebih membosankan?

Ah, siapa saja boleh menjawab seraya menumpahkan unek-uneknya terkait pertanyaan di atas. Kenyataannya, saat ini Juventus memang sangat digdaya di tanah Italia. Saban musim, klub-klub lain dipaksa memendam kecewa lantaran gagal mematahkan dominasi tim asal kota Turin tersebut. Tak peduli seberapa masif pembenahan yang dilakukan pesaing, I Bianconeri tetap bertahan seraya tumbuh sebagai yang terkuat.

Sementara mereka yang lantang mengatakan Serie A membosankan tentulah pendukung klub selain Juventus yang setiap waktu mengeluhkan mediokritas timnya sendiri atau menuding wasit sebagai biang kerok jika timnya gagal meraup poin sempurna.

Bagaimana dengan Juventini? Mereka sedang asyik menepuk dada, membanggakan prestasi tim kesayangannya sembari bersikap jemawa, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Sesuai hukum rimba, kubu terkuatlah yang tertawa paling akhir.

Pemenang Serie A yang didominasi satu kesebelasan selama bermusim-musim, bikin liga teratas di Italia ini mulai disamakan dengan kompetisi sepakbola nomor wahid di Jerman, Bundesliga, maupun Prancis, Ligue 1. Ya, di Negeri Bavaria ada Bayern Munchen yang tak terbendung dengan koleksi delapan gelar dalam sewindu. Sedangkan Paris Saint-Germain (PSG) merajai Negeri Menara Eiffel berkat tujuh trofi liga dari delapan musim pamungkas.

Apakah salah Juventus bila mereka tak tersentuh kubu lain? Tentu saja tidak. Lantas, apakah mungkin buat mengejar laju mereka?

Tata Kelola yang Tepat

Membangun sebuah dinasti penuh kesuksesan tak mungkin dilakukan dalam semalam. Manajemen Juventus yang dikomandoi Andrea Agnelli paham betul akan hal ini. Mereka mengerti bahwa sepakbola modern membutuhkan pengelolaan yang tak mengandalkan kekuatan uang pemilik, tapi justru kemampuan sebuah klub dalam menghidupi dirinya sendiri.

Guna bersaing dalam industri sepakbola yang makin ketat, manajemen membenahi sektor finansial agar kokoh dan sanggup menyaingi tim-tim mapan sekelas Barcelona, Bayern, Chelsea, Liverpool, Manchester City, Manchester United, PSG, dan Real Madrid. Walau pada dasarnya punya bekingan kuat via EXOR Group, brand Juventus terus diperkuat dengan beraneka macam cara, baik teknis maupun non-teknis, sehingga nilainya tinggi dan menarik atensi sponsor.

Publik tentu masih ingat beberapa musim lalu Juventus kondang sebagai kesebelasan yang tak sungkan menampung pemain-pemain berharga murah. Mereka juga kerap melakukan peminjaman pemain dari kesebelasan lain. Namun perlu disadari bahwa transfer itu tidak asal-asalan karena pemain yang didatangkan sesuai dengan kebutuhan tim dan mereka dapat membangun skuad yang dalam plus pilih tanding.

BACA JUGA:  Menjadi yang Terbaik ala Carlo Pinsoglio

Memang ada saja transfer pemain yang gagal membuahkan hasil dalam sedekade terakhir, misalnya saja Eljero Elia, Sebastiano Giovinco, Hernanes, Marko Pjaca, dan Simone Zaza. Namun siapapun pasti mengangguk setuju bila perekrutan Dani Alves, Andrea Pirlo, Paul Pogba, Wojciech Szczesny, Carlos Tevez, dan Arturo Vidal dengan harga miring tergolong berhasil.

Tatkala finansial Juventus makin membaik, pemain-pemain kelas dunia dengan banderol selangit macam Matthijs de Ligt, Paulo Dybala, Gonzalo Higuain, dan Cristiano Ronaldo pun gampang saja didaratkan ke kota Turin. Menariknya, kebijakan merekrut pemain bagus gratisan tetap ditunaikan I Bianconeri dengan mencomot Sami Khedira, Adrien Rabiot, dan Aaron Ramsey. Tak salah kalau menyebut Juventus sekarang jadi salah satu destinasi favorit pesepakbola top dunia.

Jangan lupa juga bahwa mereka pernah berdarah-darah membangun stadion sendiri usai membeli lahan bekas Stadion Delle Alpi. Dengan stadion yang dimiliki secara penuh oleh klub, duit dari tur stadion, tiket pertandingan, hak nama stadion yang dijual ke sponsor sampai penyelenggaraan konser otomatis masuk ke kantong I Bianconeri. Stabilitas sebagai perusahaan klub sepakbola pun tercapai.

Menghargai Proses

Saat kembali dominan, Antonio Conte adalah pelatih yang dipercaya pihak manajemen untuk mengubah arah peruntungan klub. Tatkala Conte memutuskan hijrah usai dipinang tim nasional Italia, Juventus mendapuk Massimiliano Allegri sebagai allenatore bagi Buffon dan kolega.

Ada satu kesamaan dari perjalanan dua orang pelatih tersebut di kota Turin. Ya, manajemen I Bianconeri menghargai segala proses yang dirasakan dalam rezim Conte maupun Allegri. Berbagai bentuk kegagalan tak jadi vonis untuk melengserkan mereka dengan mudah. Sebuah kesabaran yang memang diperlukan dalam proses berkembang.

Apalagi ambisi untuk selalu berprestasi tertanam dalam di kubu Juventus. Ketidaksabaran justru bisa menjadi bumerang. Berbagai godaan dan ujian senantiasa menerpa, tapi mereka enggan takluk. Kemampuan ‘bertahan hidup’ itulah yang membuahkan hasil di kemudian hari. Gelar Serie A, Piala Italia, dan Piala Super Italia silih berganti masuk ke lemari trofi klub.

Praktis, satu-satunya misi yang belum tuntas adalah menggapai trofi Liga Champions ketiga sepanjang sejarah klub meski dalam rentang sepuluh musim ke belakang, Juventus menjejak final sebanyak dua kali. Di sinilah manajemen I Bianconeri mengambil tindakan.

Kendati curriculum vitae-nya tak kelewat mengilap, tapi manajemen percaya akan kemampuan Maurizio Sarri dalam mengatur strategi. Terlebih, ia punya bekal cukup baik di kancah Eropa usai mengantar Chelsea menjuarai Liga Europa musim 2018/2019 kemarin.

Belum sementereng Pep Guardiola, Jurgen Klopp, Jose Mourinho atau Zinedine Zidane memang, tapi di saat keempat nama itu masih terikat kontrak dengan kesebelasan lain, maka Sarri adalah pilihan yang paling logis. Toh, sosok berkacamata tersebut juga sanggup mempertahankan performa elok Juventus di sepanjang musim 2019/2020.

BACA JUGA:  Berburu Sosok Nekat dan Nerimo Pengganti Conte

Andai tetap memperoleh dukungan manajemen, jangan kaget bila Sarri berhasil mewujudkan apa yang selama ini diimpikan klub walau harus tertatih-tatih terlebih dahulu. Sekali lagi, Juventus konsekuen memegang prinsip untuk menghargai semua proses yang ada.

Mentalitas Kuat

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dominasi Juventus juga dipengaruhi faktor mental yang kuat. Seluruh elemen di tubuh klub punya mental petarung sehingga tak gampang menyerah dan putus asa meski dihantam kondisi sulit. Apesnya, hal inilah yang tak dimiliki para rival sehingga mereka kepayahan menyaingi Buffon dan kawan-kawan.

Pernahkah kita mendengar Juventus keok akibat kebodohan sendiri di sebuah laga dan itu terjadi berulang-ulang? Jawabannya tidak. Namun keadaan seperti itu sering kita dapati dari tim-tim lain semisal Lazio, Inter atau bahkan Napoli. Saat terjebak dalam situasi pelik di sebuah laga, mentalitas kuat Juventus jadi salah satu faktor kunci mengapa mereka bisa bangkit dan akhirnya pulang dengan kepala tegak lantaran meraih kemenangan.

Ketika mengawali musim tidak dengan hasil bagus, I Bianconeri juga tak mudah panik. Alih-alih berisik di media dan menyalahkan berbagai pihak, mereka berusaha tenang dan mencari jalan keluar dari problem tersebut. Bukankah cara terbaik untuk menemukan solusi dari sebuah masalah adalah bersikap tenang dan fokus? Realitanya, Juventus sanggup mempraktikkan cara itu dengan paripurna dan akhirnya digdaya lagi.

Manakala kesebelasan lain terus menyalahkan ini dan itu tanpa mau menyadari kelemahan diri sendiri saat terpuruk, dari kejauhan Juventus memandang mereka dengan tawa mengembang di wajah. Pasalnya, klub yang eksis sejak 1897 ini juga pernah mengalami hal serupa, tapi mereka lebih tahu bagaimana cara melewatinya. Sebuah karakter kuat yang kemudian membentuk mental pemenang.

Keperkasaan Juventus di tanah Italia tak muncul karena mantra abrakadabra, ada banyak fase sulit yang mereka lalui sebagai entitas sepakbola. Namun Buffon dan kawan-kawan membuktikan bahwa mereka sudah punya pengalaman serta aneka cara untuk membereskannya.

Perubahan yang diperlihatkan I Bianconeri selama ini adalah kerja nyata manusia, bukan akibat sihir atau mukjizat yang sulit ditangkap nalar. Maka mengejar mereka sebetulnya bukan sebuah kemustahilan. Kuncinya adalah bagaimana para rival bisa mengikuti langkah yang sudah ditempuh Juventus. Mulai dari pengelolaan yang lebih apik, kesabaran dalam menjalani proses sampai membangun mentalitas kuat bagi seluruh elemen.

Tentu ada perbedaan yang bakal ditemui karena masing-masing pihak memiliki ceritanya sendiri. Mampu melakukan itu, maka menyaingi Juventus adalah keniscayaan. Bahkan tidak menutup kemungkinan jika akhirnya, para rival tadi bisa melampaui mereka sembari menyetop dominasinya.

Komentar