Pertandingan sarat rivalitas serta gengsi antara Arema dan Persebaya akan tersaji pada pekan penutup seri kedua Liga 1 musim 2021/2022.
Stadion Manahan di kota Solo akan menjadi arena pertempuran dua klub asal Jawa Timur ini pada Sabtu, 6 November 2021.
Kubu berjuluk Singo Edan tengah ada dalam periode positif. Klub kebanggaan Kera Ngalam ini tak terkalahkan di tujuh partai terakhirnya dengan rincian dua kali bermain seri dan lima kali mereguk kemenangan.
Catatan apik tersebut membawa anak asuh Eduardo Almeida bertengger di posisi ketiga klasemen sementara dengan koleksi 19 poin. Mengingat kompetisi yang masih panjang, Johan Alfarizi dan kolega tentu punya kesempatan buat menahbiskan diri sebagai tim terbaik di Indonesia.
Setali tiga uang, Persebaya juga berada dalam rentetan hasil positif dalam empat pertandingan terakhirnya. Bajol Ijo meraup tiga kemenangan dan sekali bermain imbang.
Sempat terseok-seok di awal kompetisi, perlahan tapi pasti kubu asuhan Aji Santoso merangsek ke papan atas. Hingga tulisan ini dibuat, mereka sedang duduk di peringkat tujuh dengan bekal 16 poin.
Berbeda dengan Arema yang menatap Derbi Jawa Timur dengan kondisi full team, Persebaya kabarnya masih menunggu kesiapan fisik striker andalan asal Brasil, Jose Wilkson, yang pada laga melawan Persiraja (31/10) mengalami masalah pada kakinya.
Bagusnya, kebugaran Reva Adi Utama semakin membaik dan pada laga kontra Arema nanti, gelandang berpaspor Brasil, Bruno Moreira, juga siap diturunkan kembali usai absen tiga laga karena menjalani hukuman.
Berdasarkan statistik, Arema dan Persebaya sudah bertemu 33 kali di seluruh ajang. Singo Edan unggul dengan 16 kali menang dibanding torehan kemenangan Bajol Ijo yang baru 11 kali. Enam laga lainnya berujung sama kuat.
Resistensi Daerah dan Hegemoni Pusat
Pertandingan Arema melawan Persebaya tidak bisa dikatakan hanya sebagai permainan sebelas melawan sebelas di atas lapangan rumput.
Bagi pendukung masing-masing tim, bahkan ketika Arema masih dihantui persoalan dualisme, Derbi Jawa Timur yang satu ini selalu tentang harga diri dan kebanggaan daerah.
Pertandingan sepakbola bukan lagi dipandang hanya sebatas aktivitas olahraga, melainkan sesuatu yang kompleks dan menyangkut kultur sosial serta identitas suatu golongan tertentu.
Jika di Eropa kita melihat Barcelona sebagai simbol pemberontakan orang-orang Catalan kepada pemerintah Spanyol yang disimbolkan melalui Real Madrid, maka di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, kita disuguhkan rivalitas yang mirip di antara Arema dan Persebaya.
Menurut Fajar Junaedi dalam bukunya yang berjudul Merayakan Sepakbola, menyebutkan bahwa sepakbola adalah bentuk resistensi kultural suatu daerah melawan hegemoni pusat.
Resistensi kultural daerah ini bisa lahir dari pola pikir yang menganggap bahwa superiotas pusat dalam ranah politik maupun ekonomi tidak berlaku bila menyangkut sepakbola.
Semangat itulah yang kemudian terus dikobarkan oleh pihak-pihak yang berstatus nomor dua dari tatanan pemerintahan.
Menurut Gamble, dikutip dari buku Merayakan Sepakbola menyebut bahwa daerah dianggap sebagai subkultur yang berbeda dengan budaya yang berasal dari pusat.
Dalam tatanan pemerintahan provinsi Jawa Timur, Surabaya merupakan ibu kota provinsi. Ini yang menurut Gamble dikatakan sebagai pusat, dan Arema yang berasal kota lain di Jawa Timur, tepatnya Malang, disebut sebagai daerah.
Kedua tim tersebut menjadi representasi sosial masing-masing daerah yang kental dengan budaya mereka.
Perbedaan budaya ini yang kemudian melahirkan etnosentrisme yaitu penilaian budaya lain atas budayanya sendiri. Sikap seperti ini cenderung ke arah merendahkan golongan lain.
Berakar dari sanalah, makna fanatisme menjadi salah kaprah. Dan pada gilirannya akan melahirkan bentrokan antar suporter yang tak jarang memakan korban jiwa.
Bumbu-bumbu di luar lapangan hijau seperti itu menjadi unsur penting dalam sebuah pertandingan sepakbola.
Pada akhirnya, sepakbola tidak hanya menjadi permainan tim untuk memasukkan bola ke gawang lawan demi meraih kemenangan, tetapi juga alat buat menunjukkan eksistensi dari suatu golongan.
Dalam konteks Arema dan Persebaya tentu saja mengenai identitas arek-arek Suroboyo dan kera-kera Ngalam yang terus berebut hegemoni bahwa tim kesayangannya serta wilayah di mana mereka bermukim berada di puncak piramida Jawa Timur.
Ya, laga Singo Edan kontra Bajol Ijo bukan sekadar momen memperebutkan tiga poin dalam tempo 90 menit.
Seiring bergulirnya waktu dan perkembangan zaman, laga ini menjadi sarana menjaga harkat dan martabat sebuah golongan. Antara mereka yang disebut pusat dan mereka yang dilabeli daerah.